Gereja Kristen Kalam Kudus Tepas Kesamben Blitar

Bapamu yang di sorga.

[Matius 6:26]

Umat Allah adalah sekaligus juga anak-anak-Nya, mereka merupakan keturunan-Nya berdasarkan penciptaan, dan mereka merupakan anak-anak-Nya berdasarkan adopsi dalam Kristus. Oleh karena itu mereka memiliki hak istimewa untuk memanggil-Nya, "Bapa kami yang di sorga." [Matius 6:9] Bapa! Oh, alangkah berharganya kata itu. Di sini ada otoritas: "Jika Aku adalah Bapa, mana kehormatan-Ku?" Jika kalian adalah anak-anak-Nya, mana ketaatan kalian? Di sini ada kasih sayang yang bercampur dengan otoritas; otoritas yang tidak memicu pemberontakan; yaitu ketaatan yang dituntut dan ditaati dengan riang—yang tidak akan dilanggar walaupun dapat dilanggar. Ketaatan yang anak-anak Allah persembahkan haruslah ketaatan berdasarkan kasih. Janganlah melayani Allah sebagai budak yang berjerih payah menurut perintah atasannya, tetapi ikutilah perintah-Nya karena itu merupakan jalan Bapamu. Serahkan tubuhmu sebagai alat kebenaran, karena kebenaran merupakan kehendak Bapamu, dan kehendak Dia harus merupakan kehendak anak-Nya. Bapa!—Inilah atribut rajawi yang begitu manis terselubung oleh kasih, yang mana wajah Sang Raja membuat mahkota-Nya tidak lagi kentara, dan tongkat-Nya bukan lagi tongkat besi, tetapi tongkat perak belas kasih—tongkat itu seakan terlupakan di genggaman tangan-Nya yang lemah lembut. Bapa!—Inilah hormat dan kasih. Betapa besar kasih Bapa kepada anak-anak-Nya! Hati dan tangan Bapalah yang harus melakukan bagi anak-anak-Nya hal yang tidak mungkin dilaksanakan sebuah persahabatan belaka ataupun diusahakan sekedar kebaikan hati. Mereka adalah keturunan-Nya, Ia harus memberkati mereka; mereka adalah anak-anak-Nya, Ia harus menyatakan kekuatan-Nya membela mereka. Jika bapa duniawi saja dengan kasih mengawasi anak-anak dan merawat mereka tidak henti-hentinya, apalagi Bapa surgawi kita. Abba, Bapa! Dia yang bisa mengucapkan ini berarti telah menyanyi dengan lebih baik daripada musik terbaik dari kerubim atau serafim. Ada surga pada kedalaman kata ini—Bapa! Inilah seluruh permintaanku; seluruh permohonan akan kebutuhanku; seluruh keinginan dan harapanku. Aku memiliki semua dan segala sesuatu sampai seluruh kekekalan saat aku dapat berkata, "Bapa."
Share:

From Hero To Zero

1 Samuel 19:18-24

Ia pun menanggalkan pakaiannya, dan ia pun juga kepenuhan di depan Samuel. Ia rebah terhantar dengan telanjang sehari-harian dan semalam-malaman itu. Itulah sebabnya orang berkata: “Apakah juga Saul termasuk golongan nabi?”
- 1 Samuel 19:24

From zero to hero adalah ungkapan yang menggambarkan seseorang yang tadinya bukan siapa-siapa atau gagal, berubah menjadi sukses. Seperti itulah kehidupan Raja Saul. Tadinya ia bukan siapa-siapa, tiba-tiba diangkat menjadi raja. Tadinya ia tak dikenal, tiba-tiba menjadi bintang pujaan. Sayangnya, Saul tidak bisa mempertahankan kehormatan dirinya. Ia gagal mengatasi kelemahan dirinya. Ia haus pujian. Ia cepat marah, dengki, dan iri hati melihat kesuksesan orang lain. Seumur hidupnya, Saul tidak pernah selesai dengan dirinya. Di usia yang semakin menua, Saul berubah dari hero menjadi zero.

