Gereja Kristen Kalam Kudus Tepas Kesamben Blitar

Mata Pelajaran Penderitaan

Ibrani 12:3-13

Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? 
- Ibrani 12:7
Apa pelajaran terfavorit Anda ketika bersekolah? Saya rasa setiap kita punya mata pelajaran terfavorit dan pasti berbeda-beda setiap orangnya. Tentu sebaliknya, ada mata pelajaran yang paling tidak kita sukai. Alasan kita tidak menyukainya biasanya karena sulit untuk mempelajari atau menguasai mata pelajaran tersebut.
Perjalanan hidup kita di dunia sebetulnya juga sebuah sekolah kehidupan. Kita bisa belajar banyak mata pelajaran dari kehidupan. Satu pelajaran yang saya rasa tidak semua orang menyukainya, yaitu mata pelajaran penderitaan. Siapa yang suka menderita? Tidak ada. Tidak satu pun manusia di dunia ini yang senang belajar untuk menderita. Namun faktanya, kita ternyata selalu hidup berdampingan dengan penderitaan. Allah sendiri juga ingin memberikan mata pelajaran penderitaan untuk kita pelajari. Keadaan sulit yang kita alami dan berbagai masalah yang membuat kita merasa ingin menyerah, ternyata menjadi salah satu proses belajar yang Tuhan ajarkan kepada kita.
Dalam Ibrani 2:7, Rasul Paulus berkata, “… kamu harus menanggung ganjaran.” Ganjaran yang dimaksudkan bukanlah hukuman, melainkan disiplin terhadap penderitaan. 
Paulus melihat bahwa penderitaan yang dialami oleh manusia adalah bentuk pelajaran yang Allah berikan kepada manusia. Mengapa? Karena Allah memperlakukan kita sebagai anak-anaknya. Layaknya orangtua yang memberikan ajaran kepada anaknya agar berkembang, demikian juga Allah melakukannya di dalam kehidupan kita. Penderitaan diberikan sebagai pelajaran agar iman kita kepada Tuhan Yesus Kristus dapat bertumbuh dan semakin kuat.
Pelajaran penderitaan yang diberikan Tuhan tidak selalu mendatangkan sukacita (ay. 11), tetapi yakinlah Dia tidak akan pernah meninggalkan kita. Selain itu, ingatlah ada janji damai sejahtera yang pasti Dia akan berikan kepada setiap kita saat menghadapi penderitaan. Kunci keberhasilan melewati penderitaan adalah tetap bersandar dan beriman teguh kepada Kristus, berjalan lurus sesuai dengan kebenaran firman Allah, serta terus berjuang (ay. 13).
Mulai sekarang, marilah belajar melihat penderitaan sebagai suatu mata pelajaran kehidupan yang sedang Allah berikan bagi kita. Sebuah pelajaran agar kita dapat semakin bertumbuh dalam iman pada kuasa dan penyertaan Tuhan Yesus Kristus. Teruslah bersandar, beriman teguh, dan setia menjalani hidup selaras firman Allah. Ayo saudaraku, siapkan hati untuk menghadapi pelajaran baru!

Refleksi Diri:
Kapan Anda terakhir kali mengalami penderitaan yang sangat menyulitkan Anda? Apa pelajaran yang Anda dapatkan dari penderitaan tersebut?
Bagaimana sekarang Anda akan bersikap jika menghadapi penderitaan yang Tuhan izinkan terjadi?
"
Share:

Tidak Habis Oleh Masalah

Ratapan 3:21-26

Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu! 

