Gereja Kristen Kalam Kudus Tepas Kesamben Blitar

Berkat Di Balik Musibah


Rut 1:1-22
Dan dialah yang akan menyegarkan jiwamu dan memelihara engkau pada waktu rambutmu telah putih; sebab menantumu yang mengasihi engkau telah melahirkannya, perempuan yang lebih berharga bagimu dari tujuh anak laki-laki.”

- Rut 4:15

Ada udang di balik batu. Sebuah pepatah dalam bahasa Indonesia yang berarti ada maksud di balik sebuah perbuatan. Kebenaran dalam pepatah ini kelihatannya sudah dialami oleh sebagian besar atau bahkan semua orang. Namun, saya juga merasa pepatah ini benar dalam kondisi kehidupan orang Kristen karena di balik kehidupan kita yang terasa keras seperti batu, ada berkat Tuhan yang nikmat seperti udang.

Kisah kehidupan Naomi menggambarkan betapa pun keras kehidupan, tetap ada berkat Tuhan untuk menopang hidupnya. Kesusahan dalam hidup Naomi datang bertubi-tubi selama periode yang cukup lama. Pertama, keluarganya terpaksa harus keluar dari Tanah Perjanjian dan mengembara di tanah musuh orang Israel, Moab (lih. Bil. 22:1-25:9). Kedua, anak-anaknya tidak memiliki keturunan dan semua laki-laki dalam keluarganya meninggal (ay. 3-5). Ketiga, ia harus menjadi janda, yang notabene begitu rentan dan tergantung kepada orang lain pada masa itu. Sungguh kondisi kehidupan yang pahit, wajar jika ia tidak mau dipanggil Naomi (artinya menyenangkan) tetapi Mara (artinya pahit). Namun, Yang Mahakuasa, Allah dari Naomi memberinya berkat untuk melalui kondisi yang berat tersebut.

Berkat Tuhan dalam kehidupan Naomi adalah menantu perempuan yang setia menemani Naomi. Kisah Naomi dan Rut, menantunya, mengajarkan bahwa berkat dari Tuhan bukan melulu berbicara tentang harta, takhta, atau sukacita. Naomi tetap pulang sebagai janda yang miskin (ay. 21) dan menantunya pun membuat gempar kampung halamannya (ay. 19). Naomi pada saat itu juga tidak melihat kehadiran Rut sebagai berkat dari Tuhan, tetapi Rut-lah yang selalu menemani Naomi dan pada akhirnya memberikan keturunan untuk melanjutkan keluarga Naomi (Rut 4:14-17). Berkat Tuhan bagi Naomi hadir melalui sosok Rut, orang Moab yang setia menemani Naomi.

Orang Kristen hendaknya tidak mengotak-ngotakkan berkat Tuhan dalam kehidupan hanya dalam bentuk materi. Memiliki banyak uang belum tentu berkat Tuhan, demikian juga dengan memiliki sedikit uang. Berkat Tuhan dapat hadir dalam kehadiran seorang rekan yang dapat berbagi hidup. Hidup kita pun juga dapat menjadi berkat bagi orang lain, apalagi jika kasih Tuhan Yesus sudah memenuhi hati kita.

Refleksi Diri:
Apa berkat yang Tuhan berikan kepada Anda, yang tidak berbentuk materi?
Apakah ada teman atau kerabat yang membutuhkan kehadiran Anda?