Bagian 1 Samuel 19 memang berfokus pada Saul. Yang menarik dari pasal ini adalah kisah tentang Saul dipenuhi Roh Allah (ay. 23-24). Ini bukan pengalaman pertamanya. Sesaat setelah diangkat menjadi raja, ia pernah mengalami hal serupa (1Sam. 10:10). Apakah ini pengalaman yang sama atau berbeda? Mirip tetapi berbeda. Berbeda dalam tujuannya. Dalam 1 Samuel 10:10, Roh Allah memenuhi Saul untuk meneguhkan posisinya sebagai raja. Roh memberinya kekuatan untuk menjalankan tugasnya sebagai raja, khususnya meraih kemenangan dalam perang. Sebaliknya, dalam 1 Samuel 19, tujuannya justru berkebalikan. “… Ia rebah terhantar dengan telanjang sehari-harian dan semalam-malaman itu.” Roh membuat Saul tak berdaya dan menanggalkan jubah kebesarannya, jubah raja. Ini ironi. Seorang raja menanggalkan jubah kebesarannya dan telanjang semalaman, menyiratkan bahwa Allah telah mencopotnya dari kedudukan sebagai raja. Hal ini terjadi karena Saul tidak menjalin relasi yang sejati dengan Allah.

Sah-sah saja jika Anda ingin menjadi hero dalam hidup ini. Akan tetapi, pertanyaan yang sangat penting adalah hero dalam definisi apa dan dari pandangan siapa? Bagaimana Anda meraihnya? Bagaimana Anda menjalani dan mempertahankannya? Saul gagal hidup sebagai hero karena tidak mengalami apa yang disebut transformasi diri (Rm. 12:1,2). Transformasi diri lebih penting daripada ambisi mengubah nasib dari zero menjadi hero. Cara untuk mengalami transformasi diri adalah dengan menjalin relasi dengan Allah.

Refleksi Diri:

Apakah Anda mengalami transformasi diri sejak percaya dan mengikut Kristus?
Dalam hal apa Anda masih ingin berubah?
"
Share:

Jangan Tertipu “FLEXING”

1 Samuel 16:1-13

Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.”
- 1 Samuel 16:7

Ketika Jokowi dicalonkan sebagai presiden Indonesia pada tahun 2014, banyak orang nyinyir. Mereka meragukan kemampuannya karena dianggap “wong deso”. Apalagi penampilan fisiknya biasa-biasa saja, kalah dari saingannya atau presiden pendahulunya. Waktu membuktikan, seseorang yang tadinya dirundung karena penampilan fisiknya ternyata menjadi pemimpin yang baik.
Setelah kegagalan Raja Saul maka Tuhan memerintahkan Nabi Samuel mencari raja baru. Kali ini, Tuhan memerintahkan Samuel mencarinya dari antara anak-anak Isai. Ketika melihat Eliab, Samuel langsung kesengsem. Sosok Eliab mengingatkan Samuel pada sosok Saul yang ganteng dan tinggi. “Ia pasti cocok menggantikan Saul.” Tidak! Kata Tuhan. Demikian pula enam anak lainnya. Tak ada satu pun dari ketujuh anak Isai yang lolos audisi pemilihan raja. Standar penilaian Tuhan memang berbeda sekali dengan standar penilaian manusia. Tuhan menolak penampilan fisik sebagai acuan dalam menilai kelayakan seseorang (ay. 7). Penampilan fisik hanyalah bungkus luar semata. Bungkus luar tidak mencerminkan isi yang sesungguhnya. Orang ganteng atau cantik hanya tampilan luarnya, tetapi isi hatinya tidak ada yang tahu. Bisa saja ia hanya flexing, pamer kecantikan/ketampanan atau kekayaan, tetapi sesungguhnya penuh tipu daya.
Lalu, apa yang Tuhan lihat? Tuhan menilai dan memilih seseorang mengacu pada hatinya. Hati manusia tidak bisa berdusta. Hati manusia mencerminkan diri manusia yang sejati. Ucapan, penampilan, dan perbuatan bisa menipu, tetapi hati tidak. Masalahnya, siapa yang tahu isi hati manusia? Itu tersembunyi. Karena itu, agar tidak terjebak dusta atau flexing orang lain, mintalah Tuhan memberi kita hikmat. Mintalah Tuhan mengungkapkan kebenaran yang sebenar-benarnya. Tuhan Yesus bisa memberi hikmat dengan berbagai cara. Misalnya, Anda bisa meneliti latar belakangnya. Anda bisa mencari informasi dari orang-orang terdekat atau meminta pendapat dari orang lain yang objektif.
Tuhan Yesus memberi akal budi dan perasaan untuk kita gunakan sebaik-baiknya. Jangan hanya karena “saya suka” dia, tiba-tiba semuanya tampak sempurna dan kita tertipu flexing.