- Ratapan 3:22-23
Kita tidak pernah membaca sebuah puisi yang mengagungkan penderitaan atau melihat sebuah tugu peringatan didirikan untuk mengenang kebaikan dari suatu penderitaan. 
Penderitaan didefinisikan sebagai hal yang tidak menyenangkan dan menyakitkan sehingga semua orang berusaha menghindarinya. Namun, C.S. Lewis pernah berkata, “Allah berbisik kepada kita dalam kesenangan kita, tetapi Dia berteriak dalam penderitaan kita. 
Penderitaan adalah megafon Allah untuk membangunkan dunia yang tuli.”
Ketika kita menderita, mungkin ada yang bertanya, “Jika Allah itu baik, mengapa Dia tidak mengangkat semua penderitaan kita?” Penulis kitab Ratapan menjawab di ayat 34-36 bahwa memang Tuhan tidak senang melihat umat-Nya menderita. Namun, manusia sesungguhnya membutuhkan tekanan dari sebuah penderitaan bagi kelangsungan hidupnya. 
Senada dengan itu, 1 Petrus 1:6-7 menyatakan bahwa penderitaan dan kesulitan hidup adalah bagian penting dari ujian iman, pembentukan karakter, dan pendewasaan kerohanian orang Kristen. Karena itu, ayat emas di atas menguatkan kita untuk tetap berpengharapan di saat mengalami penderitaan yang bukan disebabkan oleh dosa atau kesalahan sendiri, melainkan karena kepercayaan dalam Kristus (1Ptr. 4:14-16).
Bahasa Ibrani dari kata “berkesudahan” pada ayat emas mempunyai arti terpakai habis atau sampai ke titik penghabisan. Jadi, kasih setia Allah yang besar dan tak pernah habis memampukan kita untuk menghadapi ujian iman setiap hari. Ujian yang dialami mungkin terasa begitu berat, tetapi tidak akan dihabiskan oleh masalah dan penderitaan kita karena kasih setia Allah yang tak berkesudahan selalu menyertai.
Jika mengingat pengalaman saat menderita kanker yang menyakitkan di tahun 2016, saya menyadari betapa seringnya Allah menunjukkan kasih setia-Nya kepada kami sekeluarga. Saya melihat pemeliharaan Tuhan melalui kebaikan dari kerabat, teman-teman, nasihat bijak dari dokter, kecukupan keuangan dan keyakinan dalam hati bahwa suatu hari nanti saya pasti akan pulih kembali. Kasih setia Tuhan nyata dalam hidup saya.
Bila saat ini Anda sedang melewati masa-masa suram dan sulit karena masalah ekonomi, kesehatan, keluarga, dan sebagainya, janganlah putus asa dan kecewa. Anda tidak akan dihabiskan oleh masalah yang dihadapi. Tetaplah memercayai kasih karunia dan pemeliharaan Allah yang setia atas hidup Anda.

Refleksi Diri:
Apa penderitaan yang sedang Anda hadapi saat ini? Bagaimana respons Anda saat menghadapinya? 
Siapa yang Anda cari untuk memperoleh kekuatan dan pertolongan di tengah penderitaan
Share:

Tidak Habis Oleh Masalah

Ratapan 3:21-26

Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu! 

