Gereja Kristen Kalam Kudus Tepas Kesamben Blitar

Firman Tuhan : "Syukur atas Ketahiran"

 

Imamat 14:1-32

  1. Pengorbanan untuk Ketahiran

    • Pada zaman Perjanjian Lama, seekor domba merupakan harta berharga, tetapi itu bukan harga yang terlalu besar jika harus dikorbankan untuk dinyatakan tahir.
  2. Kondisi Penderita Penyakit Kulit

    • Penderita penyakit kulit menular harus diasingkan tanpa kepastian apakah mereka akan sembuh.
    • Jika mereka sembuh, mereka harus diperiksa oleh imam untuk dinyatakan tahir (2-3).
  3. Ritual Penahiran sebagai Simbol Pemulihan

    • Darah yang tercurah melambangkan penghapusan dosa, dan burung yang dilepaskan melambangkan hilangnya kenajisan (5-7).
    • Mencuci pakaian dan tubuh menunjukkan kesucian yang diperbarui (8-9).
    • Persembahan tiga ekor domba dan tepung terbaik menandakan pendamaian dengan Allah (10-20).
  4. Pentingnya Bersyukur

    • Orang yang telah dipulihkan pasti merasakan syukur yang luar biasa.
    • Namun, sering kali manusia lupa mengucap syukur atas kebaikan Tuhan, seperti sembilan penderita kusta dalam Lukas 17:11-19.
  5. Kesimpulan

    • Bersyukur dalam segala hal, baik untuk kesembuhan jasmani maupun rohani.
    • Mengungkapkan rasa syukur melalui doa, pujian, kesaksian, persembahan, dan kepedulian terhadap sesama.
  6. Doa

    • Memohon kepada Tuhan agar selalu memiliki hati yang bersyukur dan hidup dalam rasa terima kasih atas anugerah-Nya.
Share:

Firman Tuhan : Asalkan Orang Lain Tidak Menderita

 

Imamat 13:29-59

Prinsip "mencegah lebih baik daripada mengobati" menjadi dasar aturan tentang penyakit kulit dalam perikop ini. Langkah-langkah pencegahan diterapkan agar penyakit tidak menyebar ke seluruh umat.

Setiap orang yang mengalami gejala seperti bercak putih yang lebih dalam dari kulit atau bengkak kemerahan harus segera memeriksakan diri kepada imam (29-30, 38-39, 42-44). Jika ditemukan tanda-tanda penyakit, meskipun belum pasti najis, orang tersebut tetap harus menjalani isolasi (31-37). Ini menunjukkan bahwa menjaga komunitas lebih penting daripada kenyamanan pribadi.

Selain itu, penderita harus menampilkan diri secara berbeda sebagai bentuk peringatan bagi orang lain. Mereka harus mengenakan pakaian koyak, membiarkan rambut terurai, dan menutupi sebagian wajah sambil berseru, "Najis, najis!" (45). Aturan ini bukanlah bentuk ketidakpedulian, melainkan tindakan perlindungan agar orang lain tidak ikut terkena dampaknya.

Pencegahan ini juga diterapkan pada benda-benda yang berpotensi menyebarkan penyakit. Pakaian yang pernah dikenakan oleh penderita harus diisolasi (50), dan jika ditemukan tanda penyakit, pakaian tersebut harus dicuci (54, 58) atau dibakar (52, 55, 57). Meskipun pakaian itu berharga, kehilangan sesuatu yang bernilai lebih baik daripada membahayakan seluruh umat.

Aturan ini mengajarkan prinsip penting dalam kehidupan bersama: terkadang, kita perlu mengorbankan sesuatu yang berharga demi kebaikan bersama. Seperti penderita penyakit kulit yang harus rela mengorbankan kebebasan dan harga dirinya demi komunitas, kita pun diajak untuk tidak egois dalam kehidupan sehari-hari.

Yesus Kristus adalah teladan sempurna dalam hal ini. Ia rela menanggung penderitaan kita, dihina, dan disalibkan agar kita tidak lagi terjerat dosa (Yes. 53:2-5). Sikap tanpa pamrih inilah yang harus kita teladani.

Ketika kita menghadapi kesulitan, marilah kita berpikir bukan hanya tentang diri sendiri, tetapi juga bagaimana agar orang lain tidak ikut menderita. Biarlah kita belajar untuk rela berkorban, agar hidup kita menjadi berkat bagi sesama.