Refleksi Diri:
Apa hal yang seringkali menjadi dasar Anda dalam menilai seseorang?
Bagaimana cara Anda menilai seseorang dengan lebih objektif? Apakah Anda sudah memintakan hikmat kepada Tuhan dalam hal tersebut?
"
Share:

Disertai Atau Ditinggalkan Tuhan?

1 Samuel 18:5-16

Daud berhasil di segala perjalanannya, sebab TUHAN menyertai dia.
- 1 Samuel 18:14

Sirik tanda tak mampu. Pepatah ini sangat populer sekian puluh tahun silam. Sirik yang dimaksud adalah iri hati atau dengki. Ini pas sekali dengan yang dialami Raja Saul. Ia sirik kepada Daud yang lebih muda dan lebih berprestasi. Alasan paling utama adalah karena Daud disertai Tuhan sedangkan Saul tidak, malahan Roh Tuhan sudah undur darinya.
Perikop 1 Samuel 18 mencatat kunci keberhasilan hidup Daud, yaitu Tuhan menyertainya (ay. 12, 14, 28). Kebalikannya, dikatakan Roh Tuhan meninggalkan Saul (ay. 12), bahkan hatinya dikuasai roh jahat (ay. 10). Ketika Roh Tuhan meninggalkan seseorang maka roh jahat akan masuk segera ke dalam hatinya dan menguasainya. Tidak ada posisi netral. Yang terjadi pada Saul selanjutnya adalah ia marah ketika sanjungan kepada Daud lebih tinggi daripada kepada dirinya. Ia dengki. Saul takut kepada Daud, dalam arti takut Daud akan merebut kedudukannya. Ia bahkan membuat strategi jahat untuk melenyapkan Daud. Intensitas dosanya bertambah buruk.
Tuhan Yesus mengatakan, “Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan” (Mat. 12:30). Ayat ini di dalam terjemahan Alkitab versi NLT berbunyi demikian, “Anyone who isn’t with me opposes me, and anyone who isn’t working with me is actually working against me.” Dengan kata lain, Tuhan menyertai orang yang bekerja bersama-Nya dan sebaliknya, orang yang tidak bekerja bersama Tuhan adalah orang yang menentang Tuhan. Kita bisa memperluas makna “mengumpulkan” atau “working with me” sebagai segala aktivitas yang seturut kehendak Tuhan. Jadi, jika kita hidup seturut kehendak Tuhan, Dia pasti menyertai kita (Mzm. 23:4). Di dalam menjalani hidup, kita tidak perlu takut atau parno seperti Saul. Yang harus kita takuti hanyalah satu Pribadi: Tuhan.
Dua keadaan terbentang di hadapan kita: disertai Tuhan atau ditinggalkan Tuhan. Tidak ada pilihan ketiga. Jika kita ingin menjadi orang yang disertai Tuhan maka berjalanlah di jalan Tuhan. Ikutilah jalan ke mana Tuhan melangkah. Percayalah, jalan Tuhan adalah jalan terbaik. Jalan menuju kehidupan.

