Pentingnya Mengaku Dosa
Kasih Allah Tak Terbatalkan
Allah memberikan janji-Nya kepada Abraham bahwa keturunannya akan menjadi bangsa pilihan. Allah selalu setia menyertai dan menolong umat-Nya saat mereka menghadapi ancaman musuh dan mencukupi kebutuhan mereka ketika mengalami kekurangan.
Firman Tuhan diberikan kepada umat-Nya sebagai pedoman dan dasar kehidupan bangsa pilihan (Roma 3:2). Meski ada yang tidak setia, ketidaksetiaan mereka tidak pernah membatalkan kesetiaan Allah (Roma 3:3-4). Namun, meski mereka adalah bangsa pilihan, perilaku mereka sering kali tak berbeda dengan bangsa-bangsa yang bukan umat Allah. Mereka memberontak kepada Allah dan hidup tidak sesuai dengan kehendak-Nya.
Sebagai bangsa pilihan, orang Yahudi seharusnya hidup seturut dengan firman Allah. Ketika mereka melanggar hukum Allah, hukuman yang diterima lebih berat karena mereka mengabaikan kesempatan pertama yang diberikan Allah kepada mereka. Meski demikian, hukuman Allah bukanlah tanda bahwa Dia tidak mengasihi mereka. Justru sebaliknya, kasih Allah tetap kekal dan setia. Kasih-Nya tidak terbatalkan, dan Dia selalu membuka tangan bagi siapa pun yang mau bertobat dan kembali kepada-Nya.
Kita pun, sebagai umat yang telah menerima kasih Allah melalui Yesus Kristus, dipanggil untuk hidup dalam ketaatan dan kesetiaan. Bangsa Israel menolak Allah dan menerima hukuman, tetapi penolakan mereka membuka kesempatan bagi bangsa-bangsa lain untuk menjadi umat Allah. Kasih Allah kini tersedia bagi semua orang yang mau percaya kepada-Nya.
Karena itu, kita patut bersyukur atas kesempatan besar yang diberikan Allah kepada kita. Allah mengasihi kita dengan kasih yang tak terbatalkan. Kasih yang mengalir melalui penebusan Yesus Kristus di kayu salib kini menjadi milik kita selamanya.
Sebagai respons, mari kita memberikan hidup kita sebagai persembahan yang hidup bagi Tuhan. Melayani Tuhan dengan talenta yang kita miliki dan membagikan kabar baik kepada orang-orang di sekitar kita adalah wujud nyata dari kasih kita kepada Allah. Mari mulai dari keluarga dan lingkungan terdekat, agar semakin banyak orang mengenal dan merasakan kasih Allah yang kekal.
Hai Orang Munafik, Bertobatlah!
Roma 2:17-29
Kemunafikan adalah racun yang berbahaya dalam kehidupan beragama, dan orang Kristen juga tidak luput dari bahaya ini. Banyak orang yang menyebut dirinya pengikut Kristus, namun kehidupannya bertentangan dengan pengakuan tersebut.
Dalam suratnya, Paulus memberikan peringatan kepada orang-orang Yahudi yang merasa bangga karena memiliki Hukum Taurat dan mengajarkannya kepada orang lain (Roma 2:17-20). Namun, ironisnya, mereka tidak hidup sesuai dengan ajaran yang mereka sampaikan (ayat 21-22). Mereka mengklaim sebagai umat pilihan Allah tetapi malah melanggar hukum yang mereka banggakan (ayat 23). Hal ini menyebabkan nama Allah dihujat oleh orang-orang di luar Israel (ayat 24).
Paulus juga membahas tentang sunat, yang merupakan tanda perjanjian antara Allah dengan umat-Nya. Tetapi ia menekankan bahwa tanda fisik ini tidak ada artinya jika tidak disertai dengan ketaatan pada hukum Allah (ayat 25-29). Sunat sejati bukanlah pada tubuh, melainkan pada hati—sebuah kondisi rohani yang mencerminkan ketaatan kepada Allah. Allah tidak menginginkan sekadar penampilan lahiriah, melainkan hati yang taat dan sungguh-sungguh.
Bagi orang Kristen, pesan ini sangat relevan. Menyebut diri kita Kristen tanpa menaati firman-Nya adalah tindakan munafik. Kemunafikan kita dapat merusak kesaksian iman dan membuat nama Allah dihina oleh orang yang tidak mengenal-Nya.
Mengetahui firman Tuhan adalah hal yang penting. Namun, menggunakan firman hanya untuk mencari pembenaran diri atas dosa-dosa kita adalah kemunafikan! Allah memanggil kita untuk menjadi pelaku firman, bukan hanya pendengar saja (Yakobus 1:22). Marilah kita menjadikan firman Tuhan sebagai pedoman hidup kita sehari-hari.
Buanglah segala bentuk kemunafikan dari hidup kita. Belajarlah hidup dalam ketaatan, sehingga nama Allah dipermuliakan melalui hidup kita. Semoga kita dimampukan untuk meninggalkan segala sikap munafik dan hidup seturut dengan firman Tuhan.
Apakah Engkau Lebih Superior?
Roma 2:1-16
Ketika kita berinteraksi dengan orang lain, terkadang perasaan superioritas muncul tanpa disadari. Kita sering lebih cepat mengkritik kesalahan kecil orang lain, daripada menyadari kesalahan besar yang ada pada diri kita sendiri.
Paulus menjelaskan bahwa tidak ada manusia yang bebas dari hukuman Allah. Ketika seseorang merasa dirinya lebih baik dan mulai menghakimi orang lain, ia sendiri sebenarnya tidak lepas dari kesalahan yang sama (ayat 1-3). Yang seharusnya dilakukan oleh orang berdosa adalah datang kepada Allah dengan sikap rendah hati dan pertobatan (ayat 4-5). Allah akan membalas setiap orang berdasarkan perbuatan mereka, baik bagi mereka yang bertobat maupun mereka yang tetap hidup dalam dosa (ayat 6-11).
Allah tidak memandang muka (ayat 11). Dia akan menghakimi semua orang, baik yang sudah mendengar Hukum Taurat maupun yang belum. Ada orang yang meski belum pernah mendengar Hukum Taurat, tetap melakukannya karena hukum itu tertulis dalam hati mereka (ayat 12-15). Suatu hari, Kristus Yesus akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia (ayat 16).
Kita perlu menyadari bahwa kita adalah orang berdosa yang telah menerima kasih dan kesabaran Allah. Pengampunan yang kita terima bukan karena kita lebih baik dari orang lain, tetapi semata-mata karena kasih karunia-Nya. Dalam kerendahan hati, kita harus datang kepada-Nya setiap hari, bertobat, dan memohon pengampunan atas rasa superior kita.
Kita harus waspada karena sering kali dosa yang kita lakukan memiliki motif tersembunyi. Hati kita begitu mudah tertipu oleh kegelapan; itulah sebabnya, tanpa Injil Kristus, kita mungkin tidak pernah menyadari kebutuhan kita akan seorang Juru Selamat.
Oleh karena itu, dalam setiap pertemuan dengan sesama, janganlah kita menyimpan rasa superior. Sebaliknya, marilah kita hadir dengan kerendahan hati, membawa Injil Kristus yang mampu membebaskan kita dan sesama.
Hidup dalam Kecemaran
Roma 1:18-32
Manusia sering mengabaikan masalah kekekalan dan terjerat dalam hawa nafsu yang menghancurkan. Nafsu membuat manusia buta, sehingga mereka gagal mengenal Allah dan tuntutan hukum-Nya. Dalam kondisi seperti ini, manusia cenderung menghidupi dosa dan bahkan mencari pembenaran untuk dosa tersebut.
Paulus menegaskan bahwa manusia pantas menerima hukuman dari Allah karena segala kefasikan dan kejahatannya (ayat 18). Meski pengetahuan tentang Allah sudah dinyatakan kepada mereka (ayat 19-20), bahkan ketika mereka mengenal Allah, mereka tetap tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya (ayat 21).
Manusia hidup dalam kecemaran (ayat 24), dan Allah membiarkan mereka hidup dalam hawa nafsu yang memalukan (ayat 26-31). Meskipun ada hukum Allah yang menetapkan hukuman mati sebagai konsekuensi dari setiap tindakan kecemaran, manusia tetap tidak mau berbalik kepada Allah. Mereka justru sibuk dengan dosa mereka sendiri dan dengan mudah menyetujui perbuatan dosa orang lain (ayat 32). Dalam kondisi tercemar, dosa menjadi sesuatu yang dianggap biasa, bahkan dalam kasus-kasus tertentu, dosa tidak lagi dipandang sebagai dosa!