Share:

Membawa Penghiburan

Ayub 16:1-6

“Hal seperti itu telah acap kali kudengar. Penghibur sialan kamu semua! Belum habiskah omong kosong itu? Apa yang merangsang engkau untuk menyanggah?
- Ayub 16:2-3

Pernahkah Anda memiliki seorang sahabat yang sedang melewati masa-masa yang sulit tetapi Anda tidak tahu bagaimana harus menghiburnya? Mungkin Anda mengatakan kepada sahabat Anda bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan baginya seperti yang disampaikan firman Tuhan. Anda berpikir mungkin janji-janji penghiburan dan pemeliharaan Tuhan tersebut akan membuatnya merasa lebih baik.
Terkadang kita tidak tahan untuk tidak mengatakan sesuatu kepada orang-orang yang sedang menderita, terluka, atau kebingungan. Kita berkeinginan untuk menjelaskan kemungkinan mengapa mereka mengalami kejadian yang menyulitkan tersebut dan ingin memberikan kata-kata penghiburan. Kita juga mungkin berusaha menghubungi mereka setiap hari untuk melihat apakah situasi mereka membaik. Inilah yang dilakukan oleh sahabat-sahabat dari Ayub pada bacaan di kitab Ayub ini.
Sebagian besar kitab Ayub berisi penjelasan dari sahabat-sahabatnya mengenai mengapa anak-anaknya meninggal, mengapa seluruh ternaknya hilang, serta mengapa ia mengalami barah yang busuk di sekujur tubuhnya. Secara umum, kita akan setuju dengan penjelasan sahabat-sahabat Ayub. Namun sebenarnya, bukan karena alasan-alasan itulah Ayub mengalami berbagai macam penderitaan. Inilah yang menyebabkan kata-kata penghiburan sahabat-sahabat Ayub ini menjadi kata-kata yang membawa ketidaknyamanan dalam diri Ayub dan membuatnya justru menghardik mereka.
Terkadang Allah memang memakai kita untuk memberikan jawaban alkitabiah bagi mereka yang sedang mengalami penderitaan. Namun, kadang kala ada kondisi-kondisi dimana kita tidak menyadari bahwa apa yang kita katakan tidaklah membawa penghiburan. Daripada hanya mengutarakan kata-kata yang terdengar religius di dalam situasi-situasi seperti ini, ada kalanya kita lebih baik menutup mulut dan mendengarkan apa yang menjadi ungkapan kesedihan dan kekhawatiran orang-orang tersebut. Terkadang penghiburan justru mereka alami ketika kita menjadi pendengar yang baik bagi keluh kesah mereka, bukan ketika kita mencoba menjelaskan atau menyelesaikan masalah-masalah mereka.
Mari sediakan telinga yang mau mendengar, hati yang mau memahami atau jika perlu pundak yang mau menjadi sandaran kesedihan mereka. Biarlah pelukan kasih Yesus mengalir melalui diri Anda sehingga mereka bisa dihiburkan dan dikuatkan.
Refleksi Diri:
Apakah Anda sudah menjadi pendengar yang baik bagi mereka yang mengalami penderitaan?
Bagaimana cara Anda menjadi seorang penghibur yang berhikmat (tahu kapan waktu yang tepat untuk mendengarkan dan kapan waktu yang tepat untuk berbicara)?
"
Share:

MENJADI SAUDARA YESUS

Matius 12:46–50
“Sebab siapa pun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah
saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.”
(Mat. 12:50)

Kita menyebut seseorang sebagai saudara karena mempunyai hubungan darah atau keluarga. Sebutan keluarga dapat juga dikenakan kepada mereka yang relasinya sudah sangat dekat dengan kita. Atau mereka yang telah banyak berjasa dalam kehidupan kita. Dalam Injil hari ini Yesus juga berbicara tentang makna keluarga, tetapi dalam pemahaman yang baru.
Ketika sedang mengajar di Kapernaum, Yesus diberi tahu bahwa ibu-Nya dan saudara-saudara-Nya ingin bertemu dengan-Nya. Jawaban Yesus sangat mengejutkan. Di luar dugaan, Yesus mengatakan: “Sebab siapa pun yang melakukan kehendak Bapa-Ku, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibuku”. Kata “saudara” yang dipakai pada ayat 50 ini berasal dari kata Yunani adelphos yang berarti saudara dalam persekutuan atau saudara seiman. Jawaban Yesus ini memberi penekanan penting sekaligus perluasan penjelasan status siapakah saudara atau ibu-Nya. Bagi Yesus, makna kata saudara tidak sebatas hubungan darah atau ikatan keluarga, tetapi lebih dari itu, yaitu dalam ikatan spiritual. Dengan demikian, setiap orang dapat menjadi saudara dan ibu Yesus ketika mendengarkan dan melakukan kehendak Allah dalam hidupnya.
Bagaimana dengan kita? Menjadi pengikut Yesus adalah menjadi pelaku firman dalam kehidupan sehingga kita layak menjadi saudara-saudari-Nya. Apakah kita sudah layak disebut sebagai saudara-saudara Yesus?
REFLEKSI:
Kita mengasihi Allah yang tidak kelihatan dengan mengasihi sesama yang
terlihat. Dengan demikian, kita telah menjadi saudara Yesus.