Doa

Bapa di surga, terima kasih atas firman-Mu yang mengajarkan kami untuk hidup dengan penuh kepedulian terhadap sesama. Tolonglah kami agar tidak hanya mementingkan diri sendiri, tetapi juga rela berkorban demi kebaikan banyak orang. Ajarkan kami untuk meneladani Kristus, yang telah mengorbankan diri-Nya bagi kami. Dalam nama Yesus, kami berdoa. Amin.

Share:

Mengenali Bercak-Bercak Kecemaran

 

Imamat 13:1-28

Kapan terakhir kali kita merenungkan kondisi rohani kita? Sama seperti pemeriksaan kesehatan dapat mencegah penyakit yang lebih serius, pemeriksaan diri secara rohani juga penting agar kita tetap hidup dalam kekudusan dan tidak terjerumus dalam dosa yang menajiskan.

Dalam bacaan hari ini, para imam pada zaman Perjanjian Lama memiliki tugas untuk mengidentifikasi penyakit kulit yang menajiskan seseorang. Mereka harus memperhatikan tanda-tanda seperti bercak putih yang lebih dalam dari kulit (2-3, 20, 25), bintil-bintil yang menyebar (7-8), dan bengkak putih dengan daging liar (10, 14-15). Karena keterbatasan pengetahuan medis pada masa itu, mereka hanya bisa mengisolasi penderita dan menantikan kesembuhan yang datang dari Tuhan (4-5, 11, 21, 26). Setelah sembuh, imamlah yang akan menyatakan seseorang tahir kembali (6, 12-13, 17, 23, 28).

Sebagai orang percaya pada masa kini, kita juga harus waspada terhadap "penyakit rohani" yang dapat menghambat hubungan kita dengan Tuhan. Kecemaran rohani bisa muncul dalam bentuk kebiasaan buruk, kompromi terhadap nilai-nilai dunia, atau pola pikir yang menyimpang dari kebenaran. Jika kita tidak segera menyadarinya, hal ini bisa menyebar dan memengaruhi iman kita serta komunitas di sekitar kita.

Sebagai umat yang dipanggil untuk hidup dalam kekudusan, kita harus terus memeriksa diri dan peka terhadap segala bentuk kecemaran yang bisa menjauhkan kita dari Tuhan. Jika kita menemukan "bercak-bercak kecemaran" dalam hidup kita, akuilah dosa kita dan datanglah kepada Tuhan dengan hati yang rendah. Ia setia untuk menyucikan dan memulihkan kita. Selain itu, marilah kita juga mendoakan dan menolong sesama kita yang sedang bergumul dengan dosa, agar mereka pun mengalami kasih dan pemulihan dari Tuhan.

Doa

Bapa yang Maha Kudus, terima kasih atas firman-Mu yang mengingatkan kami untuk senantiasa menjaga hati dan hidup kami agar tetap bersih di hadapan-Mu. Tolonglah kami untuk selalu peka terhadap segala hal yang dapat menajiskan iman kami. Jika ada dosa yang masih bercokol dalam hidup kami, berilah kami keberanian untuk mengakuinya dan bertobat. Kiranya kasih-Mu terus menyucikan kami, sehingga hidup kami memancarkan terang kemuliaan-Mu. Dalam nama Yesus, kami berdoa. Amin.

Share:

Firman Tuhan : " Masih Polos "

 

Imamat 12

Banyak orang berpikir bahwa bayi yang baru lahir masih polos, belum mengenal dosa, dan tidak memiliki kesalahan apa pun. Namun, jika kita melihat kebenaran Alkitab, benarkah demikian?

Dalam bacaan hari ini, seorang perempuan yang melahirkan anak laki-laki dianggap najis selama tujuh hari. Pada hari kedelapan, anak tersebut harus disunat, dan sang ibu masih harus menunggu 33 hari untuk proses pentahirannya (2-4). Jika yang lahir adalah anak perempuan, masa kenajisannya berlangsung lebih lama, yaitu dua minggu, diikuti dengan 66 hari masa penahiran (5).

Peraturan ini menunjukkan bahwa kelahiran bukan hanya sekadar peristiwa alami, tetapi juga memiliki makna rohani. Menariknya, bayi yang baru lahir pun masih harus melalui proses yang berkaitan dengan penahiran. Jika bayi benar-benar tidak berdosa, mengapa dalam hukum Taurat ada aturan seperti ini?