Refleksi Diri:
Apa hal-hal yang membuat kita pasti disertai Tuhan?
Apa pula hal-hal yang membuat kita ditinggalkan Tuhan?
Share:

Andalkan Tuhan Ya, Kreatif Juga Ya!

1 Samuel 17:38-50

Hikmat memberi kepada yang memilikinya lebih banyak kekuatan dari pada sepuluh penguasa dalam kota.
- Pengkhotbah 7:19

Mengandalkan Tuhan dan menggunakan akal budi. Itulah strategi Daud mengalahkan Goliat. Di satu sisi, ia maju membawa nama Tuhan. Di sisi lain, ia maju dengan strategi yang tepat untuk menang. Daud mengandalkan Allah, tetapi sekaligus menggunakan akal cerdasnya.

Mari kita dalami. Pertama, Daud menolak pertempuran jarak dekat. Secara fisik, ia kalah besar, kalah kuat, dan kalah jangkauan tangan. Ibarat Mike Tyson melawan Manny Pacquiao. Beda kelas. Itu juga sebabnya Daud tidak mau memakai baju zirah yang beratnya minta ampun. Ia tidak akan bisa bergerak lincah.

Kedua, Daud tahu kelemahan Goliat. Goliat berkata, “Hadapilah aku” (ay. 44 terjemahan versi NIV: come to me). Mengapa ia meminta Daud datang kepadanya? Jangan-jangan Goliat tidak bisa melihat dengan jelas di mana Daud sampai jaraknya sudah dekat. “Anjingkah aku, maka engkau mendatangi aku dengan tongkat? (ay. 43, terjemahan versi NIV: kata “tongkat” berbentuk jamak bukan tunggal). Mengapa Goliat melihat Daud membawa lebih dari satu tongkat? Ilmu medis modern mengatakan bahwa Goliat sebenarnya menderita penyakit yang disebut acromegaly, yaitu kelainan hormon akibat tumor di otak yang menyebabkan badannya tumbuh besar. Kelainan ini menyebabkan gangguan penglihatan. Ternyata, Goliat rabun. Daud tahu, strategi paling tepat adalah pertarungan jarak jauh, yaitu menggunakan umban. Cerdas! Di tangan seorang ahli, umban adalah senjata mematikan. Batu yang dilontarkan dapat bergerak pada kecepatan 34 meter/detik dan bisa menghancurkan tengkorak kepala. Daud jagonya memainkan umban.

Kisah ini mengajari kita tentang cara mengatasi masalah. Seperti Daud, Anda harus mengandalkan kekuatan dan pertolongan Tuhan. Itu keniscayaan. Akan tetapi, mengandalkan Tuhan tidak berarti rebah-rebahan saja dan tidak berbuat apa-apa. Anda harus menggunakan akal budi dan kecerdasan untuk menghadapi masalah atau musuh Anda. Mintakan hikmat dari Tuhan Yesus untuk menemukan cara yang tepat. Allah akan membekali Anda dengan akal budi dan kreativitas untuk menemukan solusi dan kemenangan. Kalau kekurangan hikmat, mintalah kepada Tuhan (Yak. 1:5).

Refleksi Diri:

Apa makna ungkapan: Ora et Labora (berdoa dan bekerja) bagi Anda?
Apakah Anda setuju dengan pernyataan: Berserah kepada Yesus tidak berarti berdiam diri, tanpa berusaha apa-apa? Mengapa?
"
Share:

Goliat Itu Masalah Kecil

1 Samuel 17:31-47

Tetapi Daud berkata kepada orang Filistin itu: “Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu.
- 1 Samuel 17:45

Kisah Daud dan Goliat sangat populer. Paling sering diceritakan di kelas-kelas sekolah Minggu. Ceritanya memang keren. Dalam renungan ini, saya ingin mengajak Anda memfokuskan diri pada dua tokoh. Bukan Daud dan Goliat, melainkan Saul dan Daud dalam hal bagaimana mereka memandang masalah dan cara menghadapinya.