Kita hidup di zaman yang tidak jauh berbeda dengan zaman Paulus. Kita juga menemukan banyak orang yang hidup hanya untuk memenuhi hawa nafsunya. Gaya hidup seperti ini tentu saja membawa pada kebinasaan. Fakta bahwa hidup manusia hanya sementara dan pada akhirnya harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya tidak cukup kuat untuk membuat mereka sadar.
Banyak alasan dan argumen sengaja diciptakan untuk membenarkan perilaku tercemar, agar mereka yang hidup dalam kecemaran dapat diterima oleh masyarakat luas. Namun, penerimaan masyarakat tidak dapat menjadi alasan pembenaran di hadapan Allah. Oleh karena itu, kehadiran Injil menjadi terang yang menyinari kehidupan yang diliputi kegelapan dosa ini. Adalah tugas kita untuk mewartakan Injil di tengah dunia yang tercemar. Semoga Tuhan Yesus senantiasa menguatkan iman kita!
Aku Tidak Malu karena Kristus!
Roma 1:16-17
Pengetahuan dan pengalaman sering kali menjadi sumber kepercayaan diri seseorang dalam mengambil tindakan. Demikian halnya dengan Paulus. Ia memiliki pemahaman yang mendalam tentang Injil dan pengalaman pribadi akan perjumpaannya dengan Allah. Keyakinan yang dibangun oleh Allah dalam dirinya memberikan dorongan yang kuat untuk memberitakan Injil.
Paulus dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak pernah malu terhadap Injil (ayat 16). Pada masa itu, pemberitaan tentang Injil dianggap kebodohan oleh banyak orang. Bagaimana mungkin seseorang dapat percaya bahwa ada seorang manusia yang telah disalibkan, mati, dan kemudian bangkit dari kematian? Lebih mudah bagi mereka untuk mempercayai berbagai filsafat dari pemikir-pemikir ternama ketimbang percaya pada Injil. Ini menjadi tantangan bagi Paulus, namun ia tetap yakin bahwa Injil adalah kekuatan Allah.
Kekuatan Allah ini sanggup menyelamatkan setiap orang yang mau percaya, tanpa terkecuali (ayat 16). Melalui Injil, kebenaran Allah dinyatakan, yang berasal dari iman dan membawa kita kepada iman (ayat 17).
Injil memimpin orang benar untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah. Injil menyatakan bahwa Allah memiliki rencana keselamatan bagi kita. Melalui Yesus Kristus, Allah ingin menyelamatkan kita. Ketika kita percaya kepada Yesus Kristus, hubungan kita dengan Allah dipulihkan kembali. Allah mengampuni dosa kita dan membenarkan kita karena iman kita dalam nama Kristus.
Seperti Paulus, kita pun menghadapi berbagai tantangan terhadap keyakinan kita, terutama dari filsafat-filsafat kosong yang sering kali dibangun oleh keangkuhan manusia untuk melawan pengenalan akan Allah. Namun, jika Injil telah mengubah pemahaman kita dan memberikan pengalaman baru dalam hidup kita, tentu kita tidak akan malu untuk bersaksi tentang kasih Allah yang besar. Kita dipanggil untuk hidup dalam kebenaran yang dimulai dari anugerah iman yang membawa kita kepada Kristus Yesus.
Persekutuan yang Saling Menguatkan
Roma 1:8-15
Rasul Paulus memuji teladan iman jemaat di Roma yang ia dengar telah tersebar ke seluruh dunia.
Dalam doanya kepada Allah, Paulus menyampaikan kerinduan untuk mengunjungi jemaat Roma (ayat 9-10). Ia ingin berbagi karunia rohani melalui pengajaran yang dapat memperkuat iman mereka (ayat 11).
Namun, ada hal menarik yang disampaikan oleh Paulus, yaitu, “supaya aku ada di antara kamu dan turut terhibur oleh iman kita bersama, baik aku oleh imanmu dan kamu oleh imanku” (ayat 12). Di sini terlihat bahwa meskipun Paulus adalah seorang rasul besar, ia juga mencari penguatan dalam persekutuan bersama jemaat di Roma. Kerinduannya bukan hanya untuk menguatkan dan menghibur mereka, tetapi juga untuk dikuatkan dan dihibur oleh mereka. Ini menunjukkan bahwa bahkan Paulus, sebagai seorang pemimpin rohani, juga mengakui perlunya penguatan melalui persekutuan dengan jemaat yang ia layani.
Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah iman yang kita hidupi dalam kehidupan berjemaat di gereja lokal masing-masing telah menjadi wangi yang menyebar dalam komunitas umat Allah? Apakah kita memiliki kerinduan yang sama seperti Paulus untuk menggunakan karunia yang telah Tuhan berikan bagi kita untuk melayani sesama? Apakah dalam persekutuan dengan saudara seiman, kesaksian iman kita menguatkan mereka dan sebaliknya kesaksian iman mereka menguatkan kita?
Sesungguhnya, umat percaya tidak didesain untuk menjadi pribadi yang individualis dan apatis. Persekutuan dalam kehidupan umat Allah adalah sarana di mana Allah berkarya dan menguatkan iman umat-Nya. Melalui persekutuan, Allah mendorong kita untuk saling membangun, saling mengasihi, dan saling menguatkan.
Oleh karena itu, janganlah kita meninggalkan persekutuan dalam komunitas gereja tempat kita bertumbuh. Kiranya Allah memakai gereja kita menjadi komunitas yang hidup, yang wangi keharumannya tersebar ke seluruh penjuru dunia dan memuliakan nama Kristus.
Jangan Berpangku Tangan!
Roma 1:1-7
Menjadi seorang Kristen adalah sebuah pilihan hidup yang disertai kesadaran akan anugerah yang diterima oleh seorang pendosa. Bukan karena kelayakannya, tetapi karena Yesus Kristus telah menjadikannya layak dan milik-Nya. Itulah yang menjadi dasar bagi setiap orang Kristen untuk melayani Allah.
Paulus menyadari anugerah istimewa ini sebagai sesuatu yang tidak seharusnya ia dapatkan, jika dilihat dari latar belakang hidupnya sebelum menjadi pengikut Kristus. Ia menyebut dirinya hamba Kristus Yesus (ayat 1), dan seorang rasul yang dipanggil untuk menyampaikan Injil yang kudus. Dalam pemberitaannya, Paulus menjelaskan bahwa Yesus adalah Mesias yang dijanjikan Allah melalui perantaraan para nabi. Yesus datang dari garis keturunan Daud, mati, dan bangkit dari kematian. Melalui-Nya, anugerah dan kebaikan Allah dicurahkan kepada manusia yang berdosa dan terpisah dari Allah (ayat 2-5).
Sebagai hamba Kristus, Paulus memahami bahwa anugerah istimewa yang ia terima menuntut sebuah tanggung jawab besar. Ia merasa bertanggung jawab untuk melayani dengan menyampaikan berita Injil kepada segala bangsa, agar banyak orang dapat percaya dan taat kepada Yesus Kristus.
Sama seperti Paulus, kita juga harus menyadari bahwa anugerah istimewa ini seharusnya memotivasi kita untuk tidak berpangku tangan. Rasa syukur kita harus diwujudkan melalui pelayanan dan Pekabaran Injil (PI). Masih banyak orang yang belum mengenal Kristus dan hidup dalam kegelapan. Berita sukacita harus sampai kepada mereka, agar lebih banyak orang yang memahami kasih Allah yang telah mengaruniakan Anak-Nya, Kristus Yesus, untuk mendamaikan manusia berdosa dengan diri-Nya. Yesus adalah penggenapan janji Allah bagi manusia yang terpisah oleh dosa.
Marilah kita sampaikan berita Injil ini kepada orang-orang di sekitar kita yang masih hidup dalam kegelapan. Semoga Kristus menyinari hidup mereka dengan kasih-Nya yang kekal.
Semuanya Milik Allah
Apa yang biasanya kita lakukan ketika menerima kebaikan dari orang lain? Apakah kita akan menceritakan hal itu kepada orang lain sebagai ungkapan syukur, atau berusaha membalas kebaikan tersebut?
Allah memerintahkan bangsa Israel untuk melakukan dua hal penting. Pertama, semua anak sulung, baik manusia maupun hewan, harus dikuduskan bagi Tuhan. Ini mengingatkan bahwa semua itu adalah milik Tuhan (ayat 2). Kedua, umat tidak boleh mengonsumsi makanan yang beragi selama tujuh hari, yang kemudian menjadi dasar perayaan roti tidak beragi.
Kedua perintah ini diberikan untuk mengingatkan mereka akan pembebasan yang Allah lakukan bagi bangsa Israel dari perbudakan di Mesir (ayat 3-7). Bagi orang Israel, perayaan itu harus menjadi tanda di tangan dan pengingat di dahi mereka, sehingga mereka senantiasa mengingat dan mengisahkan bagaimana Tuhan dengan tangan-Nya yang kuat membebaskan mereka dari Mesir (ayat 9-10).
Allah menetapkan aturan tentang anak sulung dan perayaan roti tidak beragi untuk mengingatkan mereka akan pembunuhan anak-anak sulung di tanah Mesir, baik manusia maupun hewan, ketika Firaun tetap menolak membebaskan mereka. Dengan cara ini, orang Israel diajarkan untuk menyampaikan kepada generasi berikutnya tentang kasih Allah yang telah menyelamatkan mereka dari perbudakan Mesir. Maka, anak sulung laki-laki Israel harus ditebus, dan setiap hewan jantan yang lahir pertama harus dipersembahkan kepada Tuhan. Allah telah membebaskan Israel dan menjadikan mereka bangsa yang merdeka, milik Allah sendiri.
Demikian pula saat ini, Allah melalui Tuhan Yesus telah menyelamatkan kita. Allah telah melakukan segala yang terbaik bagi kita. Sebagai ungkapan syukur, marilah kita menceritakan perbuatan besar Allah kepada siapa saja. Ceritakanlah terlebih dahulu kepada keluarga kita tentang keselamatan dari Allah. Mari kita juga berbicara dengan baik dan sopan kepada sesama. Dengan demikian, orang dapat melihat kasih Allah dalam hidup kita, dan mereka pun akan menjadi percaya.
Makanlah Anak Domba Paskah
Keluaran 12:1-28
Allah memberikan bangsa Israel petunjuk yang rinci tentang tata cara perayaan Paskah pertama. Dalam pelaksanaannya, seekor anak domba dipilih dan dipelihara selama empat hari, lalu disembelih saat senja, dipanggang, darahnya dioleskan ke tiang dan ambang pintu, sementara dagingnya dimakan oleh seluruh keluarga.
Darah yang dioleskan pada pintu rumah orang Israel adalah tanda. Pada malam yang telah ditetapkan, Tuhan akan mengirim malaikat maut (bdk. Ibrani 11:28). Ketika malaikat tersebut melihat darah di pintu rumah, ia tidak akan berani menyentuh anak sulung di dalam rumah itu (ayat 23). Dengan demikian, semua ahli waris di keluarga Allah terselamatkan.
Ritual makan domba Paskah ini disertai dua kewajiban penting. Pertama, seluruh ragi dan produk turunannya harus dibersihkan dari rumah mereka (ayat 15, 20). Kedua, umat Allah diwajibkan mengadakan pertemuan-pertemuan kudus (ayat 16-17). Kedua perintah ini mereka laksanakan demi menyelamatkan anak-anak sulung mereka.
Dalam Perjanjian Baru, perayaan Paskah tidak hanya sekadar ritual makan domba. Paskah mengandung makna yang sangat dalam. Bagi Rasul Paulus, anak domba Paskah melambangkan Yesus Kristus yang dikurbankan di kayu salib (bdk. 1 Korintus 5:7). Darah Yesus yang tercurah di kayu salib menyelamatkan kita dari maut. Secara rohani, kita telah "memakan" daging-Nya, yang membuat kita menjadi satu dengan-Nya. Sekarang, keselamatan itu harus kita hayati dengan membuang "ragi keburukan dan kejahatan" dari hidup kita (bdk. 1 Korintus 5:8).
Syukur kepada Allah yang telah menyediakan Anak Domba Paskah untuk menyelamatkan kita. Semoga kita senantiasa menghargai pengorbanan Kristus, tidak hanya saat merayakan Paskah, tetapi setiap hari dalam kehidupan kita.
Bagaimana kita bisa mensyukuri anugerah keselamatan dari Allah? Cara terbaik adalah menjaga hidup kita tetap kudus. Pertanyaannya, bersediakah kita memelihara hati dan pikiran yang murni mulai hari ini dan seterusnya?
Empati dalam Dunia yang Gelap
Dalam mitologi Mesir kuno, "Ra" dipandang sebagai dewa matahari dan kehidupan. Setiap malam, ia dikisahkan berlayar melalui dunia kematian, kemudian bertarung melawan ular besar menjelang fajar. Setelah mengalahkan ular itu, Ra kembali muncul untuk menghadirkan hari yang baru.
Namun, Musa menantang kesaktian Ra atas perintah Allah. Ketika Musa mengangkat tangannya, kegelapan menyelimuti Mesir selama tiga hari (22). Bagi orang-orang Mesir, ini seolah menandakan bahwa Ra telah dikalahkan dan tidak akan bangkit lagi.
Kekacauan pun melanda Mesir. Bahan makanan telah lama menjadi langka, dan dalam gelap gulita, orang-orang Mesir tidak dapat menyiapkan makanan atau berpindah tempat tanpa risiko besar (23). Keputusasaan menghantui seluruh negeri.
Namun, di tengah situasi genting itu, apa yang dilakukan Firaun? Ia malah sibuk menawar dengan Musa, lebih mementingkan kerugian ekonomis jika harus melepaskan bangsa Israel dan ternak mereka (24). Sikap Firaun mencerminkan seorang penyembah berhala yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi di atas segalanya. Seorang pemimpin yang hanya memikirkan dirinya sendiri akan membawa celaka, baik bagi rakyat maupun lembaga yang ia pimpin.
Di masa sekarang, kita perlu bertanya: apakah pemimpin kita sungguh peduli terhadap nyawa manusia? Kita harus berdoa agar negara kita dipimpin oleh orang-orang yang benar, yang memikirkan kesejahteraan bersama, bukan hanya kepentingan pribadi atau kelompok.
Selain itu, mari kita periksa diri. Apakah keputusan-keputusan kita dalam kehidupan sehari-hari lebih sering didasarkan pada pertimbangan ekonomis semata, ataukah kita peduli pada kesejahteraan orang lain?
Yesus mengajarkan kita untuk menjadi terang dunia, agar Bapa di surga dimuliakan (Matius 5:16). Terang kita paling bersinar ketika kita menunjukkan empati dan kasih di tengah dunia yang penuh kegelapan. Mari kita berupaya untuk lebih peduli dan berempati dalam setiap tindakan kita, sehingga kita bisa membawa perubahan yang berarti bagi orang-orang di sekitar kita.
Gengsi atau Rezeki?
Allah menghadirkan ultimatum kepada Firaun: melepaskan bangsa Israel atau menghadapi kehancuran sumber makanan pokok di Mesir.
Tulah kelima membawa hama belalang dari timur. Hama ini semakin memperparah kerusakan pada lahan pertanian yang sudah rusak akibat tulah sebelumnya (15). Sektor pertanian, yang menjadi kebanggaan Mesir, kini lumpuh total. Setelah sumber protein hewani menyusut karena sampar dan hujan es, bencana kelaparan benar-benar mengintai.
Masalah kelaparan nasional sangat mempengaruhi kedaulatan Firaun. Menteri-menterinya berani menegurnya (7-8), menggoyahkan harga dirinya hingga ia akhirnya menuruti saran mereka. Bahkan, ketahanan mental Firaun hampir runtuh. Ketika hama belalang tiba, ia segera berdoa memohon ampun kepada Allah (16-17). Firaun yang sebelumnya menyombongkan diri sebagai dewa, kini untuk pertama kalinya "mengemis" kepada Allah Yang Mahakuasa.
Sikap Firaun memberi pelajaran bahwa orang yang keras hati terhadap Allah semakin bertambah keras hatinya saat ditimpa badai kehidupan. Semakin hancur harga dirinya, semakin besar kesombongannya.
Bagaimana sikap kita jika mata pencaharian pokok tiba-tiba hilang? Beberapa orang, karena tak tahan melihat keluarganya kelaparan, rela melepas gengsi demi bertahan hidup. Apakah ini dilakukan untuk keluarga atau sekadar untuk diri sendiri?