Mazmur 51:7 berkata, "Sesungguhnya, dalam kesalahan aku dilahirkan, dalam dosa aku dikandung ibuku." Ayat ini menunjukkan bahwa dosa bukan hanya soal tindakan, tetapi juga sesuatu yang melekat pada natur manusia sejak lahir. Dengan kata lain, setiap manusia, tanpa terkecuali, telah membawa warisan dosa sejak dalam kandungan.

Oleh karena itu, dalam Perjanjian Lama, baik anak laki-laki maupun perempuan harus dibawakan kurban penghapus dosa di hadapan Tuhan (6-8). Namun, dalam Perjanjian Baru, kita tidak perlu lagi memberikan kurban seperti itu. Yesus Kristus telah datang sebagai kurban yang sempurna, yang dengan darah-Nya menebus dan menyucikan kita dari segala dosa.

Karena itu, berapa pun usia kita sekarang, kita tetap membutuhkan kasih karunia Tuhan. Marilah kita datang kepada-Nya dengan hati yang rendah dan menyerahkan diri sepenuhnya, agar hidup kita dikuduskan oleh-Nya.

Share:

Kuliner: Antara Selera dan Kekudusan

Imamat 11

Di zaman sekarang, siapa yang tidak menyukai kuliner? Banyak orang dengan sengaja meluangkan waktu untuk menjelajahi berbagai jenis makanan, mencoba cita rasa baru yang belum pernah mereka nikmati sebelumnya. Kini, kita bisa mencicipi berbagai masakan dengan bebas. Namun, pernahkah kita berpikir tentang apakah makanan yang kita makan itu tahir atau najis?

Ketika membaca perikop dalam Imamat 11, kita mungkin bertanya-tanya: Apakah aturan ini membatasi kita dalam memilih makanan? Haruskah kita benar-benar memilah mana yang tahir dan mana yang najis sebelum makan? Haruskah kita hanya mengonsumsi hewan yang berkuku belah, kukunya bersela panjang, dan memamah biak (2-3), serta menghindari yang hanya memenuhi satu dari kriteria tersebut seperti unta, pelanduk, kelinci, dan babi (4-8)? Ataukah kita baru boleh makan hewan laut jika memiliki sirip dan sisik (9)?

Aturan ini mungkin terdengar kaku dan membatasi selera makan. Namun, dalam Perjanjian Lama, hukum Taurat diberikan untuk menjaga kekudusan umat Allah, bukan semata-mata demi kesehatan jasmani. Bagaimana dengan kita yang hidup dalam zaman anugerah di Perjanjian Baru? Apakah peraturan ini masih berlaku?

Firman Tuhan dalam 1 Timotius 4:4-5 mengingatkan kita bahwa "semua yang diciptakan Allah itu baik dan tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur, karena semuanya itu dikuduskan oleh firman Allah dan oleh doa." Artinya, yang terpenting bukan sekadar jenis makanannya, tetapi bagaimana sikap hati kita saat menerimanya.

Sebagai orang percaya, kita harus memiliki pengendalian diri dalam segala hal, termasuk dalam hal makanan. Jika kita makan dengan sembarangan dan tanpa kendali, itu bisa berdampak buruk pada kesehatan maupun kerohanian kita. Sebaliknya, dengan bijaksana menjaga pola makan yang sehat, kita bisa memuliakan Tuhan melalui tubuh yang diberikan-Nya kepada kita.

Jadi, daripada berdebat tentang makanan tahir atau najis, lebih baik kita fokus pada bagaimana kita dapat memuliakan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan kita, termasuk dalam cara kita makan dan menjalani hidup sehari-hari.

Share:

Pengalaman Adalah Guru yang Baik


Imamat 10:8-20

Pengalaman buruk dapat mematahkan semangat, bahkan kegagalan pahit dalam pelayanan dapat membuat seseorang berkata,
"Bagaimana mungkin kami mendamaikan umat dengan Tuhan, sedangkan kami sendiri belum berdamai dengan Tuhan?"

Hal ini tercermin dalam kisah ketika Musa menegur Eleazar dan Itamar karena tidak memakan daging kurban penghapus dosa di tempat yang kudus (Imamat 10:16-18). Bukannya menegur, Harun justru berusaha menenangkan Musa. Dengan beratnya beban kehilangan dua anaknya, Nadab dan Abihu, ia merasa bahwa dirinya dan anak-anaknya belum layak menjalankan tugas keimaman (Im. 10:19).

