Gereja Kristen Kalam Kudus Tepas Kesamben Blitar

Semangat Tak Terpadamkan dalam Penyebaran Injil


Kita sering mendengar bahwa penyebaran Injil mengalami stagnansi dalam kenyamanan, sementara penganiayaan justru memicu pertumbuhan yang luar biasa. Ungkapan "makin dibabat makin merambat" dengan tepat menggambarkan fenomena ini.

Penganiayaan Awal dan Penyebaran Injil

Ketika Stefanus mati sebagai martir, jemaat berada dalam suasana duka yang mendalam (Kisah Para Rasul 8:2). Namun, penganiayaan hebat yang dimulai oleh Saulus (Kisah Para Rasul 8:1b) menjadi titik balik bagi penyebaran Injil. Saulus menyeret orang-orang Kristen dari rumah ke rumah untuk dimasukkan ke dalam penjara (Kisah Para Rasul 8:3). Namun, tindakan keras ini tidak menghentikan semangat jemaat; sebaliknya, mereka menyebar ke berbagai tempat sambil memberitakan Injil (Kisah Para Rasul 8:4).

Tantangan dan Mukjizat dalam Pekabaran Injil

Dalam perjalanan pekabaran Injil, jemaat menghadapi berbagai tantangan, termasuk bertemu dengan orang yang mengaku sebagai kuasa Allah (Kisah Para Rasul 8:9-11). Namun, Allah menyertai mereka dengan tanda dan mukjizat yang nyata, sehingga pesan Injil tersebar secara efektif (Kisah Para Rasul 8:12-13). Ketika rasul-rasul mendengar tentang pertobatan di Samaria, mereka segera mengutus Petrus dan Yohanes untuk melengkapi pelayanan Filipus (Kisah Para Rasul 8:14).

Penyertaan Allah dalam Penyebaran Injil

Allah dengan jelas menyertai pekabaran Injil-Nya. Penderitaan yang berat, bahkan kematian para murid, tidak pernah dapat menghentikan kuasa Injil. Dari zaman para rasul hingga sekarang, Injil telah tersebar ke seluruh dunia, mengubah peradaban, dan menyelamatkan jutaan jiwa.

Yesus Kristus memberikan amanat agung sebelum naik ke surga, memerintahkan untuk memberitakan Injil kepada segala makhluk (Matius 28:19-20). Bersamaan dengan perintah itu, Yesus juga memberi janji penyertaan dan kuasa-Nya sampai akhir zaman.

Dahulu, para rasul dan bapa gereja berkobar-kobar dalam memberitakan Injil meskipun nyawa mereka adalah taruhannya. Kini, kita hidup di era yang berbeda, tetapi tantangan dalam memberitakan Injil tetap ada. Era postmodern membawa berbagai tantangan baru, seperti relativisme kebenaran dan materialisme yang dapat menghalangi penyebaran Injil. Namun, semangat para rasul menjadi teladan bagi kita untuk tetap bersemangat dalam menjalankan amanat agung ini.

Meskipun kita mungkin tidak menghadapi penganiayaan fisik yang sama seperti para rasul, tantangan dan hambatan yang kita hadapi tetap nyata. Namun, dengan keyakinan bahwa Allah menyertai dan memberikan kuasa-Nya, kita dapat terus memberitakan Injil dengan semangat yang berkobar-kobar, seperti halnya para rasul dan bapa gereja dulu.

Penganiayaan tidak menghentikan penyebaran Injil, tetapi justru memicunya untuk semakin meluas. Dengan keyakinan dan semangat yang sama, kita harus terus berkomitmen untuk memberitakan Injil, terlepas dari tantangan yang kita hadapi. Ingatlah bahwa dalam segala situasi, Allah menyertai kita dan memberikan kuasa-Nya untuk menjalankan amanat agung-Nya.