 
Share:

Berkat Di Balik Musibah

Rut 1:1-22

Dan dialah yang akan menyegarkan jiwamu dan memelihara engkau pada waktu rambutmu telah putih; sebab menantumu yang mengasihi engkau telah melahirkannya, perempuan yang lebih berharga bagimu dari tujuh anak laki-laki.”

- Rut 4:15

Ada udang di balik batu. Sebuah pepatah dalam bahasa Indonesia yang berarti ada maksud di balik sebuah perbuatan. Kebenaran dalam pepatah ini kelihatannya sudah dialami oleh sebagian besar atau bahkan semua orang. Namun, saya juga merasa pepatah ini benar dalam kondisi kehidupan orang Kristen karena di balik kehidupan kita yang terasa keras seperti batu, ada berkat Tuhan yang nikmat seperti udang.

Kisah kehidupan Naomi menggambarkan betapa pun keras kehidupan, tetap ada berkat Tuhan untuk menopang hidupnya. Kesusahan dalam hidup Naomi datang bertubi-tubi selama periode yang cukup lama. Pertama, keluarganya terpaksa harus keluar dari Tanah Perjanjian dan mengembara di tanah musuh orang Israel, Moab (lih. Bil. 22:1-25:9). Kedua, anak-anaknya tidak memiliki keturunan dan semua laki-laki dalam keluarganya meninggal (ay. 3-5). Ketiga, ia harus menjadi janda, yang notabene begitu rentan dan tergantung kepada orang lain pada masa itu. Sungguh kondisi kehidupan yang pahit, wajar jika ia tidak mau dipanggil Naomi (artinya menyenangkan) tetapi Mara (artinya pahit). Namun, Yang Mahakuasa, Allah dari Naomi memberinya berkat untuk melalui kondisi yang berat tersebut.

Berkat Tuhan dalam kehidupan Naomi adalah menantu perempuan yang setia menemani Naomi. Kisah Naomi dan Rut, menantunya, mengajarkan bahwa berkat dari Tuhan bukan melulu berbicara tentang harta, takhta, atau sukacita. Naomi tetap pulang sebagai janda yang miskin (ay. 21) dan menantunya pun membuat gempar kampung halamannya (ay. 19). Naomi pada saat itu juga tidak melihat kehadiran Rut sebagai berkat dari Tuhan, tetapi Rut-lah yang selalu menemani Naomi dan pada akhirnya memberikan keturunan untuk melanjutkan keluarga Naomi (Rut 4:14-17). Berkat Tuhan bagi Naomi hadir melalui sosok Rut, orang Moab yang setia menemani Naomi.

Orang Kristen hendaknya tidak mengotak-ngotakkan berkat Tuhan dalam kehidupan hanya dalam bentuk materi. Memiliki banyak uang belum tentu berkat Tuhan, demikian juga dengan memiliki sedikit uang. Berkat Tuhan dapat hadir dalam kehadiran seorang rekan yang dapat berbagi hidup. Hidup kita pun juga dapat menjadi berkat bagi orang lain, apalagi jika kasih Tuhan Yesus sudah memenuhi hati kita.