Pertama, perspektif terhadap masalah. Saul memandang masalah dari perspektif aku—masalahku. Aku dan masalahku berhadapan langsung. Masalah dilihat apa adanya. Besar-kecilnya masalah sepenuhnya menjadi masalahku. Aku harus menghadapi sendirian masalahku. Tak heran Saul merasa ketakutan. Baginya, masa depan gelap, tak ada jalan keluar, dan nasib buruk tak terhindarkan. Berbeda dengan Daud, perspektifnya adalah aku—Allah—masalahku. “Aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam.” Antara aku dan masalahku ada Allah. Dalam kacamata Daud, masalah itu bukan apa adanya, tetapi siapa yang ada bersamanya menghadapi masalah. Ada Pribadi lain yang terlibat dalam masalah yang dihadapinya. Bagaimana cara Anda memandang suatu masalah? Seperti Saul atau Daud?

Kedua, perspektif tentang kekuatan. Bagi Saul, kehebatan seseorang ada pada kekuatan fisik, penampilan, “bungkus luar”. Ia memandang Goliat sebagai sosok monster yang menakutkan, tak terkalahkan, prajurit kawakan. Tak heran ia meragukan Daud, seorang bocah dan gembala yang sehari-harinya memegang tongkat. Memegang pedang pun mungkin ia tidak pernah apalagi berduel dengan prajurit kawakan. Bagi Saul, kekuatan atau kuasa itu identik dengan kekuatan atau kuasa lahiriah. Bagi Daud, kekuatan sejati tidak terletak pada kekuatan fisik, tetapi pada Allah. Meskipun secara fisik Daud tidak sebesar atau sekuat Goliat, ia tidak kehilangan kepercayaan diri sebab Daud percaya Tuhan yang menyertainya. Pada masa lampau Tuhan telah menyertai, pasti Dia akan menyertainya juga pada masa kini dan yang akan datang (ay. 37). Immanuel! Allah beserta kita.

Dari Daud, kita belajar tentang bagaimana menghadapi masalah dengan perspektif yang benar dan mengandalkan kekuatan dan penyertaan Tuhan. Tiada masalah yang tidak bisa diselesaikan, asalkan kita mengandalkan Tuhan Yesus, Dia pasti akan menyertai.

Refleksi Diri:

Bagaimana perspektif dan cara Anda menghadapi masalah selama ini?
Apa hal yang Anda pelajari dari perbedaan sikap Saul dan Daud dalam menghadapi masalah?
"
Share:

Beriman Dengan Akal Sehat

1 Samuel 14:24-30

Ketika orang-orang Israel terdesak pada hari itu, Saul menyuruh rakyat mengucapkan kutuk, katanya: “Terkutuklah orang yang memakan sesuatu sebelum matahari terbenam dan sebelum aku membalas dendam terhadap musuhku.” Sebab itu tidak ada seorang pun dari rakyat yang memakan sesuatu.
- 1 Samuel 14:24