Share:

 Lagu Ibadah Minggu 26 Mei 2024

Share:

Rahasia Tuhan

“TUHAN bergaul karib dengan orang yang takut akan Dia” (NKJV menerjemahkannya: Rahasia Tuhan diberitahukan-Nya kepada mereka yang takut akan Dia). (Mazmur 25:14)

Seorang sahabat sejati tidak hanya berbagi dukacita, tetapi lebih dari itu, mereka berbagi rahasia sukacita mereka. Ini adalah tanda keakraban dan kedalaman hubungan yang melebihi sekadar berbagi kesedihan. Ketika seseorang memilih untuk berbagi kebahagiaan dan sukacita terdalam mereka dengan kita, itu menunjukkan tingkat kepercayaan dan keintiman yang tinggi. Mereka tidak hanya melihat kita sebagai tempat untuk meluapkan keluh kesah, tetapi sebagai bagian dari kebahagiaan mereka.

 Hubungan dengan Allah

Sama halnya dengan hubungan kita dengan sahabat, hubungan kita dengan Allah juga diharapkan memiliki tingkat keakraban dan kedalaman yang serupa. Pada awal perjalanan iman kita, mungkin kita lebih sering datang kepada Allah dengan berbagai permohonan dan keluhan. Namun, seiring dengan pertumbuhan rohani, kita diajak untuk semakin mengenal kehendak Allah dan hidup dalam keintiman dengan-Nya.

1. Mendengarkan Sukacita Allah:

Kita sering sibuk menceritakan rahasia kita kepada Allah, tetapi pernahkah kita memberi ruang bagi Allah untuk berbagi sukacita-Nya dengan kita? Seperti halnya sahabat sejati yang berbagi sukacita, Allah juga ingin kita mengenal sukacita-Nya. Dalam Mazmur 25:12, dikatakan, "Kepadanya Tuhan menunjukkan jalan yang harus dipilihnya." Hal ini menunjukkan bahwa Allah ingin kita tahu dan mengikuti kehendak-Nya.

2. Menjalin Hubungan Akrab:

Hubungan yang akrab dengan Allah tercermin dalam doa yang menyatu dengan kehendak-Nya, seperti yang diajarkan Yesus dalam Matius 6:10, "Jadilah kehendak-Mu." Ketika kita semakin dekat dengan Allah, kita belajar untuk mengenali suara-Nya dan memahami kehendak-Nya tanpa harus terus-menerus bertanya. Kita menjadi begitu erat dipersatukan dengan Allah sehingga mengikuti kehendak-Nya menjadi sesuatu yang alami bagi kita.

3. Petunjuk dalam Pilihan Sehari-hari:

Ketika kita sudah diselamatkan dan dikuduskan, Allah membimbing kita melalui setiap pilihan yang kita buat. Allah sering memberi kita keragu-raguan atau dorongan hati sebagai petunjuk. Bila kita merasakan keraguan, kita diajak untuk berhenti sejenak dan mempertimbangkan kembali langkah kita. Ini adalah cara Allah menunjukkan jalan-Nya kepada kita. 

4. Mengandalkan Akal Sehat yang Dituntun oleh Allah:

Allah menuntun kita melalui akal sehat yang telah dipenuhi oleh Roh Kudus. Ketika kita hidup dekat dengan Allah dan menyerahkan diri kepada ajaran dan tuntunan-Nya, kita akan semakin jarang merintangi Roh-Nya dengan keraguan yang berulang-ulang. Kita akan lebih intuitif dalam merasakan kehendak Allah dalam setiap langkah kehidupan kita.

Menjadi sahabat sejati berarti berbagi sukacita, bukan hanya dukacita. Demikian pula, menjadi dekat dengan Allah berarti mendengarkan dan memahami sukacita serta kehendak-Nya, bukan hanya menyampaikan permohonan kita. Dalam perjalanan iman kita, mari kita berusaha untuk hidup dalam keintiman dengan Allah, sehingga kita dapat mengenali dan mengikuti kehendak-Nya dengan penuh sukacita dan ketulusan hati.