- Ratapan 3:22-23

Kita tidak pernah membaca sebuah puisi yang mengagungkan penderitaan atau melihat sebuah tugu peringatan didirikan untuk mengenang kebaikan dari suatu penderitaan. 
Penderitaan didefinisikan sebagai hal yang tidak menyenangkan dan menyakitkan sehingga semua orang berusaha menghindarinya. Namun, C.S. Lewis pernah berkata, “Allah berbisik kepada kita dalam kesenangan kita, tetapi Dia berteriak dalam penderitaan kita. 
Penderitaan adalah megafon Allah untuk membangunkan dunia yang tuli.”
Ketika kita menderita, mungkin ada yang bertanya, “Jika Allah itu baik, mengapa Dia tidak mengangkat semua penderitaan kita?” Penulis kitab Ratapan menjawab di ayat 34-36 bahwa memang Tuhan tidak senang melihat umat-Nya menderita. Namun, manusia sesungguhnya membutuhkan tekanan dari sebuah penderitaan bagi kelangsungan hidupnya. 
Senada dengan itu, 1 Petrus 1:6-7 menyatakan bahwa penderitaan dan kesulitan hidup adalah bagian penting dari ujian iman, pembentukan karakter, dan pendewasaan kerohanian orang Kristen. Karena itu, ayat emas di atas menguatkan kita untuk tetap berpengharapan di saat mengalami penderitaan yang bukan disebabkan oleh dosa atau kesalahan sendiri, melainkan karena kepercayaan dalam Kristus (1Ptr. 4:14-16).
Bahasa Ibrani dari kata “berkesudahan” pada ayat emas mempunyai arti terpakai habis atau sampai ke titik penghabisan. Jadi, kasih setia Allah yang besar dan tak pernah habis memampukan kita untuk menghadapi ujian iman setiap hari. Ujian yang dialami mungkin terasa begitu berat, tetapi tidak akan dihabiskan oleh masalah dan penderitaan kita karena kasih setia Allah yang tak berkesudahan selalu menyertai.
Jika mengingat pengalaman saat menderita kanker yang menyakitkan di tahun 2016, saya menyadari betapa seringnya Allah menunjukkan kasih setia-Nya kepada kami sekeluarga. Saya melihat pemeliharaan Tuhan melalui kebaikan dari kerabat, teman-teman, nasihat bijak dari dokter, kecukupan keuangan dan keyakinan dalam hati bahwa suatu hari nanti saya pasti akan pulih kembali. Kasih setia Tuhan nyata dalam hidup saya.
Bila saat ini Anda sedang melewati masa-masa suram dan sulit karena masalah ekonomi, kesehatan, keluarga, dan sebagainya, janganlah putus asa dan kecewa. Anda tidak akan dihabiskan oleh masalah yang dihadapi. Tetaplah memercayai kasih karunia dan pemeliharaan Allah yang setia atas hidup Anda.

Refleksi Diri:
Apa penderitaan yang sedang Anda hadapi saat ini? Bagaimana respons Anda saat menghadapinya? 
Siapa yang Anda cari untuk memperoleh kekuatan dan pertolongan di tengah penderitaan
Share:

Dosa Menahan Kebaikan

Amsal 3:27-28

Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya.
- Amsal 3:27
Saya pernah melihat sebuah ilustrasi yang menggambarkan dua orang sedang berinteraksi. Orang pertama sedang kedinginan dan kelaparan, sementara orang kedua memakai jaket tebal dan berjalan sambil membawa makanan. Orang kedua melihat orang pertama sambil berkata, “Kamu lapar ya?” Hanya perkataan tanpa diiringi dengan tindakan memberi. Ia hanya sekadar berkata dan kemudian pergi.
Ilustrasi gambar ini tepat menggambarkan apa yang disampaikan penulis Amsal pada bacaan Alkitab hari ini. Raja Salomo menyampaikan pesan kepada kita bahwa ternyata ada orang-orang yang memikirkan dirinya sendiri tanpa mau peduli keadaan orang lain. Dengan keegoisannya mereka hanya memandang orang lain yang mengalami kesusahan, tanpa memberikan bantuan. Dengan berbagai alasan, mereka menunda untuk melakukan perbuatan baik. Mengapa orang menunda memberikan bantuan? Karena ia memikirkan untung dan rugi, serta memikirkan dirinya terlebih dahulu sebelum memikirkan orang lain.
Ketidakpedulian membuat Tuhan sangat marah. Tuhan tidak suka dengan sikap tidak peduli. Dia menegur keras orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri dan tidak memperhatikan kebutuhan orang lain. Tuhan meminta kita untuk segera memberikan bantuan dan semampu yang bisa kita lakukan. Alasan utamanya, Tuhan sudah memberkati kita terlebih dahulu maka kita harus menjadi berkat bagi orang lain. Mungkin orang tersebut sedang dan sudah berdoa kepada Tuhan meminta pertolongan dan kita bisa menjadi alat Tuhan untuk menolongnya. Jangan menghambat karya Tuhan dinyatakan karena kita egois dan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Selain itu, jika kita tidak melakukan kebaikan padahal mampu melakukannya maka kita sudah berdosa. Rasul Yakobus di dalam Yakobus 4:17 mengingatkan, “Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.”
Marilah belajar peka dan membuka diri terhadap orang-orang di sekitar kita yang membutuhkan bantuan. Biarlah Allah bekerja dan karya-Nya nyata dirasakan oleh mereka melalui diri kita. Jadilah berkat bagi sesama supaya mereka juga bisa merasakan berkat Tuhan di dalam kehidupan. Kiranya Tuhan Yesus menolong kita untuk taat kepada firman-Nya sehingga Dia dapat memakai kita menyatakan kebaikan-kebaikan-Nya melalui diri kita.