Refleksi Diri:
Apa berkat yang Tuhan berikan kepada Anda, yang tidak berbentuk materi?
Apakah ada teman atau kerabat yang membutuhkan kehadiran Anda?"
Share:

Rasisme, No!


Galatia 3:26-29

Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.

- Galatia 3:26-28

Rasisme adalah kepercayaan bahwa ras sangat menentukan sifat dan kemampuan seseorang. Kepercayaan ini menyebabkan terciptanya hirarki yang mana ras tertentu dianggap lebih unggul daripada ras lain. Rasisme disebabkan oleh berbagai hal, misalnya kebiasaan hanya bergaul dengan orang-orang sesuku/sebangsa sehingga tercipta kepercayaan yang sama. Penyebab lain adalah kebiasaan menghakimi orang lain atas penampilan, cara berpakaian, bahasa, dan ciri-ciri fisik lainnya, serta melabeli mereka “cerdas”, “berisik”, “kasar”, dsb.

Rasul Paulus mengatakan kepada jemaat Galatia bahwa mereka menjadi anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus, bukan karena ras atau status sosial lainnya. Di dalam Kristus, tidak lagi dikenal pembedaan ras (Yahudi dan Yunani), status sosial tinggi dan rendah (orang merdeka dan budak), dan jenis kelamin. Semua orang satu dan setara di dalam Kristus. Dengan penegasan ini, Paulus menolak rasisme dalam kekristenan. Tidak ada keunggulan rohani suku/bangsa tertentu atas suku/bangsa lain. Orang Yahudi yang membanggakan diri sebagai umat pilihan tidak bisa lagi merasa diri mereka lebih istimewa di hadapan Allah dibandingkan terhadap orang Yunani atau bangsa lain. Demikian pula orang merdeka terhadap budak, pria terhadap wanita. Paulus sengaja menyebut tiga kategori ini karena orang Yahudi (pria) berdoa demikian: Tuhan, saya berterima kasih karena Engkau tidak jadikan saya orang kafir, budak dan wanita. Setiap orang percaya setara di hadapan Tuhan dan menjadi ahli waris dan penerima janji hidup kekal. (Gal 4:5-7).

Sudah saatnya orang Kristen tidak lagi mempersoalkan ras atau status dalam relasi dengan sesama apalagi bersikap rasis. Di dalam Kristus, semua orang disatukan tanpa mengenal pembedaan lagi. Di dalam Kristus, semua orang percaya adalah anak-anak Allah. Kita semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.

Refleksi Diri:

Apakah Anda masih bersikap rasis? Misalnya menganggap suku atau bangsa tertentu lebih rendah?

Bagaimana caranya menghilangkan sikap rasis?"

Share:

Sekerat Roti Kering

Amsal 17:1-6

Lebih baik sekerat roti yang kering disertai dengan ketenteraman, dari pada makanan daging serumah disertai dengan perbantahan.

- Amsal 17:1

Dongeng Aladin dan lampu ajaibnya akrab kita dengar. Lampu ajaib yang kalau diusap akan mengeluarkan sesosok jin yang akan menawarkan tiga permintaan. Apa saja yang diminta sang tuan lampu ajaib pasti dikabulkannya. Akibat dongeng ini, sewaktu kecil, saya sering membayangkan apa saja yang kira-kira akan saya minta. Mungkin banyak anak- anak lain yang mendengar dongeng ini berpikir serupa. Jika punya kesempatan seperti itu, apa yang akan Anda minta? Sebagian besar orang langsung terbersit dalam pikirannya adalah soal harta. Harta harus ada dalam salah satu permintaan tersebut karena mereka berpikir, memiliki banyak harta adalah salah satu sumber kenyamanan dan ketenangan dalam hidup. Apakah pemikiran ini benar?