Pengalaman traumatis seperti itu, ditambah dengan kekecewaan diri dan ketakutan akan kesalahan yang sama, sering kali membuat anak-anak Tuhan kehilangan harapan. Banyak yang mundur dari ibadah maupun pelayanan karena merasa tidak mampu atau tidak layak.

Namun, kisah ini mengingatkan kita akan pentingnya pengendalian diri, khususnya dalam hal pikiran dan hati. Kita harus menyadari bahwa meskipun kita manusia yang terbatas, Tuhan amat mengasihi dan memulihkan kita. Alih-alih membiarkan kegagalan menjauhkan kita dari-Nya, jadikanlah setiap pengalaman pahit sebagai pelajaran untuk lebih mengenal kehendak Tuhan dan semakin bergantung pada kebaikan-Nya.

Jika Tuhan yang telah memilih kita, Dia pasti akan menunjukkan kasih dan pemeliharaan-Nya. Rasa bersalah dan kekecewaan hendaknya mendorong kita untuk lebih introspeksi, mengambil waktu jeda untuk beristirahat dan memiliki waktu teduh bersama Tuhan, bukan untuk berhenti melangkah. Jangan biarkan perasaan gagal menghentikan tekad kita dalam melayani Tuhan. Tetaplah berkomitmen dan teruslah mendekat kepada-Nya, agar kita selalu dipulihkan dan dimampukan untuk melanjutkan pelayanan.

Share:

Firman Tuhan : " Sekejam Itukah TUHAN ? "

 

📖 Imamat 10:1-3

Ketika membaca kisah Nadab dan Abihu, kita mungkin bertanya-tanya: Mengapa Tuhan begitu keras terhadap mereka? Bukankah mereka hanya membawa api untuk mempersembahkan korban?

Namun, jika kita memahami lebih dalam, kita akan mengerti bahwa peristiwa ini bukan hanya tentang api—ini tentang ketaatan, hormat, dan kekudusan Tuhan.

Kesalahan Nadab dan Abihu

  1. Mereka Membawa "Api Lain"

    • Tuhan sendiri telah menyalakan api kudus di atas mezbah (Im. 9:24).
    • Nadab dan Abihu malah membawa api dari sumber lain, yang tidak diperintahkan Tuhan (Im. 10:1).
    • Ini menunjukkan ketidaktaatan dan sikap seolah-olah mereka bisa menentukan cara beribadah sendiri.
  2. Mereka Mengabaikan Kekudusan Tuhan

    • Sebagai imam, mereka seharusnya lebih peka dan taat terhadap perintah Tuhan.
    • Mereka mungkin merasa karena mereka anak Harun, mereka bisa melakukan tugas keimaman dengan cara mereka sendiri.
    • Namun, Tuhan ingin ketaatan penuh, bukan sekadar ritual kosong.
  3. Akibat dari Ketidakhormatan

    • Tuhan tidak mentoleransi sikap sembrono terhadap kekudusan-Nya.
    • Akibatnya, api Tuhan sendiri melahap mereka.

Pelajaran bagi Kita

  • Jangan Sembarangan dalam Beribadah
    Apakah kita sering kali datang ke hadirat Tuhan dengan sikap yang asal-asalan?

    • Kita menyanyi, tetapi hati kita tidak sungguh-sungguh menyembah.
    • Kita berdoa, tetapi hanya sebagai rutinitas.
    • Kita melayani, tetapi hanya untuk dilihat orang.
  • Taatlah dengan Penuh Hormat

    • Tuhan tidak menghendaki "api lain" dalam hidup kita.
    • Kita dipanggil untuk hidup dalam ketaatan, bukan sekadar menjalankan ritual agama.
  • Kekudusan Itu Serius

    • Tuhan tidak berubah dari dulu sampai sekarang.
    • Jika di Perjanjian Lama kekudusan itu sangat ditekankan, di Perjanjian Baru kita juga dipanggil untuk hidup kudus dalam Yesus Kristus.

Refleksi Pribadi

✔ Apakah aku sudah menghormati Tuhan dalam setiap aspek hidupku?
✔ Apakah aku melayani Tuhan dengan hati yang benar, atau hanya karena kebiasaan?
✔ Apakah aku sering kali membawa "api lain" dalam bentuk sikap yang tidak taat?

🔥 Doa 🔥

_Tuhan, aku menyadari bahwa Engkau adalah Allah yang kudus dan layak dihormati. Ampuni aku jika aku telah beribadah atau melayani dengan asal-asalan.