Share:

Kebenaran yang Tertolak

Kebenaran yang Tertolak: Refleksi dari Stefanus dan Gereja Masa Kini

David Wells dalam bukunya *No Place for Truth* menyoroti bagaimana gereja postmodern menolak kebenaran Kristen alkitabiah. Namun, penolakan terhadap kebenaran bukanlah fenomena baru. Sejak masa pembentukan umat Allah, kebenaran telah sering kali diabaikan dan ditolak. Stefanus mengingatkan kita tentang sejarah ini dalam pembelaannya di hadapan Mahkamah Agama.

Penolakan Kebenaran dalam Sejarah Israel

Sejarah Alkitab mencatat berbagai peristiwa yang mencerminkan penolakan terhadap kebenaran. Musa, yang dipilih oleh Allah untuk memimpin Israel keluar dari perbudakan di Mesir, ditolak oleh bangsanya sendiri (Kisah Para Rasul 7:35, 39). Setelah bebas dari Mesir, umat Israel bahkan membuat dan menyembah patung anak lembu emas (Kisah Para Rasul 7:40-43), sebuah tindakan yang jelas-jelas merupakan pemberontakan terhadap Allah yang telah menyelamatkan mereka.

Penolakan Kebenaran oleh Pemuka Agama

Penolakan terhadap kebenaran tidak berhenti di masa Musa. Dalam zaman Yesus dan para rasul, penolakan ini terus berlanjut. Para pemuka agama Yahudi yang seharusnya mengenali dan menerima Mesias malah menolak dan akhirnya membunuh Yesus Kristus. Stefanus menegur keras para pemuka agama yang menghakiminya dengan menyebut mereka sebagai orang-orang yang keras kepala, keras hati, tuli, dan menentang Roh Kudus (Kisah Para Rasul 7:51). Mereka termasuk dalam barisan panjang orang-orang yang menghalangi kebenaran, hingga akhirnya membunuh Stefanus karena keberanian dan kebenaran yang dia nyatakan (Kisah Para Rasul 7:54-60).

Gereja sebagai Tempat Penolakan Kebenaran

Ironisnya, gereja yang seharusnya menjadi tempat kebenaran sering kali justru menjadi tempat di mana kebenaran ditolak. Hal ini masuk akal mengingat bahwa Israel, umat pilihan Allah, pun menolak kebenaran. Dalam konteks modern, banyak gereja yang lebih menyerupai dunia daripada komunitas orang percaya yang berpegang teguh pada kebenaran Firman Tuhan. Orang-orang datang ke gereja bukan untuk mencari kebenaran, tetapi untuk mencari hiburan dan kenyamanan.

Kebenaran yang Tak Terhalangi

Meskipun kebenaran selalu dihalang-halangi, kebenaran tidak akan pernah mati. Kebenaran selalu menemukan tempat untuk bertumbuh. Ini adalah jaminan yang kita miliki dalam Tuhan. Kita melihat dalam sejarah bahwa walaupun Musa ditolak dan Yesus dibunuh, kebenaran Allah tetap bertahan dan berkembang.

Refleksi untuk Hidup Kita

Kita harus selalu introspeksi dan bertanya pada diri sendiri, apakah kita menjadi penghalang kebenaran atau menjadi tempat bagi kebenaran untuk bertumbuh subur. Kita harus mewaspadai cara hidup kita agar tidak menjadi seperti para pemuka agama yang menghalangi kebenaran dan menolak Roh Kudus. Sebaliknya, marilah kita membuka hati kita untuk menerima dan menjalankan kebenaran dalam kehidupan kita sehari-hari.

Kebenaran memang sering ditolak, baik dalam sejarah Israel maupun dalam konteks gereja modern. Namun, kita dipanggil untuk menjadi pembawa kebenaran, memastikan bahwa kebenaran Firman Tuhan dapat bertumbuh subur dalam hidup kita dan dalam komunitas gereja. Dengan demikian, kita ikut berpartisipasi dalam rencana besar Allah yang selalu memelihara kebenaran-Nya di tengah dunia yang sering kali menolaknya.