Berdoa kepada Allah adalah langkah mulia. Memohon pengampunan atau rezeki dari-Nya tidaklah hina. Allah adalah Gembala yang baik (Mazmur 23), yang menghargai hati yang hancur dan remuk (Mazmur 51:19). Karena itu, mengapa kita masih mempertahankan gengsi? Marilah kita merendahkan diri, berdoa, bertaubat, dan meminta keselamatan kepada Allah.
Berlindung pada Sumber Kehidupan
Keluaran 9:13-35
Allah kembali memberi ultimatum kepada Firaun, "Lepaskan atau rasakan akibatnya!" Firaun harus membiarkan bangsa Israel pergi untuk beribadah. Jika tidak, seluruh Mesir akan merasakan hukuman dari Allah (13).
Perhatikan bagaimana Allah menghantam bangsa Mesir! Seluruh negeri dilanda hujan es. Hujan es ini bukan seperti salju yang lembut, melainkan bongkahan es sebesar kepalan tangan, bahkan lebih besar, yang jatuh dari langit dengan kecepatan tinggi. Gaya gravitasi membuat setiap batu es berpotensi mematikan (18).
Tulah ketujuh ini memastikan Mesir akan mengalami bencana kelaparan besar. Jumlah ternak yang sudah berkurang akibat tulah kelima akan semakin menyusut. Selain itu, lahan pertanian juga rusak parah (25). Tanaman biji-bijian dan sayuran gagal dipanen.
Namun, Allah masih menunjukkan belas kasihan dengan dua cara. Pertama, Ia memberi petunjuk bagi mereka yang ingin selamat dari bencana (19). Kedua, tidak semua bahan makanan pokok dimusnahkan (32). Akibatnya, bangsa Mesir pun terbagi dua. Sebagian mulai takut kepada TUHAN (20), sedangkan sebagian lagi tetap mengabaikannya.
Setelah menikmati kelimpahan tanpa mengindahkan Allah, terkadang "kedinginan rohani," krisis rohani, atau ancaman kelaparan dapat membangunkan seseorang dari hidupnya yang nyaman. Sebuah krisis dapat mengajarkan kita untuk mencari dan menghargai Allah, Sang Sumber Kehidupan yang sejati. Hal ini juga bisa terjadi pada orang Kristen.
Apakah ada sesuatu yang menjadi dingin dalam hidup kita? Mungkinkah kita telah kehilangan kehangatan dalam hubungan kita dengan Allah dan sesama? Bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap ketenaran atau kekayaan? Apa makna hidup yang sebenarnya?
Solusi bagi pergumulan hidup kita adalah mendekat kepada Allah! Mari kita berlindung kepada-Nya, sumber kebahagiaan dan kehangatan yang sejati. Jangan terus berada di luar! Hidup kita akan bermakna ketika kita hidup dalam Sang Sumber Kehidupan.
Mengeras, Lalu Pecah
Diperbudak oleh Nafsu Memperbudak
Keluaran 9:1-7
Setiap orang adalah budak dari sesuatu, termasuk Firaun, raja Mesir. Kali ini, TUHAN, Allah orang Ibrani, memberikan ultimatum kepada Firaun: "Lepaskan atau rasakan akibatnya!" Firaun harus melepaskan bangsa Israel; jika tidak, seluruh Mesir akan menerima hukuman dari Allah.
Konsekuensi jika ultimatum itu diabaikan adalah munculnya penyakit sampar yang akan memusnahkan jutaan ternak bangsa Mesir secara serentak (2-3). Firaun tidak diberi banyak waktu untuk berpikir atau berdiskusi dengan para menterinya. Ia hanya punya waktu sampai esok hari (5).
Seperti sebelumnya, Firaun tetap memilih untuk memperbudak bangsa Israel. Ia ingin mempertahankan kekuasaannya atas para budak, namun akibatnya, seluruh rakyat Mesir harus menderita. Mereka kehilangan jutaan ternak yang sangat penting sebagai sumber mata pencaharian dan pangan hewani. Firaun lebih peduli pada egonya daripada kesejahteraan rakyatnya.
Pernyataan "setiap orang rentan diperbudak oleh sesuatu" terbukti benar. Ada yang diperbudak oleh keinginan, ketakutan, kenikmatan, hobi, kehormatan, hubungan, kekuasaan, uang, masa lalu, dan lain-lain. Dalam cerita ini, Firaun diperbudak oleh hasrat untuk memperbudak orang lain. Hasrat itu membuatnya menjadi budak kekuasaan. Setiap orang yang diperbudak pasti mengalami penderitaan.
Tanyakanlah pada diri kita masing-masing: Apakah saya seorang pemimpin atau budak? Apakah saya merdeka atau hamba? Apakah saya dikuasai oleh keinginan untuk mengendalikan orang lain? Dapatkah saya lepas dari perbudakan ini?
Dalam Perjanjian Baru, Rasul Paulus menyampaikan tekad yang serupa dalam tulisannya, "... aku tidak mau membiarkan diriku diperhamba oleh apa pun" (lihat 1Kor. 6:12). Sebagai pemimpin jemaat mula-mula, Paulus selalu memikirkan dan berusaha untuk yang terbaik bagi jemaat. Semoga kita juga bisa menerapkan tekad yang sama dalam kehidupan kita.
Perlindungan Khusus terhadap Umat
Keluaran 8:20-32
Bencana bisa terjadi di mana saja dan dapat menimpa siapa saja, termasuk umat Allah. Namun, Allah bisa membuat pengecualian agar umat-Nya terlindungi dari bencana.
Mulai dari tulah keempat, berupa lalat pikat, Allah menunjukkan sesuatu yang berbeda. "Tetapi, pada hari itu Aku akan mengecualikan tanah Gosyen, tempat umat-Ku tinggal, sehingga di sana tidak terdapat lalat pikat, supaya engkau mengetahui bahwa Aku, TUHAN, ada di negeri ini. Sebab, Aku akan membuat perbedaan antara umat-Ku dan bangsamu. Besok mukjizat ini akan terjadi" (22-23). Tuhan kemudian melakukan seperti yang telah Ia firmankan; banyak lalat pikat masuk ke dalam istana Firaun, ke rumah para pejabatnya, dan ke seluruh tanah Mesir (24).
Baru pada tulah keempat ini, umat Israel yang tinggal di Gosyen tidak terkena dampaknya. Tuhan melakukannya untuk menunjukkan bahwa Ia hadir di Mesir. Dengan ini, Tuhan menunjukkan perbedaan antara umat-Nya dan bangsa Mesir.
Kita melihat bahwa Allah sengaja memperlihatkan perbedaan dalam pemeliharaan-Nya bagi umat-Nya dan mereka yang bukan umat-Nya. Hal ini sering kita temukan dalam Alkitab. Misalnya, aturan mengenai pembebasan budak Ibrani pada tahun ketujuh (lihat Kel. 21:2) hanya berlaku untuk budak Ibrani, yang merupakan umat Allah. Jelaslah bahwa Allah memberikan perlindungan khusus kepada umat-Nya.
Mungkin kita tidak selalu bisa melihat perbedaan perlindungan Allah bagi orang percaya dan mereka yang tidak percaya. Namun, sebagaimana umat Allah di Gosyen dilindungi, kita dapat mempercayai bahwa Allah melindungi kita sebagai umat-Nya, dengan perlindungan yang khusus dibanding mereka yang bukan umat-Nya. Perlindungan ini diberikan semata-mata karena kita adalah milik Allah.
Bersyukurlah atas perlindungan khusus yang Allah berikan kepada umat-Nya. Kiranya, kita semakin menyadari betapa berbahagianya kita menjadi umat yang dimiliki oleh Allah.
Hukuman Berkali Lipat
Keluaran 8:16-19
Ketika Allah memberikan hukuman dan manusia tetap tidak mau bertobat, biasanya Allah akan memberikan hukuman yang lebih berat. Prinsip ini juga terlihat dalam sepuluh tulah yang terjadi di Mesir.
Berbeda dengan tulah pertama dan kedua, tulah ketiga diberikan tanpa peringatan. Mungkin TUHAN tidak memberikan peringatan ini sebagai balasan atas Firaun yang telah melanggar janjinya (lihat 8:15). TUHAN langsung menyuruh Musa agar Harun mengulurkan dan memukulkan tongkatnya ke debu tanah, sehingga debu itu berubah menjadi nyamuk di seluruh tanah Mesir (16). Debu yang dahulu digunakan untuk membentuk manusia (lihat Kej. 2:7), kini digunakan sebagai alat tulah. Para ahli sihir Mesir berusaha melakukan hal serupa untuk menciptakan nyamuk, tetapi mereka tidak berhasil (18). Kemudian mereka berkata kepada Firaun: "Ini adalah perbuatan tangan ilahi!" (19).
