Gereja Kristen Kalam Kudus Tepas Kesamben Blitar

Dunia yang Dipimpin oleh Si Jahat

Setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, dunia ini dikuasai oleh si jahat, sebagaimana disebutkan dalam 1 Yohanes 5:19, "Kita tahu bahwa kita berasal dari Allah dan seluruh dunia berada di bawah kuasa si jahat." Dalam Efesus 2:1-2, Paulus menegaskan bahwa semua orang berdosa menaati penguasa kerajaan angkasa, roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka.

Sejak awal sejarah manusia, kejahatan sudah merajalela. Kain membunuh Habel, dan dunia menjadi begitu jahat sehingga Allah menurunkan air bah untuk menghukum manusia. Dalam nas bacaan kita hari ini, Nimrod, seorang keturunan Ham, tampil sebagai sosok yang berkuasa dan mendirikan kerajaan-kerajaan besar seperti Babel, Erekh, dan Akad di tanah Sinear, serta Niniwe, Rehobot-Ir, Kalah, dan Resen (Kejadian 10:6-12). Nimrod digambarkan sebagai "pemburu yang gagah perkasa di hadapan Tuhan" (Kejadian 10:9), tetapi kekuasaannya mencerminkan penentangan terhadap Allah, sebagaimana terlihat dalam peristiwa menara Babel (Kejadian 11:1-9).

Setelah kejatuhan manusia, Allah membuat permusuhan antara keturunan ular (keturunan orang tidak percaya, keturunan Kain) dengan keturunan perempuan (keturunan orang percaya, keturunan Set) (Kejadian 3:15). Keturunan yang dimaksudkan adalah keturunan rohani, bukan fisik, karena secara fisik semua manusia adalah keturunan Adam dan Hawa, dan setelah air bah, semua manusia adalah keturunan Nuh, yang menjadi 70 bangsa. Angka 70 melambangkan kepenuhan, menekankan bahwa seluruh umat manusia adalah keturunan Nuh.

Kita mungkin berpikir bahwa tidak ada lagi keturunan ular setelah keturunan Kain musnah. Namun, Alkitab menunjukkan bahwa keturunan Ham adalah keturunan ular. Hal ini terlihat dari kutukan terhadap ular, Kain, dan Kanaan karena dosa Ham (Kejadian 3:14, 4:11, 9:25). Nimrod, sebagai keturunan Ham, mendirikan kerajaan-kerajaan besar yang menentang Allah, dan dalam peristiwa menara Babel, semua orang dipimpin untuk menentang Allah.

Setelah menipu Adam dan Hawa, Iblis memegang kuasa atas dunia ini. Meski Iblis berada di bawah kendali Allah, ia tetap memegang pengaruh besar di dunia, sehingga dunia penuh dengan ketidakadilan dan kejahatan serta perlawanan terhadap orang benar. Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk melakukan apa yang diperkenan oleh Allah dengan dipimpin oleh Roh Kudus, karena musuh kita adalah penguasa kerajaan angkasa.

Peperangan Rohani dan Ketaatan pada Roh Kudus

Sebagai orang percaya, kita hidup di tengah dunia yang dikuasai oleh si jahat. Oleh karena itu, kita harus selalu siap untuk menghadapi peperangan rohani setiap hari. Kita harus berdoa kepada Bapa dan bersandar pada Roh Kudus untuk mendapatkan kekuatan dan hikmat dalam menghadapi tantangan yang ada. Dalam Efesus 6:10-18, Paulus memberikan panduan tentang perlengkapan rohani yang harus kita kenakan untuk melawan tipu muslihat Iblis.

Peperangan rohani ini bukanlah peperangan fisik, melainkan peperangan melawan penguasa-penguasa, penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, dan roh-roh jahat di udara. Kita harus menguatkan diri dengan kebenaran, keadilan, iman, keselamatan, firman Allah, dan doa. Hanya dengan bersandar sepenuhnya pada Allah dan memohon pertolongan-Nya, kita dapat bertahan dalam menghadapi serangan-serangan si jahat.

Doa dan Ketergantungan pada Allah

Dalam kehidupan sehari-hari, marilah kita selalu berdoa kepada Bapa dan memohon bimbingan Roh Kudus. Dengan bersandar pada Allah, kita dapat menghadapi setiap tantangan dengan keberanian dan hikmat yang datang dari-Nya. Janganlah kita berjuang dengan kekuatan kita sendiri, tetapi mari kita serahkan segala kekhawatiran dan ketakutan kita kepada Tuhan. Dengan demikian, kita dapat menjadi saksi yang setia dalam dunia yang penuh dengan kejahatan ini, membawa terang Injil kepada setiap orang yang kita temui.

Semoga kita selalu siap dalam peperangan rohani ini, mengenakan seluruh perlengkapan Allah, dan dengan demikian menjadi alat yang efektif dalam tangan-Nya untuk menyebarkan kasih dan kebenaran-Nya di dunia yang gelap ini.

Share:

Pujian Untuk Ibadah Minggu 9 Juni 2024

 


Share:

Tiga Prinsip Penginjilan

Filipus adalah seorang penginjil yang sangat dihormati dan dikenal karena keberhasilannya dalam mempertobatkan banyak orang di kota Samaria. Namun, Allah tidak selalu menugaskan Filipus untuk pekerjaan besar. Allah juga memanggil Filipus untuk pekerjaan yang tampaknya lebih kecil, seperti ketika Ia mengutusnya untuk bertemu dengan seorang sida-sida dari Etiopia di jalan yang sunyi. Dari perikop ini, kita bisa mengambil beberapa pelajaran penting.

1. Kesiapan untuk Diutus Ke Mana Saja

Filipus menunjukkan kesiapannya untuk diutus ke mana saja oleh Allah. Setelah menyelesaikan pekerjaannya di Samaria, Allah langsung mengutusnya untuk menginjili seorang sida-sida dari Etiopia. Setelah sida-sida tersebut percaya dan dibaptis, Filipus kemudian dituntun ke kota Asdod untuk memberitakan Injil lagi (Kisah Para Rasul 8:40). Kesediaan Filipus untuk taat pada panggilan Allah tanpa memandang tempat atau keadaan menunjukkan ketulusan dan dedikasi dalam pelayanannya.

2. Allah yang Menuntun Pemberitaan Injil

Keberhasilan penginjilan Filipus bergantung sepenuhnya pada kehendak Allah. Dalam perikop ini, kita melihat bahwa sida-sida yang bertobat dan dibaptis tampaknya sudah disediakan oleh Allah untuk diinjili oleh Filipus. Allah memimpin setiap langkah Filipus, memastikan bahwa pekerjaannya berbuah hasil. Ini mengingatkan kita bahwa dalam pelayanan pekabaran Injil, Allah adalah yang memimpin dan menentukan keberhasilan, bukan usaha manusia semata.

3. Tidak Ada Jiwa yang Lebih Tinggi Prioritasnya

Allah mengajarkan bahwa setiap jiwa berharga, tidak peduli seberapa besar atau kecil tugas itu terlihat. Filipus yang telah berhasil mempertobatkan kota Samaria kemudian diutus untuk melayani hanya satu orang saja. Ini menunjukkan bahwa dalam pelayanan pekabaran Injil, satu jiwa pun sangat berharga di hadapan Allah. Semua orang, tanpa memandang status sosial atau latar belakang, memiliki hak untuk mendengar Injil.

Implementasi Prinsip-Prinsip Ini dalam Kehidupan Kita

Ketiga prinsip di atas dapat kita implementasikan dalam kehidupan kita sehari-hari:

1. Siap Diutus Ke Mana Saja: Sebagai pemberita Injil, kita harus siap diutus ke mana saja oleh Allah, tanpa memandang tempat atau kondisi. Kesediaan untuk taat pada panggilan Allah adalah kunci dalam pelayanan kita.

2. Mengakui Kedaulatan Allah: Tidak ada ruang bagi kesombongan jika kita berhasil dalam pekabaran Injil. Keberhasilan kita murni karena Allah yang menjadikannya berhasil. Oleh karena itu, kita harus selalu rendah hati dan mengakui kedaulatan Allah dalam setiap aspek pelayanan kita.

3. Menghargai Setiap Jiwa: Kita tidak boleh membeda-bedakan orang dalam aktivitas pekabaran Injil. Setiap orang, tanpa memandang status sosial atau latar belakang, berhak mendengar Injil. Kita harus memastikan bahwa pesan keselamatan ini sampai kepada semua orang, baik kaya maupun miskin, penting maupun sederhana, baik maupun jahat.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, kita dapat menjalani pelayanan pekabaran Injil dengan lebih efektif dan sesuai dengan kehendak Allah. Filipus menjadi teladan bagi kita tentang bagaimana seharusnya kita menjalani panggilan kita sebagai pemberita Injil, dengan kesediaan, kerendahan hati, dan kasih yang tulus bagi setiap jiwa.

Share:

Semangat Tak Terpadamkan dalam Penyebaran Injil


Kita sering mendengar bahwa penyebaran Injil mengalami stagnansi dalam kenyamanan, sementara penganiayaan justru memicu pertumbuhan yang luar biasa. Ungkapan "makin dibabat makin merambat" dengan tepat menggambarkan fenomena ini.

Penganiayaan Awal dan Penyebaran Injil

Ketika Stefanus mati sebagai martir, jemaat berada dalam suasana duka yang mendalam (Kisah Para Rasul 8:2). Namun, penganiayaan hebat yang dimulai oleh Saulus (Kisah Para Rasul 8:1b) menjadi titik balik bagi penyebaran Injil. Saulus menyeret orang-orang Kristen dari rumah ke rumah untuk dimasukkan ke dalam penjara (Kisah Para Rasul 8:3). Namun, tindakan keras ini tidak menghentikan semangat jemaat; sebaliknya, mereka menyebar ke berbagai tempat sambil memberitakan Injil (Kisah Para Rasul 8:4).

Tantangan dan Mukjizat dalam Pekabaran Injil

Dalam perjalanan pekabaran Injil, jemaat menghadapi berbagai tantangan, termasuk bertemu dengan orang yang mengaku sebagai kuasa Allah (Kisah Para Rasul 8:9-11). Namun, Allah menyertai mereka dengan tanda dan mukjizat yang nyata, sehingga pesan Injil tersebar secara efektif (Kisah Para Rasul 8:12-13). Ketika rasul-rasul mendengar tentang pertobatan di Samaria, mereka segera mengutus Petrus dan Yohanes untuk melengkapi pelayanan Filipus (Kisah Para Rasul 8:14).

Penyertaan Allah dalam Penyebaran Injil

Allah dengan jelas menyertai pekabaran Injil-Nya. Penderitaan yang berat, bahkan kematian para murid, tidak pernah dapat menghentikan kuasa Injil. Dari zaman para rasul hingga sekarang, Injil telah tersebar ke seluruh dunia, mengubah peradaban, dan menyelamatkan jutaan jiwa.

Yesus Kristus memberikan amanat agung sebelum naik ke surga, memerintahkan untuk memberitakan Injil kepada segala makhluk (Matius 28:19-20). Bersamaan dengan perintah itu, Yesus juga memberi janji penyertaan dan kuasa-Nya sampai akhir zaman.

Dahulu, para rasul dan bapa gereja berkobar-kobar dalam memberitakan Injil meskipun nyawa mereka adalah taruhannya. Kini, kita hidup di era yang berbeda, tetapi tantangan dalam memberitakan Injil tetap ada. Era postmodern membawa berbagai tantangan baru, seperti relativisme kebenaran dan materialisme yang dapat menghalangi penyebaran Injil. Namun, semangat para rasul menjadi teladan bagi kita untuk tetap bersemangat dalam menjalankan amanat agung ini.

Meskipun kita mungkin tidak menghadapi penganiayaan fisik yang sama seperti para rasul, tantangan dan hambatan yang kita hadapi tetap nyata. Namun, dengan keyakinan bahwa Allah menyertai dan memberikan kuasa-Nya, kita dapat terus memberitakan Injil dengan semangat yang berkobar-kobar, seperti halnya para rasul dan bapa gereja dulu.

Penganiayaan tidak menghentikan penyebaran Injil, tetapi justru memicunya untuk semakin meluas. Dengan keyakinan dan semangat yang sama, kita harus terus berkomitmen untuk memberitakan Injil, terlepas dari tantangan yang kita hadapi. Ingatlah bahwa dalam segala situasi, Allah menyertai kita dan memberikan kuasa-Nya untuk menjalankan amanat agung-Nya.

Share:

 Lagu Ibadah Minggu 26 Mei 2024

Share:

Rahasia Tuhan

“TUHAN bergaul karib dengan orang yang takut akan Dia” (NKJV menerjemahkannya: Rahasia Tuhan diberitahukan-Nya kepada mereka yang takut akan Dia). (Mazmur 25:14)

Seorang sahabat sejati tidak hanya berbagi dukacita, tetapi lebih dari itu, mereka berbagi rahasia sukacita mereka. Ini adalah tanda keakraban dan kedalaman hubungan yang melebihi sekadar berbagi kesedihan. Ketika seseorang memilih untuk berbagi kebahagiaan dan sukacita terdalam mereka dengan kita, itu menunjukkan tingkat kepercayaan dan keintiman yang tinggi. Mereka tidak hanya melihat kita sebagai tempat untuk meluapkan keluh kesah, tetapi sebagai bagian dari kebahagiaan mereka.

 Hubungan dengan Allah

Sama halnya dengan hubungan kita dengan sahabat, hubungan kita dengan Allah juga diharapkan memiliki tingkat keakraban dan kedalaman yang serupa. Pada awal perjalanan iman kita, mungkin kita lebih sering datang kepada Allah dengan berbagai permohonan dan keluhan. Namun, seiring dengan pertumbuhan rohani, kita diajak untuk semakin mengenal kehendak Allah dan hidup dalam keintiman dengan-Nya.

1. Mendengarkan Sukacita Allah:

Kita sering sibuk menceritakan rahasia kita kepada Allah, tetapi pernahkah kita memberi ruang bagi Allah untuk berbagi sukacita-Nya dengan kita? Seperti halnya sahabat sejati yang berbagi sukacita, Allah juga ingin kita mengenal sukacita-Nya. Dalam Mazmur 25:12, dikatakan, "Kepadanya Tuhan menunjukkan jalan yang harus dipilihnya." Hal ini menunjukkan bahwa Allah ingin kita tahu dan mengikuti kehendak-Nya.

2. Menjalin Hubungan Akrab:

Hubungan yang akrab dengan Allah tercermin dalam doa yang menyatu dengan kehendak-Nya, seperti yang diajarkan Yesus dalam Matius 6:10, "Jadilah kehendak-Mu." Ketika kita semakin dekat dengan Allah, kita belajar untuk mengenali suara-Nya dan memahami kehendak-Nya tanpa harus terus-menerus bertanya. Kita menjadi begitu erat dipersatukan dengan Allah sehingga mengikuti kehendak-Nya menjadi sesuatu yang alami bagi kita.

3. Petunjuk dalam Pilihan Sehari-hari:

Ketika kita sudah diselamatkan dan dikuduskan, Allah membimbing kita melalui setiap pilihan yang kita buat. Allah sering memberi kita keragu-raguan atau dorongan hati sebagai petunjuk. Bila kita merasakan keraguan, kita diajak untuk berhenti sejenak dan mempertimbangkan kembali langkah kita. Ini adalah cara Allah menunjukkan jalan-Nya kepada kita. 

4. Mengandalkan Akal Sehat yang Dituntun oleh Allah:

Allah menuntun kita melalui akal sehat yang telah dipenuhi oleh Roh Kudus. Ketika kita hidup dekat dengan Allah dan menyerahkan diri kepada ajaran dan tuntunan-Nya, kita akan semakin jarang merintangi Roh-Nya dengan keraguan yang berulang-ulang. Kita akan lebih intuitif dalam merasakan kehendak Allah dalam setiap langkah kehidupan kita.

Menjadi sahabat sejati berarti berbagi sukacita, bukan hanya dukacita. Demikian pula, menjadi dekat dengan Allah berarti mendengarkan dan memahami sukacita serta kehendak-Nya, bukan hanya menyampaikan permohonan kita. Dalam perjalanan iman kita, mari kita berusaha untuk hidup dalam keintiman dengan Allah, sehingga kita dapat mengenali dan mengikuti kehendak-Nya dengan penuh sukacita dan ketulusan hati.

Share:

Kebenaran yang Tertolak

Kebenaran yang Tertolak: Refleksi dari Stefanus dan Gereja Masa Kini

David Wells dalam bukunya *No Place for Truth* menyoroti bagaimana gereja postmodern menolak kebenaran Kristen alkitabiah. Namun, penolakan terhadap kebenaran bukanlah fenomena baru. Sejak masa pembentukan umat Allah, kebenaran telah sering kali diabaikan dan ditolak. Stefanus mengingatkan kita tentang sejarah ini dalam pembelaannya di hadapan Mahkamah Agama.

Penolakan Kebenaran dalam Sejarah Israel

Sejarah Alkitab mencatat berbagai peristiwa yang mencerminkan penolakan terhadap kebenaran. Musa, yang dipilih oleh Allah untuk memimpin Israel keluar dari perbudakan di Mesir, ditolak oleh bangsanya sendiri (Kisah Para Rasul 7:35, 39). Setelah bebas dari Mesir, umat Israel bahkan membuat dan menyembah patung anak lembu emas (Kisah Para Rasul 7:40-43), sebuah tindakan yang jelas-jelas merupakan pemberontakan terhadap Allah yang telah menyelamatkan mereka.

Penolakan Kebenaran oleh Pemuka Agama

Penolakan terhadap kebenaran tidak berhenti di masa Musa. Dalam zaman Yesus dan para rasul, penolakan ini terus berlanjut. Para pemuka agama Yahudi yang seharusnya mengenali dan menerima Mesias malah menolak dan akhirnya membunuh Yesus Kristus. Stefanus menegur keras para pemuka agama yang menghakiminya dengan menyebut mereka sebagai orang-orang yang keras kepala, keras hati, tuli, dan menentang Roh Kudus (Kisah Para Rasul 7:51). Mereka termasuk dalam barisan panjang orang-orang yang menghalangi kebenaran, hingga akhirnya membunuh Stefanus karena keberanian dan kebenaran yang dia nyatakan (Kisah Para Rasul 7:54-60).

Gereja sebagai Tempat Penolakan Kebenaran

Ironisnya, gereja yang seharusnya menjadi tempat kebenaran sering kali justru menjadi tempat di mana kebenaran ditolak. Hal ini masuk akal mengingat bahwa Israel, umat pilihan Allah, pun menolak kebenaran. Dalam konteks modern, banyak gereja yang lebih menyerupai dunia daripada komunitas orang percaya yang berpegang teguh pada kebenaran Firman Tuhan. Orang-orang datang ke gereja bukan untuk mencari kebenaran, tetapi untuk mencari hiburan dan kenyamanan.

Kebenaran yang Tak Terhalangi

Meskipun kebenaran selalu dihalang-halangi, kebenaran tidak akan pernah mati. Kebenaran selalu menemukan tempat untuk bertumbuh. Ini adalah jaminan yang kita miliki dalam Tuhan. Kita melihat dalam sejarah bahwa walaupun Musa ditolak dan Yesus dibunuh, kebenaran Allah tetap bertahan dan berkembang.

Refleksi untuk Hidup Kita

Kita harus selalu introspeksi dan bertanya pada diri sendiri, apakah kita menjadi penghalang kebenaran atau menjadi tempat bagi kebenaran untuk bertumbuh subur. Kita harus mewaspadai cara hidup kita agar tidak menjadi seperti para pemuka agama yang menghalangi kebenaran dan menolak Roh Kudus. Sebaliknya, marilah kita membuka hati kita untuk menerima dan menjalankan kebenaran dalam kehidupan kita sehari-hari.

Kebenaran memang sering ditolak, baik dalam sejarah Israel maupun dalam konteks gereja modern. Namun, kita dipanggil untuk menjadi pembawa kebenaran, memastikan bahwa kebenaran Firman Tuhan dapat bertumbuh subur dalam hidup kita dan dalam komunitas gereja. Dengan demikian, kita ikut berpartisipasi dalam rencana besar Allah yang selalu memelihara kebenaran-Nya di tengah dunia yang sering kali menolaknya.

Doa:

Ya Tuhan, kami bersyukur karena Engkau adalah Allah yang selalu menjaga dan memelihara kebenaran-Mu. Tolong kami untuk selalu membuka hati dan pikiran kami kepada kebenaran Firman-Mu. Jadikanlah kami alat-alat-Mu yang setia dalam menyatakan kebenaran di tengah dunia ini. Lindungi kami dari godaan untuk menghalangi kebenaran dan berikan kami keberanian untuk selalu hidup dalam kebenaran-Mu. Dalam nama Yesus Kristus, kami berdoa. Amin.

Share:

Intervensi Allah dalam Sejarah Manusia

Allah yang Berintervensi dalam Sejarah: Pelajaran dari Pembelaan Stefanus

Allah yang kita percaya ialah Allah yang berintervensi dalam sejarah. Dia bukan Allah menurut deisme, yang menciptakan lalu meninggalkan ciptaan-Nya.

Stefanus sangat memahami konsep ini. Oleh karena itu, ketika dia dituduh bahwa dia menghujat Musa dan Allah, Stefanus tetap tenang. Ditambah lagi, dalam pembelaan dirinya yang cukup panjang itu, Stefanus malah menceritakan kembali pekerjaan Allah dari Abraham sampai Musa. Ini adalah suatu pembelaan diri yang tidak lazim di tengah tuduhan penistaan agama.

Akan tetapi, dalam ketidaklaziman ini, kita dapat melihat satu benang merah.

Benang merahnya adalah kovenan Allah selalu menemui persoalan. Seolah-olah kovenan atau perjanjian tersebut akan batal, tetapi Allah senantiasa menuntun dan memberikan jalan keluar, sehingga apa yang telah direncanakan--sekalipun selalu menemui kesulitan--tidak pernah gagal, karena Allah memelihara kovenan-Nya. 

Abraham diberi janji akan tanah dan keturunan, tetapi ia tidak memiliki anak sampai usia tua (Kisah Para Rasul 7:5); keturunan Abraham malah menjadi pendatang di negeri asing dan dianiaya (Kisah Para Rasul 7:6); Yusuf dijual oleh saudara-saudaranya (Kisah Para Rasul 7:9); Musa ditolak oleh orang Israel sendiri (Kisah Para Rasul 7:27). Semuanya tampak seperti masalah yang begitu besar. Akan tetapi, pada akhirnya Tuhan selalu membuktikan kovenan-Nya (Kisah Para Rasul 7:7-8, 10).

Stefanus juga menghadapi masalah yang serupa. Ada kemungkinan besar bahwa ia akan dihukum mati. Namun, dia percaya pada janji Tuhan bahwa Tuhan akan menyertainya senantiasa sampai kepada akhir zaman (Matius 28:20). Stefanus mengenal secara utuh Allah yang berintervensi dalam sejarah. Oleh karena itulah, dia menceritakan bagaimana Allah telah memelihara kovenan-Nya sejak zaman Abraham hingga Musa.

Konsep tentang Allah yang berintervensi dalam sejarah memberi kita pengharapan. Dalam dunia yang penuh tragedi, kita akan mudah dibuat berputus asa dan menyerah. Namun, percayalah kepada-Nya yang selalu berintervensi dan memberikan jalan keluar, Ia memberi kita kekuatan dalam menjalani kehidupan ini. Kepercayaan ini tidak hanya menguatkan kita dalam menghadapi cobaan, tetapi juga mengingatkan kita akan kesetiaan Tuhan yang tidak pernah meninggalkan umat-Nya.

Renungan:

1. Allah yang Setia: Allah tidak pernah meninggalkan umat-Nya. Seperti yang ditunjukkan dalam sejarah, dari Abraham hingga Musa, Allah selalu hadir dan setia dalam menuntun dan memelihara kovenan-Nya. Ini memberikan kita jaminan bahwa Tuhan juga setia dalam hidup kita.

2. Pembelaan yang Bijak: Stefanus memberikan teladan bagaimana cara bijak dalam menghadapi tuduhan dan cobaan. Dengan tetap tenang dan menceritakan kembali kebaikan Tuhan, Stefanus menunjukkan imannya yang kokoh dan keyakinannya akan intervensi Tuhan.

3. Pengharapan dalam Kesulitan: Menghadapi tantangan dan kesulitan hidup sering kali membuat kita putus asa. Namun, dengan memahami bahwa Tuhan berintervensi dalam sejarah dan dalam hidup kita, kita dapat menemukan pengharapan dan kekuatan untuk terus maju.

Doa:

Ya Tuhan, kami bersyukur atas kesetiaan-Mu yang tidak pernah berakhir. Terima kasih karena Engkau selalu hadir dalam setiap aspek kehidupan kami, bahkan di tengah kesulitan dan penderitaan. Tolonglah kami untuk selalu percaya dan berharap kepada-Mu, sama seperti Stefanus. Berikanlah kami kekuatan dan keberanian untuk menghadapi setiap tantangan hidup dengan iman yang teguh. Dalam nama Yesus Kristus, kami berdoa. Amin.


Share:

Renungan dari Kehidupan Yusuf

KEJADIAN 50:22-26
Yusuf masih dapat melihat anak cucu Efraim sampai keturunan yang ketiga; juga anak-anak Makhir, anak Manasye, lahir di pangkuan Yusuf. (Kejadian 50:23)

Saya senang membaca biografi para tokoh, terutama cara mereka menjalani hidup, juga seputar akhir hidup mereka. Mencermati hal itu membuat saya selalu bisa mengambil hikmah, terinspirasi, dan terdorong untuk menjalani hidup dengan lebih baik. Hari ini kita membaca lima ayat yang menjadi akhir kisah kehidupan Yusuf, yang sejak masa mudanya terbilang penuh drama itu. Minimal ada dua poin yang bisa kita renungkan dari kebenaran firman Tuhan ini.

Pertama, Yusuf hidup sampai umur 110 tahun dan sempat melihat keturunan dari Manasye dan Efraim, bahkan sampai keturunan ketiga (Kejadian 50:22-23). Kalau kita ingat masa muda Yusuf, mungkin orang akan berpikir hidup Yusuf akan berakhir lebih cepat. Yusuf menghadapi berbagai kesulitan dan pengkhianatan sejak masa mudanya: ia dibuang ke sumur oleh saudara-saudaranya, dijual sebagai budak, difitnah oleh istri Potifar, dan dipenjara. Namun, campur tangan Allah dalam kehidupan Yusuf membuat kisah hidup anak Yakub itu berbeda. Melalui semua cobaan itu, Yusuf tetap beriman dan setia kepada Allah, yang akhirnya mengangkatnya menjadi penguasa di Mesir, kedua setelah Firaun.

Kedua, Yusuf mengingatkan saudara-saudaranya agar tetap berharap pada Allah, yang disembah oleh Abraham, Ishak, dan Yakub. Dua kali Yusuf berkata, "Allah pasti akan memperhatikan kamu" (Kejadian 50:24-25), yang terdengar seperti nasihat agar mereka tetap berpaut kepada Allah karena perhatian Allah akan tetap tertuju kepada umat-Nya. Ini menunjukkan bahwa di akhir hidupnya, Yusuf tetap teguh dalam imannya dan berusaha menanamkan iman yang sama kepada generasi penerusnya. Yusuf mengingatkan saudara-saudaranya akan janji Allah untuk membawa mereka kembali ke Tanah Perjanjian, sebagai penggenapan janji-Nya kepada Abraham, Ishak, dan Yakub.

Renungan:

Saat ini kita mungkin merasa nyaris tak ada masa depan karena pergumulan hidup yang berat. Atau kita mungkin merasa Allah mengabaikan kita. Namun, nas renungan hari ini mengingatkan kita akan kasih setia Allah dalam kehidupan umat-Nya. Yusuf adalah bukti hidup bahwa Allah tidak pernah meninggalkan umat-Nya, bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun. 

Percayalah bahwa Allah yang bekerja dalam kehidupan Yusuf, saat ini Ia juga sedang memperhatikan hidup kita, siap menolong, bahkan mengubahkan kehidupan kita. Sama seperti Allah memperhatikan Yusuf, Allah juga memperhatikan kita. Ia setia dan tidak pernah meninggalkan kita. Oleh karena itu, kita diajak untuk tetap berpegang pada iman dan harapan kita kepada Allah, yakin bahwa kasih dan perhatian-Nya akan selalu ada bagi kita.

Doa:

Ya Tuhan, kami bersyukur atas kasih setia-Mu yang tidak pernah berakhir. Terima kasih untuk contoh iman Yusuf, yang mengingatkan kami bahwa Engkau selalu hadir dalam setiap aspek kehidupan kami, bahkan di tengah kesulitan dan penderitaan. Tolonglah kami untuk selalu percaya dan berharap kepada-Mu, sama seperti Yusuf. Berikanlah kami kekuatan dan keberanian untuk menghadapi setiap tantangan hidup dengan iman yang teguh. Dalam nama Yesus Kristus, kami berdoa. Amin.

Share:

Categories

Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.