Refleksi Diri:
Siapa orang di sekitar Anda yang Tuhan tempatkan yang membutuhkan bantuan Anda?
Apa kebaikan yang bisa Anda lakukan agar karya Tuhan nyata melalui diri Anda?
Share:

Seperti TUHAN mencintai

Hosea 3:1

Orang percaya, lihatlah ke belakang melintasi pengalamanmu, dan pikirkan bagaimana Allahmu sudah memimpinmu dalam belantara, dan bagaimana Dia sudah memberimu makan dan pakaian setiap hari — bagaimana Dia sudah menanggung perilakumu yang buruk — bagaimana Dia sudah bertahan dengan segala omelanmu dan segala kerinduanmu akan hal-hal kedagingan Mesir — bagaimana Dia sudah membuka batu karang untuk memberi minum, dan memberimu makan dengan manna yang datang dari langit. Pikirkan betapa anugerah-Nya sudah cukup bagimu dalam segala masalahmu — bagaimana darah-Nya sudah menjadi pengampunan dalam segala dosamu — bagaimana tongkat dan gada-Nya sudah menghibur engkau. Ketika engkau sekarang sudah melihat kasih Tuhan ke belakang, sekarang biarkan iman memandang kasih-Nya pada masa depan, karena ingatlah bahwa perjanjian dan darah Kristus mencakup lebih dari masa lampau. Dia yang sudah mengasihi dan mengampunimu, takkan pernah berhenti mengasihi dan mengampuni. Dialah Alfa, dan Dia akan menjadi Omega juga: Dia yang Awal, dan Dia akan menjadi yang Akhir. Karena itu, ingatlah ketika engkau melalui lembah kekelaman, engkau tidak perlu takut bahaya, sebab Dia bersamamu [Mazmur 23:4]. Ketika berdiri dalam aliran dingin sungai Yordan, engkau tidak perlu takut, karena kematian tidak bisa memisahkanmu dari kasih-Nya; dan ketika engkau tiba pada misteri kekekalan, engkau tidak perlu gemetar, "Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita." [Roma 8:38] Sekarang, hai jiwa, tidakkah kasihmu disegarkan kembali? Tidakkah ini membuatmu mencintai Yesus? Tidakkah melintasi padang kasih yang tak terbatas mengobarkan dan mendorong hatimu untuk bersuka dalam Tuhan Allahmu? Pastilah, ketika kita merenungkan "cinta TUHAN" itu, hati kita berkobar, dan kita ingin lebih mencintai Dia.
Share:

Gema Suara Illahi Senin 5 Februuari 2024Sisi Baik Di Balik Sisi Buruk

1 Samuel 31:1-13

Mereka mengambil tulang-tulangnya lalu menguburkannya di bawah pohon tamariska di Yabesh. Sesudah itu berpuasalah mereka tujuh hari lamanya.
- 1 Samuel 31:13