Dalam hal ini, kita melihat peningkatan dalam kedahsyatan tulah yang TUHAN kirimkan. Jika pada tulah pertama dan kedua para ahli sihir Mesir bisa meniru menggunakan mantra mereka, kini mereka tidak mampu. Mereka menyadari bahwa ini bukanlah hasil dari mantra, melainkan perbuatan ilahi. Pada tulah-tulah berikutnya, kedahsyatan semakin meningkat.
Alkitab menunjukkan bahwa saat Allah memberi hukuman dan manusia tidak mau bertobat, Allah akan meningkatkan hukumannya. Hal ini juga berlaku bagi umat-Nya. Dalam kitab Imamat, kita membaca bahwa jika umat terus mengabaikan peringatan dan tidak bertobat, Allah akan menghajar mereka dengan lebih keras hingga tujuh kali lipat, dan peringatan ini disebutkan empat kali (lihat Im. 26:18, 21, 24, 28).
Allah memberikan hukuman sebagai panggilan untuk bertobat. Jadi, jika kita mendapat hukuman, segeralah bertobat! Jangan sampai hukuman menjadi lebih berat karena kita bersikeras seperti Firaun.
Melalui kasih-Nya, Allah menghukum kita yang berdosa. Semoga kita memiliki hati yang siap untuk bertobat dan berusaha menaati Allah.
Kedaulatan Allah dan Dosa Manusia
Keluaran 8:1-15
Berkali-kali Allah berfirman bahwa Ia akan mengeraskan hati Firaun (lihat Kel. 4:21, 7:3, 9:12, 10:1, 20). Di sisi lain, Alkitab juga mencatat bahwa Firaun mengeraskan hatinya sendiri (lihat Kel. 7:13, 9:35, 8:15, 32, 9:34). Bagaimana kita memahami kedua hal ini?
Ketika membaca Alkitab, kita perlu memahami konsep paradoks, yaitu dua hal yang tampak bertentangan, tetapi sebenarnya tidak.
Tulah kedua adalah ketika Allah, melalui Harun, mendatangkan begitu banyak katak hingga menutupi seluruh tanah Mesir (5-6). Firaun kemudian memanggil Musa dan Harun, dan berkata, "Mohonlah kepada TUHAN agar Ia menyingkirkan katak-katak ini dari diriku dan rakyatku, maka aku akan membiarkan bangsa itu pergi mempersembahkan kurban kepada TUHAN" (8). Musa pun berdoa, dan benar, katak-katak itu mati di rumah, di halaman, dan di ladang (9-13). "Namun, ketika Firaun melihat keadaan membaik, ia kembali mengeraskan hatinya dan tidak mau mendengarkan mereka, seperti yang telah difirmankan TUHAN" (15).
Perhatikan pada ayat 15 dikatakan bahwa Firaun "mengeraskan hatinya", tetapi itu juga adalah seperti yang sudah Allah firmankan, bahwa "TUHAN akan mengeraskan hati Firaun". Kedua hal ini tidak bertentangan, melainkan merupakan paradoks. Jadi, kita dapat memahami bahwa saat Allah dikatakan mengeraskan hati Firaun, itu berarti Allah membiarkan Firaun untuk tetap keras hati.
Sesungguhnya, tidak ada seorang pun yang benar (lihat Rm. 3:10-12), dan Firaun pasti akan tetap mengeraskan hatinya jika Allah tidak melembutkannya. Istilah "TUHAN mengeraskan hati Firaun" menunjukkan bahwa keputusan akhir untuk melembutkan hati atau membiarkan hati tetap keras ada sepenuhnya di tangan Allah. Ini berarti bahwa Firaun tidak menerima berkat atau persetujuan dari Allah. Firaun bersalah karena mengeraskan hatinya dan tidak menepati janjinya. Dengan demikian, meskipun Allah berdaulat atas hidup manusia, dosa tetap menjadi tanggung jawab manusia itu sendiri.
Tuhan Memelihara Kehidupan
Keluaran 7:14-25
Perang pada zaman kuno tidak hanya terjadi antara kerajaan, tetapi lebih merupakan konflik antar dewa. Oleh karena itu, adalah wajar jika sepuluh tulah ditujukan sebagai hukuman terhadap "semua ilah di Mesir" (Kel. 12:12).
Tuhan memerintahkan Musa untuk menemui Firaun di pagi hari, saat Firaun biasa pergi ke Sungai Nil dan menunggu di tepi sungai (14-15). Ketika Firaun menolak untuk membebaskan orang Israel, Tuhan menunjukkan jati diri-Nya dengan mengubah air Sungai Nil menjadi darah (17). "Ikan di Sungai Nil akan mati, dan sungai itu akan berbau busuk, sehingga orang Mesir tidak dapat minum air dari Sungai Nil ini" (18).
Mengapa tulah pertama ditujukan kepada Sungai Nil? Apakah ini dimaksudkan untuk menyerang dewa Sungai Nil, ataukah sebagai balasan Tuhan terhadap bayi laki-laki yang dibuang ke sungai saat kelahiran Musa?
Dewa sungai sering dianggap memiliki peran penting karena sungai adalah sumber air minum. Pentingnya dewa Sungai Nil bagi Firaun dan orang Mesir terlihat dari kebiasaan Firaun yang setiap pagi pergi ke Sungai Nil (14-15, 8:20). Dalam konteks penyeberangan Sungai Yordan, kita juga perlu memahami bahwa Allah mengalahkan dewa Sungai Yordan, yang membuat semua raja Kanaan merasa ketakutan (bdk. Yos. 5:1). Melalui tulah pertama ini, Tuhan ingin menunjukkan bahwa yang memberikan air untuk manusia bukanlah dewa sungai, tetapi TUHAN, Allah Israel. Kita tentu menyadari bahwa air adalah elemen yang sangat penting untuk kehidupan semua makhluk di bumi. Inti dari tulah pertama ini mengajarkan kita bahwa hanya TUHAN yang dapat memberikan dan memelihara kehidupan seluruh makhluk.
Apakah kita menyadari bahwa jika bukan karena Allah yang menyediakan segalanya, termasuk air dan oksigen, kita tidak akan bisa bertahan hidup di bumi? Mari kita bersyukur dan menghargai semua yang telah Allah berikan untuk keberlangsungan hidup kita. Jangan anggap remeh keberadaan air dan oksigen!
Pagi ini, mari kita memohonkan berkat kepada TUHAN untuk Bapak, Ibu, serta saudara-saudari sekalian. Semoga berkat kesehatan, sukacita, dan damai sejahtera mengalir dalam hidup kita semua.
Kiranya rumah tangga, anak-anak, dan cucu-cucumu diberkati. Begitu juga pekerjaanmu, sawah dan ladangmu, usahamu, studi, toko, kantor, rekan bisnis, pelanggan, rumah, keluarga, pelayanan, gereja, majikan, dan calon pendampingmu.
Dalam nama TUHAN YESUS, biarlah berkat-Mu tercurah berlimpah dalam kehidupan kami. Yang percaya, katakan AMIN! TUHAN YESUS memberkati.
Misi Penginjilan di Mesir
Keluaran 6:28-7:13
Kisah sepuluh tulah di Mesir memperlihatkan bahwa misi penginjilan telah dimulai jauh sebelum kedatangan Yesus. Bahkan dalam Perjanjian Lama, Allah menunjukkan kekuasaan-Nya kepada bangsa-bangsa lain. TUHAN mengeraskan hati Firaun dan memberikan sepuluh tulah dengan tujuan yang jelas: agar orang Mesir, serta seluruh dunia, mengenal siapa TUHAN yang sesungguhnya.
Dengan "mengeraskan hati Firaun," TUHAN memberikan kesempatan kepada orang Mesir untuk menyaksikan keajaiban-keajaiban yang hanya bisa dilakukan oleh Allah yang benar. Jika Firaun langsung membiarkan umat Israel pergi, mereka mungkin tidak akan menyaksikan tanda-tanda dan mukjizat tersebut. Tulah-tulah itu menjadi cara Allah menyatakan kemahakuasaan-Nya dan memperkenalkan diri-Nya sebagai Yahweh, Allah Israel. Dalam prosesnya, Dia ingin agar bangsa Mesir mengenal-Nya dengan erat, bukan sekadar mengetahui tentang-Nya dari kejauhan. Penggunaan kata "mengetahui" atau 'yada' menunjukkan bahwa tujuan TUHAN adalah membangun relasi, sebuah pengenalan yang mendalam.