Ayat emas di atas membentangkan sebuah pelajaran berharga. “Makanan daging serumah” menggambarkan sebuah keluarga yang berkelimpahan secara materi, bahkan bukan cuma itu, keluarga ini juga dikenal sebagai keluarga religius. Daging biasanya dikonsumsi dari korban persembahan yang diberikan, ini menunjukkan adanya kegiatan agamawi yang mereka lakukan. Perhatikan bahwa yang mereka miliki adalah daging serumah, makanan yang berlimpah. Namun, yang menyedihkan adalah relasi di dalam rumah itu berantakan, materi berlimpah tetapi relasi tanpa kasih. Relasi yang indah tidak bisa dibeli dengan materi yang berlimpah. Apakah relasi indah yang paling Anda harapkan?

Perbandingan yang juga disampaikan adalah “lebih baik sekerat roti yang kering disertai ketenteraman”. Sekerat roti atau sepotong roti kecil menunjukkan kondisi yang secara materi kurang. Bukan hanya sedikit, rotinya juga kering karena tidak mampu membeli minyak zaitun untuk mencelupkannya. Apakah makanan ini enak? Tentu tidak, tetapi rasa roti itu tidak menjadi masalah ketika relasi di dalamnya penuh kasih. Punya harta banyak tentu tidak masalah, tetapi ingat harta tidak menentukan indahnya relasi. Sekalipun mengalami kesulitan dalam ekonomi, tetap dapat merasakan ketenteraman.

Tuhan Yesus datang ke dunia dengan cara yang paling sederhana, bahkan kematian-Nya dengan cara yang paling buruk. Namun, jalan kemiskinan yang dijalani-Nya bertujuan supaya kita beroleh kekayaan relasi dengan Bapa. Biarlah kita juga mementingkan relasi yang baik dalam hidup berkeluarga, sambil terus berusaha mengasihi anggota keluarga kita dengan kasih Kristus.

Refleksi Diri:

Bagaimana relasi di dalam keluarga Anda? Apakah ada yang masih belum beres?

Apa komitmen Anda untuk menghadirkan ketenteraman di dalam kehidupan berkeluarga Anda?"

Share:

Buka Dulu Topengmu!

Matius 23:1-36

Jawab-Nya kepada mereka: ”Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku.

- Markus 7:6

Secara sederhana, kemunafikan mempunyai pengertian berpura-pura percaya atau setia tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak. Kemunafikan selalu berbicara tentang menghidupi hidup yang berbeda antara perbuatan dan perkataan. Orang yang munafik juga sering disebut orang yang bermuka dua atau orang yang suka memakai topeng untuk menutupi keaslian diri.

Tuhan Yesus mengecam orang-orang Farisi yang hidup dalam kemunafikan. Mereka adalah kelompok orang-orang beragama yang dihormati oleh masyarakat Yahudi. Mereka sangat mengerti tentang kebenaran Taurat. Namun, yang menarik adalah justru kepada kelompok inilah Tuhan mengecam dan menegur keras karena perkataan dan cara hidup mereka bertentangan dan berbeda dengan apa yang diajarkan firman Tuhan. Orang-orang Farisi menetapkan peraturan-peraturan agama yang berat, tetapi tidak menolong umat untuk menjalankannya (ay. 4). Mereka melakukan kegiatan dan mengenakan jubah-jubah agamawi agar dipandang umat (ay. 5). Mereka juga suka duduk di tempat terhormat di rumah-rumah ibadat atau tempat terbaik di acara-acara perjamuan (ay. 6). Dan masih banyak lagi teguran yang Tuhan Yesus sampaikan mengenai mereka.