Doa:

Ya Tuhan, kami bersyukur karena Engkau adalah Allah yang selalu menjaga dan memelihara kebenaran-Mu. Tolong kami untuk selalu membuka hati dan pikiran kami kepada kebenaran Firman-Mu. Jadikanlah kami alat-alat-Mu yang setia dalam menyatakan kebenaran di tengah dunia ini. Lindungi kami dari godaan untuk menghalangi kebenaran dan berikan kami keberanian untuk selalu hidup dalam kebenaran-Mu. Dalam nama Yesus Kristus, kami berdoa. Amin.

Share:

Intervensi Allah dalam Sejarah Manusia

Allah yang Berintervensi dalam Sejarah: Pelajaran dari Pembelaan Stefanus

Allah yang kita percaya ialah Allah yang berintervensi dalam sejarah. Dia bukan Allah menurut deisme, yang menciptakan lalu meninggalkan ciptaan-Nya.

Stefanus sangat memahami konsep ini. Oleh karena itu, ketika dia dituduh bahwa dia menghujat Musa dan Allah, Stefanus tetap tenang. Ditambah lagi, dalam pembelaan dirinya yang cukup panjang itu, Stefanus malah menceritakan kembali pekerjaan Allah dari Abraham sampai Musa. Ini adalah suatu pembelaan diri yang tidak lazim di tengah tuduhan penistaan agama.

Akan tetapi, dalam ketidaklaziman ini, kita dapat melihat satu benang merah.

Benang merahnya adalah kovenan Allah selalu menemui persoalan. Seolah-olah kovenan atau perjanjian tersebut akan batal, tetapi Allah senantiasa menuntun dan memberikan jalan keluar, sehingga apa yang telah direncanakan--sekalipun selalu menemui kesulitan--tidak pernah gagal, karena Allah memelihara kovenan-Nya. 

Abraham diberi janji akan tanah dan keturunan, tetapi ia tidak memiliki anak sampai usia tua (Kisah Para Rasul 7:5); keturunan Abraham malah menjadi pendatang di negeri asing dan dianiaya (Kisah Para Rasul 7:6); Yusuf dijual oleh saudara-saudaranya (Kisah Para Rasul 7:9); Musa ditolak oleh orang Israel sendiri (Kisah Para Rasul 7:27). Semuanya tampak seperti masalah yang begitu besar. Akan tetapi, pada akhirnya Tuhan selalu membuktikan kovenan-Nya (Kisah Para Rasul 7:7-8, 10).

Stefanus juga menghadapi masalah yang serupa. Ada kemungkinan besar bahwa ia akan dihukum mati. Namun, dia percaya pada janji Tuhan bahwa Tuhan akan menyertainya senantiasa sampai kepada akhir zaman (Matius 28:20). Stefanus mengenal secara utuh Allah yang berintervensi dalam sejarah. Oleh karena itulah, dia menceritakan bagaimana Allah telah memelihara kovenan-Nya sejak zaman Abraham hingga Musa.

Konsep tentang Allah yang berintervensi dalam sejarah memberi kita pengharapan. Dalam dunia yang penuh tragedi, kita akan mudah dibuat berputus asa dan menyerah. Namun, percayalah kepada-Nya yang selalu berintervensi dan memberikan jalan keluar, Ia memberi kita kekuatan dalam menjalani kehidupan ini. Kepercayaan ini tidak hanya menguatkan kita dalam menghadapi cobaan, tetapi juga mengingatkan kita akan kesetiaan Tuhan yang tidak pernah meninggalkan umat-Nya.

Renungan:

1. Allah yang Setia: Allah tidak pernah meninggalkan umat-Nya. Seperti yang ditunjukkan dalam sejarah, dari Abraham hingga Musa, Allah selalu hadir dan setia dalam menuntun dan memelihara kovenan-Nya. Ini memberikan kita jaminan bahwa Tuhan juga setia dalam hidup kita.

2. Pembelaan yang Bijak: Stefanus memberikan teladan bagaimana cara bijak dalam menghadapi tuduhan dan cobaan. Dengan tetap tenang dan menceritakan kembali kebaikan Tuhan, Stefanus menunjukkan imannya yang kokoh dan keyakinannya akan intervensi Tuhan.