Kisah hidup Saul berakhir di perikop bacaan hari ini. Menurut Anda, setelah mengikuti perjalanan hidupnya di dalam kitab 1 Samuel, apakah Saul seorang sukses atau gagal? Saya pikir kita terbiasa menilai akhir hidup Saul dari sisi negatif, yaitu bahwa ia bunuh diri. Memang, itu fakta tak terbantahkan. Kita bisa mengatakan Saul “finishing not well”. Saul didera sindrom minder dan rasa tidak aman sepanjang hidupnya. Ia tidak pernah selesai dengan dirinya sendiri. Tidak ada prestasi yang istimewa semasa menjadi raja, kecuali pada masa awal ia menjabat. Sepanjang hidupnya, meskipun berkali-kali berperang, orang Filistin tidak berhasil ia tundukkan. Orang Israel tetap harus hidup dalam ancaman dan ketidakamanan.
Anda bisa menyebut nasib Saul tragis. Ia ingin menghindarkan diri dari siksaan dan hinaan orang Filistin, tetapi ternyata tetap saja jasadnya diperlakukan dengan hina (ay. 10). Akan tetapi, ada catatan menarik dalam ayat 11-13 tentang perlakuan baik dan hormat penduduk Yabesh-Gilead terhadap jenazah Saul. Siapa penduduk Yabesh-Gilead? Kembali ke masa lalu, dalam 1 Samuel 11, diceritakan tentang tindakan Saul menyelamatkan mereka dari orang Amon. Mereka tidak pernah melupakan jasanya. Saul adalah pahlawan bagi penduduk Yabesh-Gilead. Karena itu, mereka memberanikan dan merisikokan diri mengambil jasadnya di sarang musuh dan memperlakukannya dengan hormat.
Di balik pribadi yang kita anggap gagal, mungkin ada jasa baik dan dampak yang sudah dilakukan Saul bagi orang lain. Saul tak bisa disebut orang yang sukses, tetapi rasanya juga tidak pantas kita mengatakan ia pribadi yang gagal total, apalagi dari perspektif penduduk Yabesh-Gilead. Dari hidup Saul, mari kita belajar menghargai seseorang yang tidak dihargai siapa-siapa karena dirinya bukan siapa-siapa. Saya yakin, di balik pribadi yang bukan siapa-siapa, mungkin saja ada dampak yang telah diperbuatnya bagi sesama. Hendaklah kita belajar menghargai orang yang kurang dihargai karena mereka pun pasti pernah melakukan sesuatu yang berharga semasa hidupnya.

Refleksi Diri:

Siapa orang yang Anda kenal/tahu yang Anda pikir “bukan siapa-siapa”?
Apa perilaku baik dari orang tersebut yang bisa Anda hargai? Apa wujud nyata penghargaan Anda kepadanya?
"
Share:

Bagian Allah, Bagian Manusia

1 Samuel 30:1-20

Tetapi Daud menguatkan kepercayaannya kepada TUHAN, Allahnya.
- 1 Samuel 30:6b

Berkali-kali Daud menghadapi krisis. Kali ini, ia kembali menghadapi masalah besar. Pertama, Daud menghadapi kenyataan pahit: serangan balik dari orang Amalek. Dulu Daud pernah menyerang mereka dan sekarang mereka menyerang balik (1Sam. 27:8). Orang-orang yang dikasihi serta harta-bendanya dirampas. Istri dan anak-anaknya ditawan. Kedua, Daud menghadapi krisis kepemimpinan. Pengikutnya menyalahkan ia dan hampir melemparinya dengan batu. Daud dianggap bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Tak mudah menghadapi orang-orang yang sedang sedih dan marah.
Bagaimana Daud menghadapi masalah ini? Kuncinya ada pada ayat 6. Dikatakan, “Dan Daud sangat terjepit.” Ungkapan yang sama digunakan oleh Saul (1Sam. 28:15). Keduanya menghadapi situasi berat. Namun, keduanya merespons dengan cara yang berbeda. Saul mencari pertolongan dari pemanggil arwah. Dalam keputusasaannya, Saul tidak melihat sumber pertolongan yang utama, yaitu Allah. Berkebalikan dengan Daud, responsnya adalah “menguatkan kepercayaannya kepada TUHAN, Allahnya.” (ay. 6b). Daud tak sedikit pun ragu dan goyah akan sumber kekuatan dan pertolongannya. Daud benar-benar berpaut kepada Allah.
Keterpautan Daud kepada Allah ditunjukkan dengan tindakan mencari kehendak Tuhan (ay. 8). Tuhan berkenan menyatakan kehendak-Nya dan menjanjikan keberhasilan baginya. Langkah selanjutnya adalah Daud bersama-sama enam ratus orang mengusahakan misi penyelamatan. Sikap Daud ini mengingatkan kita pada pernyataan Rasul Paulus dalam Filipi 2:12-13, “Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu … karena Allahlah yang mengerjakan …” Bagi Daud, menguatkan kepercayaan kepada Tuhan berarti bersandar sepenuhnya pada Allah yang aktif bekerja, tetapi pada saat yang sama ia juga bergiat dalam bagian yang harus dikerjakannya. Orang beriman tak kenal kata diam dan menyerah. Orang yang paling beriman adalah orang yang paling giat berusaha.
Bapa Gereja Agustinus berkata, “Berdoalah seolah-olah semuanya bergantung kepada Allah, bekerjalah seolah-seolah semuanya bergantung kepadamu.” Ini adalah paradoks. Di satu sisi kita harus beriman sepenuhnya pada kuasa Allah dalam menggenapkan kehendak-Nya. Di sisi lain, kita harus berusaha sebaik-baiknya karena itulah kehendak Allah bagi kita.