Bentuklah hatiku agar selalu hidup dalam ketaatan kepada-Mu, dan biarlah setiap hal yang kulakukan memuliakan nama-Mu.

Dalam nama Yesus, aku berdoa. Amin._

Semoga renungan ini memberkati dan mengingatkan kita untuk selalu menghormati dan menaati Tuhan dalam segala hal. 🙏🔥

Share:

Pujian Ibadah 16 Maret 2025

Share:

Kumulai dari Diriku

Imamat 9

Tugas seorang imam adalah menjadi pengantara antara umat Israel dengan Allah. Jika umat ingin didamaikan dengan Allah atau dihapuskan dosanya, mereka harus membawa kurban kepada imam, lalu imamlah yang akan mengolah dan mempersembahkannya kepada Allah (lih. Im 1-7). Itulah sebabnya tugas imam sangatlah penting dan tidak boleh dilakukan sembarangan.

Namun, yang menarik dari bacaan ini adalah bahwa sebelum seorang imam menjalankan tugasnya, ia terlebih dahulu harus memastikan bahwa dirinya sendiri telah berdamai dengan Allah.

Firman TUHAN melalui Musa berkata, "Olahlah kurban penghapus dosa dan kurban bakaranmu ... Sesudah itu olahlah persembahan bangsa itu dan adakanlah pendamaian bagi mereka" (Im 9:7). Ini menunjukkan bahwa sebelum seorang imam melayani orang lain dan membawa mereka kepada Tuhan, ia sendiri harus memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan terlebih dahulu.

Bayangkan jika seorang imam yang tidak hidup dalam kekudusan mencoba menolong umat berdamai dengan Allah—bagaimana mungkin ia bisa menjadi pengantara yang dipercaya?

Pelajaran bagi Kita Hari Ini

Di zaman sekarang, kita juga memiliki peran sebagai "imam" dalam arti kita dipanggil untuk membawa orang lain kepada Tuhan. Namun, sebelum kita bisa menjadi terang bagi orang lain, kita harus memastikan bahwa kita sendiri hidup dalam hubungan yang baik dengan Tuhan.

  • Sebagai pemimpin rohani, kita harus menjaga kekudusan dan hubungan pribadi kita dengan Tuhan sebelum membimbing orang lain.
  • Sebagai jemaat awam, kita juga harus lebih dulu beres dengan Tuhan sebelum mengajak orang lain untuk mengenal-Nya.

Jangan sampai kita sibuk dalam pelayanan, tetapi hubungan kita sendiri dengan Tuhan masih kacau. Sebelum kita menasihati orang lain untuk bertobat, kita sendiri harus lebih dahulu bertobat. Sebelum kita membimbing orang lain, kita sendiri harus rela dibimbing oleh Tuhan.

Hidup sebagai pelayan Tuhan bukan sekadar tentang apa yang kita lakukan, tetapi lebih dahulu tentang siapa diri kita di hadapan Tuhan. Kita harus lebih dahulu mengalami anugerah dan kasih Tuhan sebelum kita bisa membagikannya kepada orang lain.

Maka, mulailah dari dirimu sendiri! Pastikan bahwa hubunganmu dengan Tuhan baik, sehingga ketika kamu melayani orang lain, mereka bisa melihat ketulusan dan kuasa Tuhan nyata dalam hidupmu.

Doa

_Tuhan yang penuh kasih, terima kasih atas kesempatan untuk melayani-Mu. Aku sadar bahwa sebelum aku membawa orang lain kepada-Mu, aku sendiri harus memiliki hubungan yang dekat dengan-Mu.

Tolong aku agar tidak hanya sibuk dalam pelayanan, tetapi juga sungguh-sungguh hidup dalam ketaatan dan kekudusan. Ampuni segala dosaku dan perbarui hatiku supaya aku layak menjadi alat-Mu.

Aku juga berdoa bagi keluarga, sahabat, jemaat, dan semua yang membaca renungan ini. Kiranya Engkau memberkati kehidupan kami dengan kesehatan, sukacita, dan damai sejahtera.

Biarlah berkat-Mu mengalir dalam rumah tangga, pekerjaan, usaha, studi, dan pelayanan kami. Aku percaya bahwa dalam pimpinan-Mu, akan ada terobosan dan jalan keluar bagi setiap pergumulan kami.

Terima kasih, Tuhan. Dalam nama Yesus Kristus, aku berdoa. Amin._

Share:

Categories

Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.