Masa Perhentian bagi Tanah
Bisakah tanah beristirahat? Dalam hukum yang Allah berikan kepada bangsa Israel, terdapat satu ketetapan yang menarik: tanah pun harus mengalami masa perhentian. Selama enam tahun mereka boleh mengolah tanah, menanam dan menuai hasilnya (ay. 3). Namun, pada tahun ketujuh, Allah memerintahkan agar tanah itu dibiarkan beristirahat sebagai Sabat bagi TUHAN (ay. 4).
Apa artinya ini? Artinya, selama satu tahun penuh, bangsa Israel tidak boleh menabur atau menuai seperti biasa. Apa yang tumbuh dari ladang atau kebun anggur dibiarkan tumbuh liar, dan hasilnya bisa dimakan oleh siapa saja—budak, orang asing, orang upahan, bahkan hewan-hewan pun bebas menikmatinya (ay. 6–7). Allah ingin mengajarkan umat-Nya makna istirahat, ketergantungan, dan solidaritas.
Dari perintah ini, kita bisa belajar tiga hal penting:
1. Allah adalah Pemelihara Sejati
Walaupun tanah tidak diolah selama setahun, Allah menjamin bahwa hasil panen selama enam tahun akan cukup untuk tahun ketujuh. Ini mengajarkan bahwa sumber berkat sejati bukanlah pekerjaan kita, tetapi Allah sendiri yang mencukupkan segala kebutuhan kita.
2. Tanah adalah Milik Allah, Bukan Milik Kita
Tanah hanyalah sarana; pemilik dan sumber kehidupan yang sejati adalah Allah. Ketika kita menghentikan aktivitas untuk mematuhi perintah-Nya, kita sedang menyatakan kebergantungan dan ketaatan kepada-Nya.
3. Berbagi dengan Ciptaan Lain
Tahun Sabat adalah waktu di mana semua ciptaan—manusia, hewan, bahkan tanah—diperbolehkan menikmati apa yang tersedia secara cuma-cuma. Ini adalah gambaran keharmonisan ciptaan, di mana tidak ada yang kekurangan, dan semua saling berbagi.
💬 Refleksi:
Bagaimana hubungan kita hari ini dengan Allah dan sesama ciptaan? Sudahkah kita memberi waktu untuk beristirahat? Sudahkah kita peduli pada keberlanjutan lingkungan tempat kita bekerja dan hidup?
Sabat bukan hanya untuk manusia, tetapi juga untuk menciptakan keseimbangan antara pekerjaan dan penyembahan, antara mengambil dan memberi. Mari kita pelihara keharmonisan dengan sesama ciptaan, sebagai bentuk syukur dan ketaatan kepada Sang Pencipta.
🙏 Doa Penutup:
Terpujilah Bapa yang ada di surga.
Pagi ini aku bersyukur atas pertolongan-Mu—atas nafas kehidupan yang Engkau berikan dan penyertaan-Mu sepanjang malam.Tuhan, hari ini aku mohonkan berkat bagi setiap Bapak, Ibu, jemaat, serta saudara-saudariku sekalian.
Kiranya berkat kesehatan, berkat sukacita, dan berkat damai sejahtera mengalir dalam hidup kami semua.Diberkatilah rumah tanggaku, anak-anak dan cucu-cucuku. Pekerjaanku, sawah dan ladangku, usahaku, kantorku, pelangganku, studiku, dan semua rencana hidupku.
Berkatilah juga gerejaku, pelayananku, majikanku, dan calon pendampingku.
Dalam nama Tuhan Yesus, biarlah berkat-Mu mengalir berlimpah dalam kehidupan kami.Saya sadar bahwa bertambahnya hari-hariku berarti bertambah juga hikmat dan kasih karunia-Mu.
Teguhkan kami dalam proses menuju keberhasilan yang Engkau tetapkan.Yang percaya katakan bersama: AMIN!
Tuhan Yesus memberkati 🙌
Firman Tuhan : "Kekudusan Allah sebagai Prioritas Utama"
Imamat 24:10-23
Dalam bacaan hari ini (Imamat 24), dikisahkan seorang anak dari perempuan Israel yang menghujat nama TUHAN dengan mengutuk. Ia dibawa kepada Musa (ay. 11), dan Allah memberi perintah tegas: orang itu harus dibawa ke luar perkemahan dan dilempari batu oleh seluruh umat (ay. 14). Setiap orang yang mendengar makian itu harus meletakkan tangan di kepala orang itu—sebagai simbol bahwa ia menanggung sendiri kesalahannya. Ini adalah bentuk penghukuman yang sangat serius karena ia telah menghina kekudusan Allah.
Kita mungkin merasa bahwa hukuman ini terlalu berat. Tapi itu menunjukkan betapa seriusnya kekudusan Allah di mata-Nya. Allah tinggal di tengah perkemahan Israel (Kel. 25:8), dan perkemahan itu harus dijaga tetap kudus. Jika ada yang menajiskannya, maka harus disingkirkan agar kekudusan Allah tetap dihormati.