Refleksi Diri:
Bagaimana Anda memahami arti dari beriman dan berusaha?
Apa masalah yang Anda hadapi saat ini? Sejauh mana Anda berusaha dan berdoa/ beriman dalam menghadapi masalah tersebut?
Share:

Bukan “HOKI” Yang Menghampiri

1 Samuel 29:1-11

Kemalangan orang benar banyak, tetapi TUHAN melepaskan dia dari semuanya itu.
- Mazmur 34:20
Hoki” adalah istilah yang populer untuk menyatakan nasib baik yang dialami seseorang. Misalnya, ketika ada kecelakaan mobil beruntun di jalan tol dan mobil Anda terluput, Anda akan dibilang, “Hoki.”
Daud ada dalam situasi sulit. Dilema. Maju kena, mundur kena. Oleh Raja Akhis, Daud diminta berperang melawan bangsanya sendiri. Selama ini Akhis menganggapnya sudah berbelot dari bangsanya dan berpihak kepadanya, bahkan sudah diangkat sebagai pengawal setia. Akhis sangat percaya bahkan menyanjung-nyanjung Daud (ay. 6, 9). Akhis tidak tahu ini hanya drama cantiknya Daud. Di sisi lain, Daud tentu tidak akan mau berperang melawan bangsanya sendiri. Ia bukan pengkhianat seperti dugaan Akhis. Namun, jika Daud menolak permintaan Akhis, dramanya akan terbongkar.
“Hoki” akhirnya mendatangi Daud. Raja-raja kota orang Filistin (atau panglima ay. 4) keberatan dengan kehadiran Daud di tengah mereka. Dalam anggapan mereka, betapa konyolnya berperang melawan orang Israel, sementara di sini bersama mereka ada segerombolan orang Israel. Mereka tidak percaya bahwa Daud betul-betul berpihak pada orang Filistin. Akhis kalah dalam posisi tawar-menawar dengan raja-raja kota ini sehingga mengurungkan niatnya mengajak Daud berperang melawan orang Israel. Akhirnya, reputasi Daud di mata Akhis tetap terjaga baik dan di sisi lain ia tidak harus berperang melawan bangsanya sendiri. Dilema selesai.
Daud sedang “hoki”? Nanti dulu. Bukan “hoki” yang menghampirinya, tetapi Tuhan yang menyertainya. Yang terjadi di sini adalah tangan kuasa Allah yang memerintah dengan senyap. Allah beserta dengan Daud di mana pun ia berada (1Sam. 18:12, 28) termasuk ketika berada di tengah-tengah orang Filistin. Tidak ada kebetulan dalam jalan hidup manusia. Tuhan berdaulat atas hidup manusia dan mengatur segala sesuatu untuk kebaikan orang yang dikasihi-Nya (Rm. 8:28).
Jika Anda berada dalam situasi dilematis, jangan cepat-cepat putus asa. Jangan juga pasrah sambil berharap “hoki” menghampiri. Percayalah kepada Tuhan yang berkuasa atas langit-bumi dan isinya. Bersandarlah kepada-Nya. Tuhan Yesus mengatur semua untuk kebaikan orang yang dikasihi-Nya, kadang dengan cara yang terang-terangan seperti mukjizat, kadang dengan cara yang senyap.
Refleksi Diri:

Apakah Anda percaya pada hoki atau nasib baik?
Bagaimana Anda akan bersikap setelah membaca renungan ini ketika menghadapi situasi dilematis?
Share:

Hidup Tenang, Bukan Panik

1 Samuel 28:1-19

Sesungguhnya, tangan Tuhan tidak kurang panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaran-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar; tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu.
- Yesaya 59:1-2

Bob Buford menulis buku berjudul Finishing Well, tentang bagaimana mengakhiri kehidupan dengan baik. Saya yakin setiap kita kelak ingin mengakhiri kehidupan dengan baik. Dalam hal Saul, sayangnya, itu tidak terjadi. Mendekati akhir hidupnya, hidup Saul semakin tragis.
Dalam 1 Samuel 28, kita membaca tentang Saul yang semakin kelabakan menghadapi masalahnya. Ia ingin mencari pimpinan Tuhan tetapi Tuhan telah meninggalkannya dan tidak menjawabnya (ay. 6). Nabi Samuel, panutannya juga sudah meninggal dunia. Padahal, Saul adalah pribadi yang tidak percaya diri. Ia butuh orang yang memberinya arahan, apalagi ketika berada dalam situasi terancam oleh orang Filistin. Yang terpikir dalam kepalanya hanyalah Samuel. Lalu ia menempuh cara yang dilarang oleh firman Tuhan (Ul. 18:10-12), yaitu mendatangi pemanggil arwah untuk memanggilkan roh Samuel. Ironis sekali Saul melakukan itu karena sebelumnya ia sudah menyingkirkan para pemanggil arwah (ay. 3). Apa yang dulu dilarangnya, sekarang dilakukannya. Saul semakin jatuh ke titik terendah dalam hidupnya.
Saya bertanya-tanya, mengapa Tuhan meninggalkannya? Benarkah Tuhan meninggalkannya? Atau sebenarnya Saul yang lebih dulu meninggalkan Tuhan maka Dia pun meninggalkannya? Ketika sedang jaya-jayanya sebagai raja, Saul tidak taat perintah Tuhan (ay. 18). Alih-alih bertobat, ia ulangi lagi kebodohannya dengan memberi korban persembahan ketika Samuel yang ditunggu-tunggu tidak datang. Ketika berhadapan dengan Daud pun, ia menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya. Memang ia sepertinya pernah menyesal, tetapi tidak ada pertobatan nyata dalam hidupnya. Saul semakin menjauhkan diri dari Tuhan.

Hidup Saul mengajari kita tentang menghadapi masalah dengan tenang, bukan panik dan ceroboh. Semakin panik dan ceroboh, semakin runyam masalah kita. Hadapi masalah dengan datang kepada Tuhan Yesus dan mencari kehendak-Nya. Jika ada dosa atau kesalahan, bertobatlah, bukannya semakin jatuh ke dalam dosa dengan melakukan lagi perbuatan bodoh dan ceroboh. Sesungguhnya Tuhan tidak pernah “tega” meninggalkan kita jika kita sungguh-sungguh mencari-Nya (Yes. 59:1-2).

Refleksi Diri:
Apa respons Anda selama ini ketika dihimpit masalah?
Bagaimana Yesaya 59:1-2 menguatkan Anda?
"
Share:

Categories

Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.