Lebih dari sekadar membebaskan umat Israel dari perbudakan, misi sepuluh tulah juga menunjukkan bahwa Allah ingin menyelamatkan umat manusia, termasuk orang Mesir. Bukti dari dampak misi ini terlihat ketika orang Israel akhirnya keluar dari Mesir. Mereka tidak pergi sendiri, melainkan bersama-sama dengan orang dari berbagai bangsa lain yang turut percaya kepada TUHAN (Kel. 12:38). Ini menunjukkan bahwa misi Allah untuk menyelamatkan dan menarik orang kepada-Nya sudah berlaku sejak awal, melibatkan bukan hanya Israel, tetapi juga bangsa-bangsa lain.
Dalam konteks masa kini, ini mengingatkan kita akan pentingnya misi penginjilan. Kita dipanggil untuk melanjutkan amanat agung Yesus Kristus, membawa kabar keselamatan kepada semua orang, tidak hanya dengan kata-kata, tetapi juga melalui tindakan nyata yang mencerminkan kasih dan kekuasaan Allah. Mari kita menjalankan misi penginjilan ini dengan setia, seperti yang telah Allah lakukan sejak masa lalu, sehingga lebih banyak orang dapat mengenal dan berhubungan erat dengan-Nya.
Pagi ini, kita memohon berkat dari TUHAN bagi Bapak, Ibu, dan semua jemaat serta saudara-saudari. Semoga berkat kesehatan, sukacita, dan damai sejahtera melimpah dalam hidup kita semua.
Semoga rumah tangga Anda diberkati, begitu juga dengan anak-anak dan cucu-cucu Anda. Semoga berkat tercurah atas pekerjaan Anda, sawah dan ladang Anda, perusahaan, studi, toko, usaha, kantor, pelanggan, rumah, keluarga, pelayanan, gereja, majikan, dan calon pendamping Anda.
Dalam nama TUHAN YESUS, biarlah berkat-Nya melimpah dalam hidup kami. Yang percaya, katakan AMIN! TUHAN YESUS memberkati.
Perhatian Khusus
Keluaran 6:14-27
Silsilah dalam bacaan kali ini menunjukkan perhatian khusus Allah terhadap keturunan Lewi, terutama melalui Harun dan keturunannya. Walaupun Ruben dan Simeon adalah anak-anak tertua Yakub, fokus utama silsilah beralih kepada keturunan Lewi. Silsilah ini memperlihatkan bagaimana Allah memilih untuk memakai keluarga tertentu dalam pelayanan-Nya, khususnya sebagai imam bagi bangsa Israel.
Nama-nama dalam silsilah ini menyoroti generasi demi generasi yang disiapkan Allah untuk tugas khusus. Kehat, Amram, Harun, Eleazar, dan Pinehas adalah beberapa nama penting yang silsilah ini fokuskan. Umur dari beberapa orang tersebut disebutkan, memperlihatkan pentingnya mereka dalam rencana Allah. Khususnya, keturunan Harun ditunjuk sebagai imam besar bagi Israel, sementara keturunan Musa tidak disebutkan. Ini menunjukkan bahwa pilihan Allah atas siapa yang akan melayani sebagai imam adalah anugerah yang tidak diwariskan berdasarkan popularitas atau kedudukan, tetapi berdasarkan panggilan-Nya yang unik.
Meskipun Musa memainkan peran utama dalam membimbing umat Israel keluar dari Mesir, jabatan imam besar akan diwariskan kepada keturunan Harun. Ini adalah gambaran bahwa setiap orang memiliki peran khusus yang ditetapkan Allah dalam rencana-Nya, dan pelayanan imam besar adalah hak istimewa yang dianugerahkan kepada keturunan Harun.
Sebagai orang percaya, ini mengingatkan kita bahwa dipilih dan dipakai Allah adalah anugerah besar. Berdoa agar kita dan keturunan kita bisa dipakai Allah dalam melaksanakan kehendak-Nya, apapun peran yang diberikan. Kita semua memiliki kesempatan untuk melayani Tuhan dengan cara kita masing-masing, dan berkat Tuhan dapat mengalir dari generasi ke generasi melalui pelayanan dan kesetiaan kita kepada-Nya.
Pernyataan Siapa Tuhan
Keluaran 6:2-13
Pernyataan Allah kepada Musa mengenai nama-Nya yang kudus, Yahweh, adalah salah satu momen penting dalam kisah Keluaran. Dalam konteks itu, Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Yahweh, yang bermakna lebih dalam dari sekadar nama pribadi. Walau nama Yahweh sudah muncul dalam kitab Kejadian, Allah belum menyatakan makna penuh dari nama tersebut kepada bapa-bapa leluhur.
Bagi Abraham, Ishak, dan Yakub, Allah terutama dikenal sebagai El-Shaddai, Allah yang Mahakuasa dan pemelihara. Allah memakai nama El-Shaddai untuk menunjukkan kuasa-Nya dalam memelihara umat-Nya dan memastikan kelangsungan mereka. Namun, dengan Musa, Tuhan memperkenalkan nama Yahweh dalam kaitannya dengan tindakan penyelamatan yang besar, yaitu membebaskan Israel dari perbudakan Mesir.
Nama Yahweh mengandung makna bahwa Allah adalah Tuhan yang aktif dalam sejarah umat-Nya, bukan sekadar memelihara, tetapi juga menyelamatkan. Di sini, Yahweh berperan sebagai penyelamat yang membawa umat Israel keluar dari perbudakan menuju tanah perjanjian. Oleh karena itu, kisah Keluaran menjadi sebuah pengungkapan yang lebih dalam tentang siapa Yahweh sesungguhnya.
Melalui nama Yahweh, Allah menegaskan bahwa Dia bukan hanya Allah bagi para leluhur, tetapi juga bagi seluruh bangsa Israel dan generasi selanjutnya. Nama ini menjadi pengingat bagi kita bahwa Allah bukan hanya pemelihara yang menjaga, tetapi juga penyelamat yang setia dan selalu hadir dalam pergumulan umat-Nya.
Kehadiran dan penyelamatan Allah sebagai Yahweh mengajak kita untuk merenungkan dan mempercayai bahwa kita memiliki Tuhan yang tidak hanya hadir dalam kekuatan-Nya, tetapi juga dalam kasih setia yang membebaskan. Kiranya kita semakin teguh dalam iman, menyadari bahwa Yahweh adalah Allah yang senantiasa memelihara dan menyelamatkan.
Permulaan yang Mengecewakan
Keluaran 5
Ketika Allah memberi tugas, sering kali tugas tersebut tidak dimulai dengan mulus. Bahkan, bisa diawali dengan kesulitan dan kekecewaan yang membuat kita meragukan arah langkah kita.
Seperti yang dialami oleh Musa dan Harun ketika menyampaikan firman Tuhan kepada Firaun. Mereka meminta agar Firaun mengizinkan bangsa Israel pergi untuk mengadakan perayaan di padang gurun (Keluaran 5:1). Namun, Firaun menanggapi dengan sikap yang sombong dan menantang. Ia mempertanyakan, "Siapakah Tuhan itu yang harus kudengarkan firman-Nya?" (Keluaran 5:2). Bukannya mengizinkan, Firaun justru membuat situasi semakin sulit dengan memerintahkan agar bangsa Israel tetap memproduksi batu bata, tetapi tanpa diberikan jerami sebagai bahan dasar (Keluaran 5:6-8). Ini membuat tugas mereka menjadi sangat berat, dan ketika jumlah batu bata tidak terpenuhi, para pengawas kerja Firaun memukuli mandor-mandor Israel (Keluaran 5:14).
Tidak heran, para mandor Israel menjadi marah dan menyalahkan Musa dan Harun atas situasi tersebut. Mereka bahkan menuduh Musa dan Harun memberi pedang kepada orang Mesir untuk membunuh mereka (Keluaran 5:21). Perasaan kecewa dan putus asa pun menyelimuti Musa. Ia berseru kepada Tuhan dan mempertanyakan kenapa tugas yang ia lakukan justru membawa kesulitan bagi bangsanya (Keluaran 5:22-23). Namun, Tuhan menegaskan kepada Musa bahwa ini hanyalah permulaan. Allah berjanji bahwa Ia akan memperlihatkan kuasa-Nya atas Firaun, dan bangsa Israel akan dibebaskan dari Mesir (Keluaran 6:1).