Beriman dengan akal sehat, seharusnya ini berlaku bagi semua orang beragama. Agama atau iman dan akal sehat tidak berhadap-hadapan, melainkan berdampingan. Orang yang beriman tidak semestinya menghilangkan atau menolak akal sehat.
Raja Saul rupanya belum sampai pada tahap ini. Ia masih menjalankan kehidupan agama atau iman dengan emosi semata. Ketika pasukannya berada dalam posisi terpojok dalam peperangan melawan Filistin, sekonyong-konyong ia membuat sumpah tanpa berpikir panjang. Terjemahan Alkitab Inggris versi NLT memberi judul perikop bacaan: Sumpah Konyol Saul. Dalam peperangan, prajurit butuh stamina yang kuat. Untuk itu, mereka butuh makan-minum. Namun, Saul malah membuat sumpah mengutuk orang yang makan (ay. 24).
Ia berpikir kalau mereka berpuasa akan membuat Allah berbelas kasihan. Berpuasa adalah disiplin rohani yang baik, kalau dijalankan pada saat dan untuk tujuan yang tepat. Keputusan Saul dilandasi motif berbau kepentingan pribadi, “… sebelum aku membalas dendam terhadap musuhku.” Ia bersumpah atas nama Tuhan dan meminta pertolongan Tuhan bukan untuk kepentingan atau kemuliaan-Nya, melainkan motif balas dendam pribadi. Saul adalahtipe orang yang beragama minus akal sehat.
Dalam pengalaman pelayanan, saya pernah menghadapi orang yang berpindah mengikuti ajaran yang menyimpang bahkan sesat, hanya karena tertarik dengan pendeta dan pengajar yang pandai mengolah kata atau mendemonstrasikan mukjizat. Mengapa mereka “nurut” saja? Di mana akal sehat? Kadang kebohongan itu begitu jelas, tetapi tetap saja orang ini tidak mau mengerti atau sadar. Inilah yang disebut beriman fanatik atau fanatisme beragama. Iman yang semata-mata dilandasi emosi dan semangat membabi-buta tanpa menggunakan akal sehat. Ia “nurut” saja apa kata pemimpinnya tanpa mengerti apa yang dipercayai dan dilakukan.
Belajar dari Saul, jangan beriman secara emosional. Gunakanlah akal sehat. Akal sehat bukan musuh iman. Akal sehat adalah karunia Tuhan. Orang beriman menggunakan akal sehat untuk memperdalam imannya. Ayo, berimanlah dengan akal sehat.

Refleksi Diri:
Apakah hubungan antara akal budi dengan iman menurut pendapat Anda?
Bagaimana Anda menjadi orang Kristen yang beriman dan berakal budi?
Share:

Yang Penting Manfaatnya?

1 Samuel 13:1-14

maka pikirku: Sebentar lagi orang Filistin akan menyerang aku di Gilgal, padahal aku belum memohonkan belas kasihan TUHAN; sebab itu aku memberanikan diri, lalu mempersembahkan korban bakaran.”
- 1 Samuel 13:12

Saya yakin Anda pasti kenal Robin Hood. Robin Hood dianggap maling yang baik bahkan pahlawan karena berjuang melawan kaum bangsawan yang menindas rakyat. Pola pikir Robin Hood sederhana saja, yaitu apa yang benar harus bermanfaat nyata. Inilah yang disebut pragmatisme. Pragmatisme menganggap bahwa kebenaran bukan hanya di pikiran dan ucapan, tetapi dapat diwujudkan dan mendatangkan manfaat yang nyata atau langsung dirasakan. Seorang pragmatis akan menangani masalah dengan berfokus pada pendekatan dan solusi praktis. Bagi Robin Hood, mencuri dari orang kaya dan membagikannya kepada orang miskin adalah solusi praktis atas persoalan ketidakadilan. Dia tidak mau ambil pusing apakah itu benar secara moral atau tidak.
Raja Saul adalah seorang pragmatis. Saat itu, ia memang menghadapi situasi kritis. Tentaranya terkepung dan ketakutan. Nabi Samuel yang berjanji menemuinya tak datang-datang juga setelah ditunggu selama tujuh hari. Cukup lama. Ia harus mengambil keputusan sebelum keadaan semakin gawat. Ia tahu solusinya, yaitu memberi korban persembahan kepada Tuhan dengan maksud meminta perlindungan dan penyertaan Tuhan dalam peperangan tersebut. Niat yang baik, bukan? Lagipula, persembahannya diberikan kepada Tuhan Allah, bukan kepada berhala. Dari segi pragmatisme, tidak ada yang salah.
Tanggapan Samuel singkat dan jelas, seolah ia berkata, “Engkau bodoh dan tidak taat, Saul!” Ketaatan adalah prinsip dasar dalam hubungan dengan Tuhan yang tidak bisa diubah. Jawaban Saul tidak menunjukkan kerendahan hati. Tertulis “sebab itu aku memberanikan diri…” Dalam terjemahan bahasa Inggris NIV menggunakan kalimat: So I felt compelled (aku merasa wajib atau mewajibkan diri). Saul merasa dirinya wajib memberi korban persembahan. Dengan kata lain, Saul berpikir bahwa ia juga bisa berperan menggantikan Samuel dalam keadaan darurat. Siapa yang mewajibkannya? Siapa yang memberinya hak tersebut?
Atas alasan keuntungan dan manfaat praktis, orang bisa menjadi pragmatis dan melakukan apa saja. Dengan mudah mereka mengatakan, “Udah, jangan terlalu idealis. Kita masih hidup di bumi. Realistislah!” Apakah alasan manfaat bisa mengesahkan segala cara sehingga yang salah pun dibenarkan?