3. Pengharapan dalam Kesulitan: Menghadapi tantangan dan kesulitan hidup sering kali membuat kita putus asa. Namun, dengan memahami bahwa Tuhan berintervensi dalam sejarah dan dalam hidup kita, kita dapat menemukan pengharapan dan kekuatan untuk terus maju.

Doa:

Ya Tuhan, kami bersyukur atas kesetiaan-Mu yang tidak pernah berakhir. Terima kasih karena Engkau selalu hadir dalam setiap aspek kehidupan kami, bahkan di tengah kesulitan dan penderitaan. Tolonglah kami untuk selalu percaya dan berharap kepada-Mu, sama seperti Stefanus. Berikanlah kami kekuatan dan keberanian untuk menghadapi setiap tantangan hidup dengan iman yang teguh. Dalam nama Yesus Kristus, kami berdoa. Amin.


Share:

Renungan dari Kehidupan Yusuf

KEJADIAN 50:22-26
Yusuf masih dapat melihat anak cucu Efraim sampai keturunan yang ketiga; juga anak-anak Makhir, anak Manasye, lahir di pangkuan Yusuf. (Kejadian 50:23)

Saya senang membaca biografi para tokoh, terutama cara mereka menjalani hidup, juga seputar akhir hidup mereka. Mencermati hal itu membuat saya selalu bisa mengambil hikmah, terinspirasi, dan terdorong untuk menjalani hidup dengan lebih baik. Hari ini kita membaca lima ayat yang menjadi akhir kisah kehidupan Yusuf, yang sejak masa mudanya terbilang penuh drama itu. Minimal ada dua poin yang bisa kita renungkan dari kebenaran firman Tuhan ini.

Pertama, Yusuf hidup sampai umur 110 tahun dan sempat melihat keturunan dari Manasye dan Efraim, bahkan sampai keturunan ketiga (Kejadian 50:22-23). Kalau kita ingat masa muda Yusuf, mungkin orang akan berpikir hidup Yusuf akan berakhir lebih cepat. Yusuf menghadapi berbagai kesulitan dan pengkhianatan sejak masa mudanya: ia dibuang ke sumur oleh saudara-saudaranya, dijual sebagai budak, difitnah oleh istri Potifar, dan dipenjara. Namun, campur tangan Allah dalam kehidupan Yusuf membuat kisah hidup anak Yakub itu berbeda. Melalui semua cobaan itu, Yusuf tetap beriman dan setia kepada Allah, yang akhirnya mengangkatnya menjadi penguasa di Mesir, kedua setelah Firaun.

Kedua, Yusuf mengingatkan saudara-saudaranya agar tetap berharap pada Allah, yang disembah oleh Abraham, Ishak, dan Yakub. Dua kali Yusuf berkata, "Allah pasti akan memperhatikan kamu" (Kejadian 50:24-25), yang terdengar seperti nasihat agar mereka tetap berpaut kepada Allah karena perhatian Allah akan tetap tertuju kepada umat-Nya. Ini menunjukkan bahwa di akhir hidupnya, Yusuf tetap teguh dalam imannya dan berusaha menanamkan iman yang sama kepada generasi penerusnya. Yusuf mengingatkan saudara-saudaranya akan janji Allah untuk membawa mereka kembali ke Tanah Perjanjian, sebagai penggenapan janji-Nya kepada Abraham, Ishak, dan Yakub.

Renungan:

Saat ini kita mungkin merasa nyaris tak ada masa depan karena pergumulan hidup yang berat. Atau kita mungkin merasa Allah mengabaikan kita. Namun, nas renungan hari ini mengingatkan kita akan kasih setia Allah dalam kehidupan umat-Nya. Yusuf adalah bukti hidup bahwa Allah tidak pernah meninggalkan umat-Nya, bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun. 

Percayalah bahwa Allah yang bekerja dalam kehidupan Yusuf, saat ini Ia juga sedang memperhatikan hidup kita, siap menolong, bahkan mengubahkan kehidupan kita. Sama seperti Allah memperhatikan Yusuf, Allah juga memperhatikan kita. Ia setia dan tidak pernah meninggalkan kita. Oleh karena itu, kita diajak untuk tetap berpegang pada iman dan harapan kita kepada Allah, yakin bahwa kasih dan perhatian-Nya akan selalu ada bagi kita.

Doa:

Ya Tuhan, kami bersyukur atas kasih setia-Mu yang tidak pernah berakhir. Terima kasih untuk contoh iman Yusuf, yang mengingatkan kami bahwa Engkau selalu hadir dalam setiap aspek kehidupan kami, bahkan di tengah kesulitan dan penderitaan. Tolonglah kami untuk selalu percaya dan berharap kepada-Mu, sama seperti Yusuf. Berikanlah kami kekuatan dan keberanian untuk menghadapi setiap tantangan hidup dengan iman yang teguh. Dalam nama Yesus Kristus, kami berdoa. Amin.

Share:

Umat Palsu

Yesus pernah menceritakan beberapa perumpamaan yang terkait dengan umat palsu. Ia mengumpamakan mereka dengan lalang di antara gandum (Matius 13:24-30). Jemaat mula-mula yang kelihatan begitu ideal tak luput dari lalang. Di antara banyaknya jemaat, ada orang-orang yang memang bukan umat Allah. Mereka adalah pemecah belah gereja yang tidak mencintai firman Tuhan, sekalipun mereka rajin bergereja.

Dalam konteks perikop ini, ada sekelompok orang yang berdebat dengan Stefanus (Kisah Para Rasul 6:9). Akan tetapi, perdebatan tersebut disengaja agar mereka mendapatkan kesalahan Stefanus (Kisah Para Rasul 6:10). Mereka tidak benar-benar ingin mengetahui firman Allah. Mereka hanya ingin menjatuhkan Stefanus. Bahkan, mereka tidak segan-segan menyebarkan fitnah bahwa Stefanus menghujat Allah dan hukum Taurat (Kisah Para Rasul 6:11, 13-14). Hal itu menyebabkan Stefanus diseret ke pengadilan agama (Kisah Para Rasul 6:12).

Sejak awal gereja berdiri, Iblis tidak pernah berhenti bekerja. Selalu saja ada umat palsu yang mengacau di dalam gereja. Hal ini tentunya berlanjut hingga masa kini.

Hal ini berimplikasi pada beberapa hal:

Pertama, ada umat palsu di dalam gereja yang tidak mencintai kebenaran. Oleh karena itu, gereja tidak perlu memaksakan diri untuk menuruti semua provokasi dan keinginan setiap jemaat. Pasalnya, mereka yang tidak mencintai kebenaran hanya ingin disenangkan dan dihibur.

Kedua, koreksilah diri kita, apakah selama ini kita bertindak seperti umat palsu. Kita harus jujur dengan diri kita sendiri. Apa tujuan kita pergi ke gereja? Apakah kita mencintai kebenaran, atau apakah kita punya motivasi lain?

Ketiga, berhati-hatilah dengan sikap yang suka menghakimi. Persoalan yang terjadi pada Stefanus adalah sikap sebagian jemaat yang menghakimi Stefanus secara tidak adil. Sikap ini dapat menjadi sikap kita juga jika kita tidak wawas diri.

Keempat, selalu ada ruang untuk perpecahan gereja. Iblis selalu bekerja dengan giat agar gereja terpecah belah, hamba Tuhan dibenci, dan selalu terjadi perselisihan. Oleh karena itu, waspadalah, agar kita tidak terjerumus oleh perangkap Iblis.

Renungan

Menjaga kesatuan dan keharmonisan di dalam gereja adalah tugas setiap jemaat. Umat yang sejati mencintai firman Tuhan dan berusaha untuk hidup sesuai dengan ajarannya. Kita perlu selalu waspada terhadap provokasi dan sikap menghakimi yang bisa merusak kesatuan gereja. Mari kita menjadi jemaat yang sungguh-sungguh mencintai Tuhan dan kebenarannya.

Doa

Ya Tuhan, kami bersyukur atas ajaran dan teladan yang Engkau berikan melalui firman-Mu. Tolong kami untuk selalu mencintai kebenaran dan menjauhi sikap menghakimi. Berikan kami hikmat untuk mengenali umat palsu di antara kami dan kekuatan untuk menjaga kesatuan gereja-Mu. Jauhkanlah kami dari segala tipu muslihat Iblis yang berusaha memecah belah jemaat. Dalam nama Yesus Kristus, kami berdoa. Amin.

Share:

BERANI DELEGASI UNTUK PELAYANAN YANG EFEKTIF

Kisah Para Rasul 6:1-7

Kita semua ingin menjadi seperti Superman. Pasalnya, Superman bisa melakukan segala sesuatu. Namun, karakter seperti itu hanya ada di cerita fiksi. Di dunia nyata, semua hal besar perlu dikerjakan bersama-sama.

Gereja mula-mula makin hari makin banyak pengikutnya (Kisah Para Rasul 6:1a). Awalnya, semua tampak begitu ideal. Akan tetapi, makin besar suatu organisasi, makin besar juga potensi konfliknya.

Perpecahan gereja menjadi satu persoalan yang sangat mungkin terjadi. Persoalan ini pun hampir terjadi di gereja mula-mula. Pasalnya, kelompok Kristen berbahasa Yunani merasa diperlakukan tidak adil. Mereka merasa bahwa pembagian sosial kepada janda miskin hanya difokuskan kepada orang Ibrani (Kisah Para Rasul 6:1b).

Ada beberapa pemicu dari persoalan ini: pelayan yang terlalu sedikit, yakni hanya 12 rasul (Kisah Para Rasul 6:2), tugas-tugas pelayanan yang terlalu kompleks, serta jemaat yang sangat banyak sehingga ada yang terabaikan.

Ditambah lagi, rasul-rasul telah menetapkan skala prioritas dalam pelayanan, yakni pelayanan firman sebagai yang primer (Kisah Para Rasul 6:4). Maka, pelayanan sosial menjadi kurang maksimal. Oleh karena itu, berdasarkan hikmat Allah, rasul-rasul mengambil langkah konkret untuk mengatasinya, yakni delegasi (Kisah Para Rasul 6:3).

Setelah delegasi dilakukan, persoalan ketidakadilan dapat diselesaikan. Bahkan, hasilnya melampaui itu karena firman Allah tersebar dan jumlah orang percaya makin bertambah banyak (Kisah Para Rasul 6:7).

Ada banyak sekali tugas pelayanan gerejawi. Ada tugas pokok (firman Tuhan, doa, penginjilan, liturgi) dan juga tugas lain yang kini menjadi bagian dari perkembangan zaman (perlawatan, konseling, media sosial). Tugas-tugas yang sedemikian banyak itu tidak mungkin hanya dikerjakan oleh hamba Tuhan dan majelis.

Gereja perlu mempersiapkan jemaat yang mau melayani secara holistik. Hamba Tuhan dan majelis juga harus berani mendelegasikan tugas, agar makin banyak orang yang terlibat dalam pelayanan kerajaan Allah dan makin banyak orang dapat mendengarkan Injil Tuhan.

Renungan: Melayani Tuhan adalah panggilan yang mulia, tetapi tidak dapat dilakukan sendiri. Pentingnya delegasi dalam pelayanan adalah agar setiap orang dapat berkontribusi sesuai dengan karunia dan talenta yang diberikan oleh Tuhan. Dengan berani mendelegasikan tugas, kita tidak hanya meringankan beban pelayanan, tetapi juga memberdayakan jemaat untuk tumbuh dan berkembang dalam iman dan pelayanan.

Doa: Ya Tuhan, kami bersyukur atas teladan yang diberikan oleh para rasul dalam mengelola pelayanan dengan bijaksana. Berikanlah kami hikmat dan keberanian untuk mendelegasikan tugas-tugas pelayanan, agar setiap jemaat dapat berkontribusi sesuai dengan karunia yang telah Engkau berikan. Semoga melalui kerja sama dan pelayanan yang holistik, nama-Mu semakin dipermuliakan dan banyak orang dapat mendengar dan menerima Injil-Mu. Dalam nama Yesus Kristus, kami berdoa. Amin.

Share:

MEMADUKAN LOGIKA DAN RASA

Mempertimbangkan suatu hal dapat dikatakan sebagai seni yang melibatkan logika sekaligus rasa. Untuk mencapai pertimbangan yang baik, logika dan rasa harus selaras. Itulah titik pencapaian dimana energi mengalami ketenangan dan keseimbangan. Dengan pertimbangan baik yang didasari pengertian, keputusan yang diambil pun akan menjadi bijak.

Hari ini kita bisa belajar dari sesepuh Mahkamah Agama, seorang Farisi sekaligus ahli Taurat bernama Gamaliel. Saat para pemuka Yahudi lainnya merasa sakit hati dan ingin menghabisi para rasul, Gamaliel paham bahwa energi orang-orang saat itu bergejolak. Bila tidak dikendalikan, tentu akan menimbulkan bahaya.

Dengan berbekal segala pengalaman dan keilmuannya, Gamaliel mengajak mereka untuk berpikir secara logis. Ia mengingatkan mereka tentang kisah Teudas yang mengaku sebagai orang istimewa, tetapi setelah ia dibunuh, kira-kira empat ratus pengikutnya tercerai-berai dan lenyap. Begitu pula dengan pemberontakan Yudas orang Galilea; ketika ia tewas, para pengikutnya pun tercerai-berai. Berdasarkan itu, Gamaliel mengajak mereka untuk membiarkan para rasul hidup, dengan pertimbangan: "... jika maksud dan perbuatan mereka berasal dari manusia, tentu akan lenyap, tetapi kalau berasal dari Allah, kamu tidak akan dapat melenyapkan orang-orang ini ..." (Kisah Para Rasul 5:38-39).

Dengan memadukan seni logika dan rasa, Gamaliel berhasil menenangkan hati dan energi mereka. Hal yang pantas disyukuri adalah munculnya kesadaran baru, bahwa kekerasan, penganiayaan, hingga pembunuhan adalah hal yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, Sang Maha Pengasih. Bagaimanapun juga, demi berkembangnya peradaban, kehadiran para guru bijaksana mutlak diperlukan.

Gamaliel adalah contoh guru yang pantas dijadikan teladan. Selain matang dalam ilmu, ia juga bijaksana dalam pengalaman. Dengan memadukan keduanya, lahirlah seni olah logika dan rasa, perpaduan yang melahirkan pertimbangan yang matang dan pasti baik. Dengan cara yang sama, begitulah kita sepatutnya mencari kehendak Allah.

Renungan

Kehidupan kita penuh dengan momen-momen di mana kita harus membuat keputusan penting. Contoh dari Gamaliel mengajarkan kita untuk tidak terburu-buru dalam bertindak, terutama saat kita dihadapkan pada situasi yang penuh emosi dan tekanan. Dengan memadukan logika dan rasa, kita dapat mencapai keputusan yang bijaksana dan sesuai dengan kehendak Tuhan. Semoga kita selalu diberikan kebijaksanaan dan ketenangan hati dalam mengambil setiap keputusan, serta selalu mencari petunjuk dari Tuhan dalam setiap langkah kita.

Doa

Ya Tuhan, ajarilah kami untuk selalu menggabungkan logika dan rasa dalam setiap pertimbangan yang kami buat. Berikanlah kami kebijaksanaan seperti yang Engkau anugerahkan kepada Gamaliel, agar kami dapat membuat keputusan yang bijaksana dan sesuai dengan kehendak-Mu. Semoga kami selalu diberkati dengan ketenangan hati dan pikiran yang jernih dalam menghadapi setiap tantangan hidup. Dalam nama Yesus Kristus, kami berdoa. Amin.

Share:

Categories

Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.