Orang-orang Farisi suka memakai “topeng” untuk menyelubungi kelicikan, ketidaktulusan, dan kejahatan hati mereka. Mereka tidak menghidupi kehidupan yang jujur dan otentik di hadapan Tuhan. Mereka menipu orang lain dan bahkan diri mereka sendiri dengan memakai “topeng” agamawi. Orang-orang Farisi merasa sebagai orang yang paling benar di hadapan Allah. Mereka melupakan satu hal bahwa Tuhan tidak bisa ditipu dengan “topeng” yang mereka pakai. Tuhan mengetahui kedalaman hati mereka. Tuhan menuntut supaya mereka “beribadahlah kepada-Nya dengan tulus ikhlas dan dengan rela hati, sebab TUHAN menyelidiki segala hati dan mengerti segala niat dan cita-cita.” (1Taw. 28:9b).


Saudaraku yang kekasih, kemunafikan selalu membuat orang tidak dapat hidup secara jujur di hadapan Tuhan. Kemunafikan bagaikan sebuah penyakit “kanker” yang jika tidak dihancurkan akan merusak keotentikan hidup kita di hadapan Tuhan. Tuhan Yesus suka dengan orang-orang yang jujur dengan keberadaannya dan itu adalah titik awal yang mengubahkan kita menjadi pengikut-pengikut Kristus yang sejati. Bukalah “topeng” Anda dan jadilah diri Anda sendiri maka Yesus akan mengubahkan kita semakin serupa dengan-Nya.

Refleksi Diri:

Apa hal-hal yang membuat Anda susah untuk terbuka dan otentik? Apakah Anda sudah meminta Tuhan Yesus menyelidiki dan mengubahkan hati Anda?

Apa komitmen yang ingin Anda ambil agar bisa hidup tanpa mengenakan “topeng” di hadapan Tuhan?"

Share:

Senantiasa Bersyukur

1 Tesalonika 5:12-22

Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.

- 1 Tesalonika 5:18

Matthew Henry, seorang penafsir Alkitab, suatu kali menjadi korban perampokan. Responsnya terhadap kejadian tersebut sangat mengejutkan. Ia menulis, “Aku bersyukur tidak sering dirampok, dan ini adalah pertama kalinya aku dirampok. Bersyukur aku dirampok dan bukan perampok. Aku bersyukur yang dirampok hanya barang bukan nyawa.”

Pada umumnya, orang akan lebih mudah untuk bersyukur dalam kondisi semuanya lancar dibandingkan dalam kesusahan. Kenyataannya tidaklah demikian. Manusia sangat mahir untuk menemukan hal-hal yang tidak memuaskan dirinya dalam setiap berkat yang diterimanya. Misalnya, seorang anak ketika lapar membayangkan makanan enak. Ketika mendapatkan makanan, ia sangat berterima kasih. Namun, setelah mencicipi sedikit makanannya ia mulai mengeluh, “Makanan apa ini? Tidak enak, aku tidak suka. Aku tidak mau makan!”

Rasul Paulus mengajarkan bahwa bersyukur merupakan kehendak Tuhan bagi anak-anak-Nya. Kebenaran ini sangatlah penting, mengingat biasanya orang memahami bersyukur sebagai sebuah respons terhadap keadaan positif yang terjadi di dalam hidup. Firman Tuhan jelas mengatakan bahwa bersyukur bukan hanya sebuah tindakan yang kita lakukan, tetapi merupakan pernyataan siapa diri kita di hadapan Tuhan. Positif atau negatif keadaan yang sedang kita alami, bersyukur merupakan respons yang harus keluar dari dalam diri kita, para murid Kristus. Bukan karena kita mampu dan mau, melainkan karena bersyukur adalah kehendak Tuhan bagi kita. Tuhan ingin anak-anak-Nya dikenal melalui hidup yang senantiasa bersyukur di dalam semua keadaan.