Permulaan yang mengecewakan adalah bagian dari perjalanan kita sebagai orang percaya. Seperti Musa, kita pun kadang-kadang mendapati bahwa tugas yang Allah berikan tidak selalu membawa hasil yang cepat atau terlihat. Dunia ini dikuasai oleh si jahat (1 Yohanes 5:19), dan ketidakadilan masih merajalela (Pengkhotbah 4:1). Yesus sendiri mengingatkan bahwa dunia akan membenci kita (Yohanes 15:18). Maka, tidaklah mengherankan jika dalam upaya menjalankan tugas dari Tuhan, kita menemui kegagalan atau bahkan ditolak oleh orang-orang yang kita tolong.
Yang perlu kita lakukan adalah tetap setia dan percaya bahwa Allah tidak pernah meninggalkan kita. Jangan putus asa ketika langkah awal tampaknya gagal total. Tuhan memahami kesulitan kita, dan Dia mengerti kekecewaan kita. Mungkin kita tidak mengerti semua rencana-Nya, tetapi kita dapat yakin bahwa Dia mampu menyelesaikan segala sesuatu tepat pada waktunya. Percayalah bahwa tugas yang Allah berikan akan tergenapi. Mari kita kuatkan hati kita dan segera minta pengampunan saat kita merasa kecewa dengan cara yang Tuhan izinkan. Sebab, Tuhan selalu memegang kendali atas segalanya, dan Dia akan memampukan kita untuk menyelesaikan tugas-Nya.
Pagi ini, kita bersama-sama memohon berkat dari Tuhan untuk kita semua. Kiranya Tuhan Yesus melimpahkan kesehatan, sukacita, dan damai sejahtera yang tak berkesudahan atas kita dan orang-orang yang kita kasihi.
Semoga setiap rumah tangga diberkati dengan keharmonisan dan cinta. Kiranya anak-anak dan cucu-cucu kita tumbuh dalam kasih dan didikan yang baik, menjadi berkat bagi banyak orang.
Berkat-Nya mengalir atas setiap pekerjaan, baik di sawah dan ladang, di perusahaan, di toko, dan di kantor. Semoga setiap usaha, studi, dan pelayanan kita dilimpahi keberhasilan dan berkat, dan kiranya hubungan dengan pelanggan, rekan kerja, majikan, maupun calon pendamping diberkati Tuhan.
Kita percaya, Tuhan Yesus akan mencurahkan berkat yang melimpah, membawa keberhasilan dan kelimpahan dalam segala aspek kehidupan kita. Kita ucapkan syukur dan berkata, "Amin!" Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita hari ini dan selamanya.
Amin!
Allah Telah Mengantisipasi Kelemahan Kita
Keluaran 4
Penolakan dan kegagalan di masa lalu sering membuat seseorang enggan mencoba kembali. Hal ini juga dialami oleh Musa, yang beberapa kali menolak panggilan Tuhan untuk memimpin bangsa Israel keluar dari perbudakan di Mesir. Ketakutan Musa bukanlah tanpa alasan. Ketika ia masih di Mesir, Musa berpikir bahwa saudara sebangsanya akan mengerti bahwa Allah ingin memakai dia untuk menyelamatkan mereka. Namun, mereka justru menolak dan tidak mengerti (Kis. 7:24-25). Pengalaman penolakan itu meninggalkan trauma yang mendalam bagi Musa, sehingga meskipun Tuhan telah berjanji untuk menyertainya, Musa tetap merasa takut dan ragu.
Musa bertanya, "Bagaimana jika mereka tidak percaya kepadaku?" (Keluaran 4:1). Dalam menanggapi keraguan ini, Tuhan melakukan beberapa mukjizat untuk menguatkan Musa. Tuhan memerintahkan Musa melemparkan tongkatnya ke tanah, yang kemudian berubah menjadi ular. Lalu, Tuhan menyuruh Musa memasukkan tangannya ke dalam bajunya, dan ketika ditarik keluar, tangannya menjadi putih karena penyakit kulit. Namun, Tuhan menyembuhkan tangan Musa seketika setelah tangan itu dimasukkan kembali ke dalam baju (Keluaran 4:3-7).
Meskipun sudah menyaksikan mukjizat-mukjizat ini, Musa masih merasa tidak layak dan mencari alasan lain, kali ini tentang ketidakmampuannya berbicara dengan baik (Keluaran 4:10). Tuhan menegaskan bahwa Dia akan mengajari Musa apa yang harus dikatakan (Keluaran 4:11-12). Bahkan ketika Musa tetap keberatan, Tuhan murka, namun Dia tidak menyerah. Sebagai solusi, Tuhan mengutus Harun, saudara Musa, untuk menjadi juru bicara yang mendampingi Musa (Keluaran 4:13-14).
Kisah ini menunjukkan bahwa Tuhan telah mengantisipasi setiap kelemahan dan keberatan Musa. Tuhan bahkan telah mengutus Harun sebelum Musa mengungkapkan keraguannya. Ini adalah bukti bahwa Tuhan selalu mengetahui kekurangan kita, bahkan sebelum kita menyadarinya. Namun, kelemahan bukanlah alasan bagi kita untuk menolak panggilan Tuhan. Tuhan tidak memanggil kita karena kita sempurna, melainkan karena Dia tahu bahwa Dia dapat memperlengkapi kita untuk tugas yang diberikan.
Sebagai orang percaya, kita harus memahami bahwa Allah telah mengantisipasi segala kekurangan dan kelemahan kita. Ketika Tuhan menugaskan kita untuk suatu pekerjaan, Dia sudah mempersiapkan jalan dan akan memperlengkapi kita dengan segala yang kita butuhkan. Oleh karena itu, daripada menggunakan kelemahan sebagai alasan untuk menghindar, marilah kita percaya bahwa Tuhan akan memberikan kita kekuatan dan kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan kehendak-Nya.
Dengan keyakinan bahwa Tuhan menyertai kita, marilah kita berani menerima panggilan-Nya dan menjalankan tugas yang diberikan dengan penuh iman.
Tuhan Utus, Tuhan Urus
Keluaran 2:23-3:22
Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Keyakinan ini menjadi sumber kekuatan bagi kita, orang percaya, ketika menghadapi tantangan yang tampak mustahil secara logika. Cara kerja Tuhan sering kali melampaui pemahaman kita, dan Ia selalu hadir untuk menolong kita keluar dari kesulitan.
Kisah Musa adalah bukti nyata bagaimana Tuhan bekerja dengan cara-Nya yang ajaib. Setelah kematian raja Mesir, penderitaan bangsa Israel masih berlanjut karena perbudakan. Mereka berseru meminta tolong, dan Allah mendengar seruan mereka. Allah memperhatikan mereka, mengingat perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak, dan Yakub, serta memutuskan untuk bertindak demi menyelamatkan bangsa Israel.
Tuhan memanggil Musa melalui pengalaman luar biasa, ketika Musa melihat semak duri yang menyala tetapi tidak terbakar di Gunung Horeb (Keluaran 3:1-5). Tuhan mengutus Musa dengan misi besar: membawa bangsa Israel keluar dari Mesir menuju Tanah Perjanjian, negeri yang berlimpah susu dan madu (Keluaran 3:6-10).
Namun, Musa merasa ragu dan tidak percaya diri. Ia bertanya, "Siapakah aku ini, sehingga aku yang akan menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?" (Keluaran 3:11). Di tengah keraguannya, Tuhan memberikan jaminan, mengatakan, "AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu" (Keluaran 3:14), menegaskan bahwa Musa tidak sendiri—Tuhan sendiri yang menyertainya dalam setiap langkah.
Walaupun Musa tahu bahwa membawa bangsa Israel keluar dari Mesir bukanlah tugas yang mudah, Tuhan berjanji akan memberkati upayanya. Dengan tangan-Nya yang kuat, Tuhan akan melakukan perbuatan ajaib untuk melembutkan hati Firaun dan orang Mesir, sehingga mereka membiarkan bangsa Israel pergi dengan kekayaan yang akan menjadi modal mereka untuk masa depan.
Pesan ini juga berlaku bagi kita saat ini. Kita, sebagai orang percaya yang telah menerima keselamatan dari Tuhan, juga dipanggil dan diutus untuk menolong mereka yang tertindas dan membawa perubahan di lingkungan kita. Tugas ini mungkin tampak besar, namun Tuhan yang mengutus kita, juga yang akan mengurus segala sesuatunya.