Refleksi Diri:
Apakah Anda setuju atau tidak dengan perbuatan Robin Hood? Mengapa?
Apa yang seharusnya menjadi pedoman orang Kristen dalam menilai suatu perbuatan?
Share:

Tidak Balas Dendam

1 Samuel 11:1-15

Tetapi kata Saul: “Pada hari ini seorangpun tidak boleh dibunuh, sebab pada hari ini TUHAN telah mewujudkan keselamatan kepada Israel.”

-1 Samuel 11:13

Jadi Saul tidak mudah. Sangat sulit. Bagaimana tidak, ia menghadapi musuh dari dalam dan luar. Dari dalam dirinya sendiri, musuhnya adalah keminderan. Dari luar, musuhnya adalah bangsa Filistin, bangsa asing lain, dan bangsanya sendiri. Mereka meragukan kesanggupannya menjadi raja meskipun penampilan fisiknya lebih dari memadai. 

Ujian terhadap kepemimpinan Saul terdapat pada pasal ini.

Adalah orang Amon yang mencari gara-gara. Mereka mengepung dan mengultimatum Yabesh-Gilead agar menyerah. Tadinya penduduk kota itu mau menyerah saja (ay. 1b), tetapi ketika mendengar syarat yang diajukan benar-benar “kelewatan”, yaitu mata kanan mereka harus dicungkil (ay. 2), mereka pun mengadu kepada para tetua Israel (ay. 4). Keluhan itu sampai kepada Saul dan ia pun menyiapkan pasukan melawan Amon. 

Singkat cerita, Israel menang. Kemenangan tersebut mengukuhkan posisi Saul sebagai raja. 

Tidak ada lagi yang meragukan kredibilitasnya sebagai raja. Namun, kisah tidak selesai di situ. 

Ada pihak yang tiba-tiba tampil sebagai pembela Saul, mau cari muka (ay. 12). Dalam suasana sukacita setelah menang perang, mereka justru “mengompori” Saul, ingin membunuh orang-orang yang meremehkan Saul. Respons Saul sangat bijaksana sebagaimana tercantum pada ayat emas di atas. 

Saul mengajari kita untuk tidak membalas yang jahat dengan yang jahat meskipun ada kesempatan. Mungkin Anda pernah direndahkan, diremehkan, dilecehkan. Anda merasa sangat terluka. Akan tetapi, kepahitan masa lalu biarlah berlalu. Janganlah mencari kesempatan untuk membalas dendam. Jangan berpikir demikian, sekarang saya berhasil, saya menang. Sekarang saatnya saya balas dendam kepada orang-orang yang menghina saya. 

Sebaliknya, fokuslah pada kebaikan Tuhan yang telah dialami sebagaimana dikatakan dan dilakukan Saul, “TUHAN telah mewujudkan keselamatan kepada Israel.” Kalau Tuhan sudah mewujudkan yang baik atas kita, masakan kita ingin mewujudkan kembali kepahitan masa lalu? Sikap Saul sejalan dengan ungkapan Jawa: menang tanpa ngasorake, artinya jika kita sudah mencapai keberhasilan atau kemenangan, janganlah kita merendahkan orang lain yang kalah.

Refleksi Diri:

Apakah Anda pernah disakiti orang lain? Apakah doa Anda bagi mereka?
Bagaimana seharusnya sikap Anda kepada orang yang menyakiti Anda, mengetahui bahwa Tuhan sudah berbuat baik terlebih dahulu kepada Anda?
Share:

Categories

Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.