Bersyukur harus dipelajari dan diusahakan. Ini bukanlah kecenderungan alami manusia. Kita harus melatih kepekaan melihat rencana baik Tuhan dalam keadaan lancar maupun tidak. Kita harus bersyukur tanpa melihat ke bawah sambil tertunduk lesu, tetapi lihatlah ke atas sambil mengucapkan puji syukur ke takhta Allah di surga. Renungkanlah setiap pemberian ajaib-Nya di masa lalu dalam kehidupan kita. Dalam keadaan paling kurang sekalipun, kita tetap melimpah karena telah memiliki Kristus Yesus, berkat terbesar dari kasih Allah. Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya (Mzm. 136:1).

Refleksi Diri:

Apakah ada hal-hal yang membuat Anda sulit bersyukur kepada Tuhan?

Apa karya-karya Allah dalam hidup Anda semenjak kecil hingga saat ini? Bagaimana Anda dapat mengucap syukur atas karya-karya tersebut?"

Share:

Sukacita Mendekat Tuhan

Mazmur 122:1-9

Aku bersukacita, ketika dikatakan orang kepadaku: “Mari kita pergi ke rumah TUHAN.”
- Mazmur 122:1

Pada dasarnya, manusia pasti membutuhkan pribadi lain di luar dirinya dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Kenyataan ini benar adanya karena manusia adalah makhluk sosial atau makhluk yang harus berelasi. Manusia diciptakan oleh Tuhan maka dalam menjalani kehidupannya ia pasti harus berelasi dengan Tuhan dan dengan sesama manusia yang diciptakan juga oleh-Nya. Namun, acapkali kita menemukan orang-orang yang dengan sombongnya menyatakan bahwa ia tidak membutuhkan orang lain, bahkan terlebih parah menganggap dirinya tidak membutuhkan Tuhan dalam kehidupannya.

Mazmur 122 adalah ungkapan isi hati seorang anak Tuhan, bernama Daud. Sebagian besar kita tentu sangat mengenal profil Daud. Ia seorang raja yang sangat berpengaruh dan terkenal di sepanjang sejarah bangsa Israel. Bukan hanya berpengaruh di dalam sejarah kehidupan orang Israel, bahkan pengaruh Daud menjalar sampai ke peradaban dunia hingga saat ini. Daud sesungguhnya memiliki ratusan alasan untuk bersukacita karena segala yang dimilikinya. Ia mampu mendapatkan semua yang dibutuhkan dan diinginkannya setiap saat.

Daud memiliki harta, tahta, wanita, popularitas dan semua hal lainnya yang sangat diingini oleh setiap manusia di muka bumi. Namun, yang sangat menarik adalah Daud justru bersukacita bukan karena semua yang dimilikinya, melainkan karena bisa dan boleh mendekat kepada Tuhan, di dalam rumah Tuhan. Bagi Daud, mendekat kepada Sang Pencipta menjadi sumber sukacitanya yang tidak dapat tergantikan oleh apa pun. Daud sadar sebagai manusia yang diciptakan oleh Tuhan maka ia tidak bisa lepas dari kekuasaan Tuhan. Daud paham bahwa di tengah kekayaan dan kekuasaan yang dimilikinya, ia memerlukan relasi yang dekat dengan Tuhan yang memberikannya hikmat, kebijaksana, kekuatan dan anugerah untuk menjalani kehidupannya.

Bagaimanakah dengan kita? Apakah kita masih merasa memerlukan Tuhan dalam menjalani kehidupan? Atau justru kita merasa tidak memerlukan Tuhan lagi dan tidak memiliki keinginan untuk mendekat kepada Tuhan Yesus? Sebagai manusia yang diciptakan oleh Tuhan, kita tidak mungkin bisa mengerti apa arti hidup tanpa menemukannya di dalam Tuhan yang menciptakan kita dan memberikan kekuatan dalam menjalani hidup.

Refleksi Diri:

Bagaimana Anda menjalani hidup sebagai makhluk sosial selama ini?
Bagaimana relasi Anda selama ini dengan Tuhan? Apakah Anda masih bersukacita jika bisa dan boleh mendekat kepada-Nya?"
Share:

Categories

Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.