Bagaimana kita merespons panggilan Tuhan? Pertama, kita harus bersyukur karena Tuhan berkenan memakai kita untuk pekerjaan-Nya. Kedua, kita perlu terus berdoa agar Tuhan memperlengkapi dan memampukan kita untuk bekerja bersama-sama dengan orang lain yang juga diutus-Nya. Dengan demikian, kita dapat membawa perubahan positif dan menjadi terang di dunia ini sesuai dengan kehendak-Nya.
Tetap Berjuang untuk Kebenaran
Keluaran 2:11-22
Setiap hari, kita dihadapkan pada berbagai pilihan—apakah kita akan memperjuangkan kebenaran atau membiarkan ketidakadilan terjadi? Dalam kisah Musa, kita melihat bahwa ia memilih untuk peduli dan membela bangsanya yang tertindas, meskipun tindakannya memiliki konsekuensi besar (Keluaran 2:11-12). Musa tidak memilih kenyamanan hidup sebagai anak angkat Putri Firaun. Ia tidak tergoda untuk menikmati fasilitas istana atau menjalani hidup egois. Sebaliknya, Musa memilih untuk berbagi penderitaan dengan bangsanya.
Namun, tindakan Musa tidak dihargai oleh orang-orang yang ia bela. Bahkan, mereka menolak dan membuatnya harus melarikan diri ke Midian demi menghindari konflik yang lebih besar (Keluaran 2:13-15). Di pengasingan itu, Musa mengalami perjalanan hidup yang berat dan penuh dengan ketidakpastian. Meskipun demikian, masa di Midian justru menjadi momen persiapan penting bagi Musa. Di sana, Allah sedang mempersiapkan Musa untuk menjadi pemimpin besar yang kelak akan membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir.
Seperti Musa, kita juga dihadapkan pada pilihan untuk membela kebenaran. Memperjuangkan kebenaran tidak selalu mudah. Ada risiko penolakan, kesulitan, bahkan penderitaan. Namun, jangan pernah ragu, karena Tuhan selalu berpihak pada mereka yang berjuang demi kebenaran. Ketika kita memilih untuk setia pada kehendak Tuhan dan memperjuangkan keadilan, Tuhan akan memberikan kekuatan dan hikmat untuk melewati segala tantangan.
Bila kita mendapati diri kita berada dalam situasi yang sulit karena memperjuangkan kebenaran, ingatlah bahwa Tuhan tidak akan meninggalkan kita. Sebagaimana Tuhan menyertai Musa, Ia juga akan menyertai kita dalam perjuangan kita. Selain itu, kita juga dipanggil untuk mendukung sesama pejuang kebenaran di sekitar kita—berdoa untuk mereka, menyemangati mereka, dan saling menguatkan.
Mari kita berani memilih kebenaran, walaupun mungkin jalan tersebut dipenuhi tantangan. Tuhan selalu setia mendampingi dan memberikan kemenangan kepada mereka yang memperjuangkan apa yang benar sesuai firman-Nya.
Perjuangan Orang Tua
Ibu Musa tidak menyerah pada keadaan. Ia bertindak dengan berani, meskipun tindakannya berpotensi membahayakan dirinya sendiri (Keluaran 2:1-3). Namun, dalam perjuangannya, ia tidak bekerja sendirian. Anak perempuannya juga berperan penting dalam membantu menyelamatkan adiknya (Keluaran 2:4). Anak ini menunjukkan kasih sayang dan tanggung jawab yang besar, kualitas yang jelas ia pelajari dari teladan ibunya. Sikap orang tua sangat memengaruhi cara anak bertindak; apa yang ditanamkan akan dituai pada waktunya.
Tidak hanya ibu dan anak perempuan yang terlibat, tetapi juga Putri Firaun. Meskipun ia bagian dari keluarga kerajaan yang mengeluarkan perintah pembunuhan bayi laki-laki Ibrani, hatinya tergerak oleh belas kasih ketika melihat bayi Musa (Keluaran 2:5-10). Tindakannya menunjukkan bahwa kasih sejati mampu melampaui perbedaan status, budaya, bahkan hukum.
Dari kisah ini, kita dapat melihat bagaimana Allah bekerja melalui berbagai pihak untuk melaksanakan rencana penyelamatan-Nya. Ia tidak hanya menggunakan ibu Musa, tetapi juga anak perempuan dan Putri Firaun untuk menyelamatkan sang bayi yang kelak akan menjadi pemimpin besar bagi umat Israel.
Sebagai orang tua, kita belajar bahwa perjuangan kita bukan hanya tentang melindungi secara fisik, tetapi juga tentang menanamkan nilai-nilai kasih dan iman dalam kehidupan anak-anak kita. Kita dipanggil untuk berperan dalam rencana Tuhan, dan setiap langkah kita seharusnya disertai dengan kepercayaan penuh kepada-Nya. Mari terus berjuang dengan kekuatan dan hikmat dari Tuhan, menjalani setiap rencana-Nya dengan tanggung jawab dan ketekunan.
Kiranya Tuhan memberkati rumah tanggamu, anak-anakmu, cucu-cucumu, pekerjaanmu, sawah dan ladangmu, perusahaanmu, studimu, tokomu, usahamu, kantormu, kerja samamu, dan para pelangganmu. Biarlah berkat-Nya juga tercurah atas rumahmu, keluargamu, pelayananmu, gerejamu, majikanmu, dan calon pendampingmu.
Dalam nama Tuhan Yesus, biarlah berkat-Nya mengalir dengan limpah dalam hidup kita. Yang percaya katakan, Amin! Tuhan Yesus memberkati. 🙏
Takut versus Akal Sehat
Karena takut akan bertambah banyaknya orang Ibrani di Mesir, Firaun mengambil tindakan kejam. Dia memerintahkan para pengawas dan rakyat Mesir untuk menindas bangsa Ibrani melalui kerja paksa, sehingga mereka mengalami penderitaan dan kepahitan dalam bekerja (6-14).
Tidak berhenti di situ, Firaun juga memerintahkan dua bidan bernama Sifra dan Pua, yang sering membantu perempuan Ibrani melahirkan, untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang dilahirkan oleh orang Ibrani (15-16).
Namun, rencana Firaun gagal karena Sifra dan Pua memilih untuk tidak menaati perintah tersebut. Sebaliknya, jumlah orang Ibrani semakin bertambah banyak (17-21). Akhirnya, Firaun memerintahkan agar semua bayi laki-laki dari keturunan Ibrani dibuang ke Sungai Nil. Tindakan ini mencerminkan ketakutan yang mendalam pada Firaun terhadap perkembangan bangsa Israel.
Jangan biarkan rasa takut menguasai kita hingga menjerumuskan kita ke dalam dosa dan kejahatan. Bagaimana cara kita menghadapi ketakutan? Rasa takut dapat diatasi dengan mengandalkan pertolongan Tuhan, karena akar dari ketakutan sering kali adalah kurangnya kepercayaan pada Tuhan. Sering kali, kita lebih memilih untuk mengandalkan apa yang kita lihat dan rasakan sendiri.
Tuhan tidak mengajarkan kita untuk mengabaikan keadaan sekitar, tetapi jangan sampai rasa takut merusak akal sehat kita, hingga kita mengabaikan Tuhan dan merugikan orang lain. Percayalah kepada Tuhan dan jangan bergantung pada pemahaman kita sendiri. Yakinlah bahwa Tuhan memberi kita kemampuan untuk mengatasi ketakutan dan melakukan hal yang benar.
Seperti Sifra dan Pua yang berani melakukan hal benar di mata Tuhan, kita pun diajak untuk berani hidup sesuai kehendak-Nya.
Pagi ini, marilah kita memohonkan berkat kepada Tuhan bagi Bapak, Ibu, jemaat, serta saudara-saudari sekalian. Kiranya Tuhan melimpahkan berkat kesehatan, sukacita, dan damai sejahtera dalam kehidupan kita semua.
Kiranya Tuhan memberkati rumah tanggamu, anak-anakmu, cucu-cucumu, pekerjaanmu, sawah dan ladangmu, perusahaanmu, studimu, tokomu, usahamu, kantormu, kerja samamu, dan para pelangganmu. Biarlah berkat-Nya juga tercurah atas rumahmu, keluargamu, pelayananmu, gerejamu, majikanmu, dan calon pendampingmu.
Dalam nama Tuhan Yesus, biarlah berkat-Nya mengalir dengan limpah dalam hidup kita. Yang percaya katakan, Amin! Tuhan Yesus memberkati. 🙏