Tuhan menyampaikan firman kepada Musa untuk diteruskan kepada Harun dan anak-anaknya agar mereka menjaga persembahan kudus dengan sungguh-sungguh (2). Tidak sembarang orang boleh mempersembahkan atau memakan kurban, sehingga para imam memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga persembahan dari segala bentuk kenajisan dan kecemaran (3-16).
Di sisi lain, umat yang memberi persembahan juga memiliki tanggung jawab yang tidak bisa diabaikan. Hewan yang dipersembahkan—baik lembu jantan, domba, maupun kambing—haruslah tak bercela (18-21). Hewan yang cacat tidak boleh dipersembahkan kepada Tuhan (22-25). Umat yang hendak memberikan kurban harus melakukannya dengan penuh kesungguhan, pada waktu yang tepat, dan dengan cara yang benar (26-29). Persembahan bukan sekadar tradisi, tetapi merupakan bentuk ketaatan mereka kepada Allah (30). Dari sinilah kepercayaan umat kepada Tuhan, Sang Penebus, menjadi nyata.
Sayangnya, dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh sistem kapitalisme, prinsip persembahan kudus sering kali diabaikan. Apa yang dahulu dipersembahkan dengan penuh penghormatan kini lebih banyak dikonversi menjadi uang; pemberian yang seharusnya dikuduskan justru dipertahankan untuk kepentingan pribadi, dan yang diberikan hanyalah sisa yang tidak bernilai. Ini menunjukkan bahwa fokus utama bukan lagi kepada Allah, melainkan kepada materi.
Namun, sebagai umat yang setia, biarlah ketulusan kita dalam memberi tidak pudar. Memberikan persembahan yang terbaik mungkin tampak tidak menguntungkan secara duniawi, tetapi dari situlah kita menjaga pilar kepercayaan kita kepada Allah. Sebagaimana kita dipanggil untuk hidup dalam kekudusan, demikian pula hendaknya setiap persembahan kita mencerminkan kekudusan Allah yang kita sembah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar