Gereja Kristen Kalam Kudus Tepas Kesamben Blitar

Menyogok Tuhan

Tidak sedikit orang yang berpikir bahwa dengan rajin mengikuti ibadah dan melayani setiap hari Minggu, hidup mereka akan menjadi lancar. Tidak jarang hal ini dimanfaatkan oleh pemimpin gereja yang korup dengan berjanji bahwa jika jemaatnya setia memberi persembahan, ada berkat berlimpah yang menanti mereka.

Apakah memang seperti itu Tuhan yang kita sembah? Pastilah tidak! Jika itu yang para pemimpin agama dan umat Tuhan pikirkan, sang pemazmur menentangnya dengan keras.

Tuhan bukanlah Allah yang haus dan lapar akan pujian, penyembahan, dan persembahan dari umat-Nya. Maka, adalah sebuah kebodohan jika umat-Nya berpikir seperti itu (Mazmur 50:8-9). Tuhan adalah Allah pemilik alam semesta; dunia serta segala isinya adalah kepunyaan-Nya. Jika Ia menginginkan sesuatu, Ia tidak perlu meminta manusia untuk mempersembahkannya kepada-Nya (Mazmur 50:10-12).

Tuhan memerintahkan umat untuk mempersembahkan kurban bakaran, tetapi semua itu bukanlah untuk memuaskan diri-Nya. Sejatinya, kurban bakaran merupakan tanda perjanjian yang membedakan umat-Nya dengan bangsa-bangsa lainnya. Pemberian kurban menandakan relasi yang dekat antara Tuhan dengan umat-Nya (Mazmur 50:5, 14-15).

Namun, Tuhan tak mau umat-Nya terus menjalankan ibadah tetapi hidup dalam kefasikan. Allah yang mengasihi juga adalah Allah yang mau beperkara dengan umat-Nya yang memilih jalan kefasikan (Mazmur 50:7, 16-22). Allah rindu supaya umat-Nya memuliakan Dia dengan kurban yang diberikan sebagai ucapan syukur, bukan sebagai sogokan. Kurban tidak dapat membeli keselamatan, tetapi bagi orang yang mau hidup benar, Tuhan akan membukakan jalan keselamatan kepadanya.

Janganlah berpikir bahwa kita bisa menyogok Tuhan. Sebaik dan sehebat apa pun, pelayanan kita tidak akan bisa membeli hati Tuhan. Itu karena sesungguhnya Ia sudah terlebih dahulu melayani dan mengurbankan diri-Nya bagi kita. Maka, sebagai umat yang dikasihi, mari kita belajar hidup sesuai dengan kerinduan-Nya, yakni dengan ucapan syukur yang tulus dan cara hidup yang benar.

Penyembahan yang sejati bukanlah soal memberi persembahan atau melayani dengan harapan mendapatkan imbalan, melainkan soal hati yang bersyukur dan hidup yang selaras dengan kehendak Tuhan. Tuhan mencari hati yang murni, bukan formalitas ritual semata. Melalui kehidupan yang berintegritas dan penuh kasih, kita memuliakan Tuhan dan menyatakan iman kita yang sejati.

Share:

Akhir yang Mana?

Pemazmur memberikan perspektif yang menenangkan ketika kita merasa iri atau kecewa melihat orang-orang yang hidup tidak benar justru menikmati kekayaan dan kenyamanan. Meskipun tampaknya mereka hidup tanpa masalah, pemazmur mengingatkan kita bahwa kekayaan dan kemuliaan duniawi tidak dapat membebaskan seseorang dari kenyataan yang tak terelakkan—kematian.

Meskipun kita yang berusaha hidup benar juga akan menghadapi kematian, pengharapan kita tidak berhenti di situ. Pemazmur menegaskan bahwa Allah akan membebaskan kita dari kematian, memberikan pengharapan yang melampaui kehidupan dunia ini. Pengharapan ini adalah kekuatan bagi kita untuk tetap hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, meskipun jalan hidup kita penuh tantangan dan kesulitan.

Kita diajak untuk melihat kehidupan ini dari perspektif kekekalan, di mana kebahagiaan dan kemegahan duniawi hanyalah sementara. Pengharapan yang kita miliki bukanlah pada apa yang fana, tetapi pada kehidupan kekal yang dijanjikan Allah. Ini memberi kita alasan kuat untuk terus hidup benar, bahkan ketika godaan untuk menyerah dan iri kepada orang lain begitu kuat.

Sebagai orang percaya, kita harus tetap teguh dalam iman kita, mengingat bahwa pengharapan kita jauh melampaui apa yang dunia ini bisa tawarkan. Kita juga dipanggil untuk mengingatkan orang-orang di sekitar kita agar tidak tergoda oleh kemewahan duniawi yang sementara, melainkan untuk mengejar kekayaan rohani yang kekal. Pada akhirnya, yang menentukan akhir hidup kita adalah kepada siapa kita menaruh kepercayaan kita—apakah pada hal-hal duniawi yang sementara atau pada Allah yang memberikan hidup kekal.

Share:

Tak Hanya Perkasa

Mazmur 48 menegaskan bahwa Allah yang kita sembah adalah Allah yang perkasa, yang melindungi dan menyelamatkan umat-Nya. Namun, kuasa Allah tidak hanya ditunjukkan melalui kemenangan dalam peperangan atau perlindungan dari musuh, tetapi juga melalui kasih setia dan keadilan-Nya. Mazmur ini memperingatkan kita untuk berhati-hati agar tidak terjerumus dalam rasa superioritas yang bisa muncul ketika menyadari keperkasaan Allah.

Allah tidak hanya melindungi umat-Nya dari serangan bangsa-bangsa lain, tetapi juga menuntut agar umat-Nya hidup dalam kebenaran dan keadilan. Dia adalah Allah yang adil dan penuh kasih setia, yang tidak hanya membela umat-Nya dari ketidakadilan, tetapi juga menegur umat-Nya jika mereka sendiri bersikap tidak adil.

Kita boleh merasa aman dan bangga karena Allah yang perkasa melindungi kita, tetapi kita juga harus ingat bahwa Dia mengharapkan kita untuk menjadi saluran kasih setia dan keadilan-Nya bagi orang-orang di sekitar kita. Allah ingin agar melalui kehidupan kita, orang lain dapat merasakan kasih setia dan keadilan-Nya yang nyata.

Dengan demikian, iman kita kepada Allah yang perkasa seharusnya tidak membuat kita merasa superior, tetapi justru mendorong kita untuk hidup dalam kerendahan hati, kasih, dan keadilan, mengikuti teladan Tuhan kita. Kita dipanggil untuk menghidupi karakter Allah yang penuh kasih setia dan adil, sehingga kehadiran-Nya dirasakan oleh semua orang yang kita temui.

Share:

Pujian Ibadah Minggu 25 Agustus

Share:

Umat dari Yang Maha Tinggi

Sebagai orang Kristen, kita memang sering merasa bangga karena menyembah Allah yang berkuasa atas segala sesuatu, yang adalah Raja di atas segala raja. Namun, kebanggaan ini bisa berbahaya jika membuat kita merasa superior dan memandang rendah orang lain yang tidak seiman. Penting untuk diingat bahwa meskipun Tuhan adalah Allah yang Maha Tinggi, Dia juga adalah Allah yang kudus dan adil.

Tuhan memilih Israel bukan karena mereka besar atau kuat, tetapi justru karena mereka kecil dan lemah (Ulangan 7:7-9). Pilihan ini didasari oleh belas kasihan Tuhan kepada Israel yang menderita di bawah penindasan di Mesir. Allah tidak berpihak pada ketidakadilan, bahkan jika itu dilakukan oleh umat-Nya sendiri. Dia adalah Allah yang adil, yang merendahkan bangsa-bangsa yang melakukan kejahatan dan ketidakadilan.

Sebagai umat-Nya, kita dipanggil untuk hidup dalam kekudusan dan keadilan. Jika kita mengaku sebagai umat Tuhan tetapi memperlakukan orang lain dengan tidak adil, kita tidak layak merayakan kemenangan Tuhan atas kefasikan. Allah yang adil mungkin tidak akan membela kita jika kita sendiri tidak hidup dalam keadilan.

Oleh karena itu, kita harus mengingat bahwa sebagai umat Tuhan, kita adalah penerima belas kasihan yang besar. Kebanggaan kita seharusnya bukan pada status kita, tetapi pada belas kasihan yang telah kita terima. Kita dipanggil untuk setia mendengarkan dan mempraktikkan firman Tuhan, hidup dalam kekudusan, dan siap untuk disempurnakan oleh-Nya. Dengan demikian, kita bisa benar-benar merayakan kemenangan Tuhan dengan hati yang murni dan sikap yang benar.

Share:

Di Mana Kita Dapat Berlindung?

Dalam hidup, tekanan dan tantangan sering kali datang dari berbagai arah—entah dari dunia luar yang penuh ketidakpastian, hubungan dengan orang-orang di sekitar kita, atau bahkan dari dalam diri kita sendiri, seperti ketakutan dan trauma. Di tengah semua ini, kita butuh tempat berlindung yang aman.

Pemazmur menggambarkan Allah sebagai tempat perlindungan yang kokoh dan tidak tergoyahkan (Mazmur 46:2). Ketika dia menghadapi ancaman nyata seperti pengepungan dan peperangan, dia juga telah merasakan kelepasan yang nyata dari Allah. Ini bukan sekadar konsep, tetapi pengalaman hidup yang dialaminya secara langsung.

Pemazmur menggunakan gambaran alam yang dahsyat—gempa bumi, letusan gunung api, dan badai di lautan—untuk menunjukkan bahwa bahkan kekuatan alam yang paling menakutkan pun tidak sebanding dengan keperkasaan Allah (Mazmur 46:3-4). Dia juga memandang ke masa depan dengan keyakinan bahwa Allah, pahlawan yang perkasa, akan menghentikan semua peperangan dan membawa kedamaian yang sempurna (Mazmur 46:9-10). Keyakinan ini memberikan rasa aman dan ketenangan, bahkan di tengah badai kehidupan.

Pengalaman pemazmur mengajarkan kita untuk tidak hanya melihat kepada masalah atau tekanan yang ada, tetapi juga kepada Allah yang lebih besar daripada segala sesuatu yang kita hadapi. Saat kita mengingat bagaimana Allah telah menolong kita di masa lalu, kita dapat menemukan ketenangan dan pengharapan untuk masa depan. Bahkan ketika tekanan semakin berat, kita dapat yakin bahwa Allah yang sama yang telah menyertai kita, akan terus melakukannya.

Dalam saat-saat paling gelap, penting untuk menjaga perspektif kita dan mengingat keperkasaan dan penyertaan Allah. Dengan begitu, kita tidak hanya dapat mengatasi ketakutan kita, tetapi juga membantu orang lain menemukan tempat berlindung yang sama di dalam Tuhan.

Share:

Komitmen Pemimpin

Mazmur ini menyoroti pentingnya komitmen seorang pemimpin, khususnya seorang raja, dalam menjalankan tugasnya dengan kebenaran, perikemanusiaan, dan keadilan. Dalam konteks acara pernikahan, sering kali kita mendengar karakter mempelai pria dan wanita diperkenalkan oleh orang-orang terdekat mereka. Demikian pula dalam Mazmur ini, pemazmur memperkenalkan sang raja sebagai mempelai pria yang diundang untuk memimpin dengan bijaksana dan adil, serta mengajak sang mempelai wanita untuk tunduk kepada suaminya yang akan menjadi raja.

Karakter dan Komitmen Raja: Pemazmur menggambarkan tidak hanya penampilan fisik dan gaya bicara sang raja, tetapi juga komitmennya dalam menegakkan kebenaran dan keadilan (Mazmur 45:3-6). Pemazmur menyadari bahwa raja diangkat bukan hanya untuk berkuasa, tetapi untuk mencintai keadilan dan kebenaran, serta untuk memimpin dengan hati yang peduli pada kesejahteraan umat (Mazmur 45:7-8). Pemimpin dalam Alkitab, termasuk raja-raja Israel, diharapkan untuk tidak hanya menjadi penguasa, tetapi juga hamba Allah yang menjalankan pemerintahan dengan adil dan benar, sebagaimana diatur dalam Ulangan 16:18-20.

Peran Permaisuri: Pemazmur juga memberikan arahan kepada permaisuri raja, mengajak dia untuk "melupakan bangsamu dan seisi rumah ayahmu" (Mazmur 45:11). Ini bukan sekadar anjuran untuk meninggalkan latar belakangnya, tetapi panggilan untuk mengutamakan kepentingan kerajaan dan umat Allah di atas kepentingan pribadi atau keluarga. Sebagai permaisuri, ia harus bersama-sama dengan raja berkomitmen untuk melayani Allah dan mengedepankan kebenaran serta keadilan dalam pemerintahan.

Kebenaran dan Keadilan dalam Alkitab: Kebenaran dan keadilan dalam Alkitab bukan hanya konsep teoretis tetapi diwujudkan dalam tindakan nyata, seperti menjauhi penyembahan berhala, tidak menindas orang lain, dan tidak mengambil keuntungan dari kesulitan sesama (Yehezkiel 18:5-9). Seorang pemimpin yang adil akan menghindari kecurangan dan setia menjalankan hukum dengan benar. Tindakan yang benar dan adil dari seorang pemimpin tidak hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi kesejahteraan orang banyak.

Pentingnya Kepemimpinan yang Adil: Sejarah Israel menunjukkan bahwa pemimpin yang baik harus mampu menjaga komitmennya terhadap Allah dan kebenaran, serta tidak terpengaruh oleh godaan atau kepentingan pribadi. Beberapa raja seperti Salomo, Ahab, atau Yoram terjatuh dalam dosa dan kezaliman karena terpengaruh oleh istri-istri mereka yang menjauhkan mereka dari Allah.

Doa untuk Pemimpin: Bacaan ini mengundang kita untuk mendoakan para pemimpin kita, termasuk presiden, agar mereka mampu memimpin dengan adil dan benar. Marilah kita berdoa agar mereka tidak tergoda oleh kepentingan sepihak, tetapi tetap berkomitmen untuk menyejahterakan rakyat dan menjunjung tinggi kebenaran serta keadilan. Kepemimpinan yang benar adalah refleksi dari kehendak Allah, dan kita semua bertanggung jawab untuk mendukung dan mendoakan para pemimpin kita agar mereka dapat menjalankan tugas mereka sebagai wakil Allah di bumi ini.

Share:

Ditinggalkan Allah?

Ditinggalkan oleh Allah adalah salah satu situasi paling menakutkan dan sulit dibayangkan. Bagi umat Allah, perasaan ini merupakan ujian iman yang mendalam, seperti yang diekspresikan dalam Mazmur ini.

Keadaan Umat Allah: Umat Allah merasa tak berdaya menghadapi musuh-musuh mereka, sehingga mereka diejek, disindir, dicela, dan dinista (Mazmur 44:10-17). Mereka merasa bahwa Allah telah melupakan mereka, tidak lagi menjaga dan melindungi mereka (Mazmur 44:23-25). Keadaan ini sangat berbeda dari masa-masa ketika Allah berada di pihak mereka, membawa kemenangan dan kemuliaan bagi umat-Nya (Mazmur 44:1-9). Dalam masa kejayaan itu, dengan tangan Allah dan dalam nama-Nya, umat bersukacita dan memuji dengan gembira.

Namun, kini mereka merasa ditinggalkan, terpuruk dalam kekalahan dan penindasan. Tetapi yang menarik, di tengah penderitaan ini, pemazmur tetap berharap dan memohon kepada Allah. Ia berkata, "Bersiaplah menolong kami, bebaskanlah kami karena kasih setia-Mu!" (Mazmur 44:27). Permohonan ini didasarkan pada kasih setia Allah, yang menjadi fondasi iman mereka.

Kasih Setia Allah: Kasih setia adalah istilah yang menggambarkan kesetiaan Allah dalam menggenapi janji-Nya. Allah telah mengikatkan diri-Nya dalam perjanjian bahwa Ia akan menjadi Allah bagi umat-Nya, dan mereka akan menjadi umat-Nya. Meskipun manusia sering kali ingkar janji, Allah tidak pernah mengingkari perjanjian-Nya. Ia setia, bukan hanya untuk menghukum dosa, tetapi juga untuk menyelamatkan umat-Nya.

Kesetiaan Allah ini tidak bergantung pada kesetiaan manusia. Bahkan dalam Perjanjian Baru, kita diingatkan bahwa tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Yesus Kristus. Penindasan, kesengsaraan, penganiayaan, kelaparan, ketelanjangan, bahaya, dan pedang adalah hal-hal yang mengerikan, tetapi semua itu tidak dapat menghalangi Allah dari menjadikan kita lebih dari pemenang (Roma 8:35-37). Ini bukan karena kekuatan atau usaha kita, melainkan karena kasih Allah yang setia.

Aplikasi dalam Hidup Kita: Dalam hidup ini, suka duka datang silih berganti. Tidak ada yang bisa memastikan bahwa hidup akan selalu berjalan dengan baik. Namun, satu hal yang pasti adalah Allah selalu ada bersama kita dalam setiap musim kehidupan. Kita mungkin merasa ditinggalkan atau terpuruk, tetapi kita harus ingat bahwa Allah tidak pernah benar-benar meninggalkan kita. Dalam momen-momen terburuk sekalipun, kita bisa memegang teguh janji-Nya. Ingatlah, Allah telah memberikan Anak-Nya yang tunggal bagi kita, sebagai bukti kasih-Nya yang tidak terbatas.

Jangan pernah merasa bahwa Allah telah meninggalkan Anda. Ketika kita merasa terpuruk dan ditinggalkan, mari kita ingat kasih setia Allah yang tidak pernah gagal. Dengan iman, kita bisa berpegang pada janji-Nya dan yakin bahwa Dia akan membawa kita melalui setiap tantangan hidup. Kita tidak pernah benar-benar sendiri, karena Allah yang penuh kasih setia selalu bersama kita.

Share:

Jujur di Hadapan Allah

Mazmur 42 dan 43 menggambarkan kondisi emosional yang sangat mendalam dari pemazmur yang mengalami tekanan batin. Pertanyaan yang diulang-ulang, "Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku?" (Mazmur 42:6a, 12a, 43:5a), menunjukkan betapa mendalamnya perasaan tertekan yang ia rasakan. Namun, pertanyaan ini bukanlah sekadar keluhan tanpa arah, melainkan sebuah refleksi dari jiwanya yang sedang mencari jawaban dan kekuatan di tengah pergumulan.

Penyebab Tekanan:

  1. Perasaan Ditinggalkan oleh Allah: Pemazmur merasakan kekosongan spiritual dan kehilangan keintiman dengan Tuhan. Ia tidak lagi merasakan kehadiran Tuhan seperti dulu. Pengalaman indah saat beribadah kepada Tuhan hanya tinggal kenangan yang semakin menambah rasa kesepiannya (Mazmur 42:2, 5). Keadaan ini membuat pemazmur merasa bahwa Tuhan telah meninggalkannya (Mazmur 42:10, 43:2).

  2. Cemoohan dari Lawan: Para musuhnya mengejeknya dengan pertanyaan sinis, "Di mana Allahmu?" (Mazmur 42:4, 11). Ejekan ini semakin memperdalam penderitaan pemazmur, yang sudah merasa ditinggalkan oleh Allah.

Meskipun berada dalam tekanan yang berat, pemazmur tetap berpegang pada imannya. Alih-alih mencari jawaban di luar dirinya, ia memilih untuk kembali kepada Allah. Tiga kali ia mengajukan pertanyaan kepada dirinya sendiri, tiga kali pula ia memberikan jawaban yang sama: "Berharaplah kepada Allah!" (Mazmur 42:6b, 12b, 43:5b). Ini mencerminkan keteguhan hati dan keyakinannya bahwa hanya di dalam Tuhanlah ia dapat menemukan pengharapan dan kekuatan.

Karakter Allah: Pemazmur mengenal Allah sebagai sosok yang penuh kasih setia (Mazmur 42:9), tempat perlindungan yang kokoh (Mazmur 42:10), tempat pengungsian (Mazmur 43:2), serta sumber sukacita dan kegembiraan (Mazmur 43:4). Ia percaya bahwa Allah akan menuntunnya kembali ke tempat kediaman-Nya, di mana ia dapat menikmati keintiman dengan-Nya (Mazmur 43:3-4).

Dalam kehidupan kita, berbagai masalah dan tekanan dapat membuat kita merasa stres, takut, atau bahkan tak berdaya. Namun, seperti pemazmur, kita diajak untuk tidak lari dari Tuhan, melainkan datang kepada-Nya dengan hati yang jujur dan terbuka. Kejujuran di hadapan Tuhan adalah langkah awal menuju pemulihan. Ketika kita mengakui kelemahan dan kerapuhan kita, Tuhan yang maha pengasih dan mahakuasa akan memberikan pertolongan-Nya.

Contoh dari tokoh-tokoh Alkitab seperti Musa yang merasa bebannya terlalu berat (Bilangan 11:14-15), Elia yang ketakutan menghadapi Izebel (1 Raja-raja 19:4), dan bahkan Yesus yang sangat sedih menjelang penyaliban (Matius 26:38), menunjukkan bahwa kejujuran di hadapan Allah adalah sikap yang benar. Allah memahami kerapuhan kita dan siap memberikan belas kasihan serta pertolongan-Nya.

Jangan takut untuk jujur kepada Tuhan tentang apa yang kita rasakan. Entah itu ketakutan, kesedihan, atau keraguan, Tuhan ingin kita datang kepada-Nya dengan hati yang terbuka. Dalam kejujuran itulah kita menemukan pengharapan yang sejati. Berharaplah kepada Allah, Penolong kita yang setia!

Share:

Categories

Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.