Kadang kita berpikir bahwa nyawa manusia adalah yang paling penting, sehingga merasa tidak nyaman dengan hukuman seperti ini. Tapi Allah ingin menunjukkan bahwa kekudusan-Nya jauh lebih utama daripada apa pun, bahkan nyawa sekalipun. Bahkan Musa dan Harun pun tidak diizinkan masuk ke Tanah Perjanjian karena tidak menghormati kekudusan Allah (Bil. 20:12). Dan Yesus sendiri mengajarkan bahwa doa pertama kita kepada Allah adalah: “Dikuduskanlah nama-Mu” (Mat. 6:9).
Ini adalah panggilan bagi kita: menjadikan kekudusan Allah sebagai prioritas utama dalam hidup. Dalam setiap keputusan—baik dalam pekerjaan, relasi, maupun pelayanan—pertanyaannya bukan: “Apa untungnya untukku?” melainkan, “Apakah ini menghormati kekudusan Tuhan?”
Hanya ketika kita hidup dengan kesadaran akan kekudusan Allah, kita bisa benar-benar berkenan kepada-Nya. Mari belajar untuk menghormati dan menjunjung tinggi kekudusan-Nya dalam segala hal.
Hidup yang Dipersembahkan
Imamat 24:5-9
Di dalam Ruang Kudus, ada meja dari emas murni yang di atasnya selalu diletakkan dua belas roti bundar dalam dua susun (Im. 24:6). Setiap susunan diberi kemenyan murni, yang dibakar sebagai kurban peringatan kepada TUHAN (Im. 24:7). Setiap hari Sabat, roti ini diatur kembali di hadapan Tuhan sebagai tanda persembahan umat Israel (Im. 24:8). Roti yang diganti menjadi bagian bagi Harun dan keturunannya, dan mereka harus memakannya di tempat yang kudus (Im. 24:9).
Dua belas roti ini melambangkan dua belas suku Israel, yang berarti bahwa seluruh umat dipersembahkan kepada TUHAN. Karena rotinya tidak dibakar, kemenyan menjadi bagian yang naik sebagai korban kepada Allah. Ini adalah gambaran bahwa seluruh kehidupan umat seharusnya menjadi persembahan yang harum di hadapan-Nya.
Dalam Perjanjian Baru, Paulus menggemakan makna ini ketika ia menasihatkan kita untuk mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah—itulah ibadah yang sejati (Rm. 12:1). Hidup yang dipersembahkan berarti hidup yang dijalani bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk melakukan kehendak Allah, termasuk pekerjaan baik yang telah Dia siapkan bagi kita (Ef. 2:10).
Jangan biarkan hidup kita hanya dikendalikan oleh keinginan pribadi atau hawa nafsu. Bila kita sadar masih menjalani hidup sesuai keinginan sendiri, inilah waktunya untuk bertobat. Mari kita kembali dan mempersembahkan hidup ini secara utuh kepada Tuhan—bukan hanya sebagian, tapi seluruhnya—sebagai bentuk ibadah sejati.
Firman Tuhan : "Terang yang Terus Ada"
Imamat 24:1-4
Di dalam ruang kudus terdapat tiga benda penting, yaitu kandil (menorah), meja roti sajian, dan mazbah ukupan. Salah satu perintah Tuhan dalam bacaan kita hari ini adalah agar umat membawa minyak zaitun murni untuk menyalakan lampu di kandil, sehingga lampu itu tetap menyala (Im. 24:1-2). Harun harus mengatur lampu-lampu tersebut di depan tabir Tabut Hukum di dalam Kemah Pertemuan, dari petang sampai pagi, sebagai ketetapan yang berlaku selamanya bagi umat Israel (Im. 24:3-4).
Kandil yang digunakan di ruang kudus memiliki beberapa cabang (Kel. 25:31-32) dan harus dinyalakan dengan minyak zaitun terbaik agar tetap bercahaya. Namun, lampu itu tidak menyala sepanjang waktu. Lampu-lampu ini hanya dinyalakan dari petang sampai pagi, sedangkan di siang hari cahayanya digantikan oleh terang matahari (Kel. 30:7-8). Dengan menyalakan kandil di ruang kudus, umat diingatkan bahwa terang selalu ada dalam hadirat Tuhan.
Menariknya, kandil ini memiliki bentuk yang menyerupai pohon dengan cabang dan bunga badam (Kel. 25:32-33), yang melambangkan Pohon Kehidupan di Taman Eden (Kej. 3:24). Terang dalam ruang kudus menjadi simbol bahwa Allah adalah sumber kehidupan, yang menerangi dan memelihara umat-Nya.
Di dalam Perjanjian Baru, Yesus menyatakan bahwa Ia adalah Terang Dunia (Yoh. 8:12). Bahkan dalam kegelapan malam, terang itu tetap bersinar. Oleh karena itu, sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk menjadi terang dunia (Mat. 5:14), memantulkan terang Allah dalam kehidupan kita. Mari kita hidup dalam terang Kristus dan menerangi dunia di sekitar kita dengan kasih dan kebenaran-Nya.
Firman Tuhan : "Mengenang Masa Sulit"
Imamat 23:37-44
Masa sulit bukanlah hal yang kita sukai, tetapi justru di saat itulah kita dapat melihat penyertaan Allah dengan lebih nyata. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengenangnya sebagai bukti kasih dan pertolongan Tuhan.
Perayaan Pondok Daun ditetapkan bagi bangsa Israel untuk mengingat bagaimana Tuhan menuntun mereka di padang gurun setelah keluar dari Mesir (Imamat 23:42-43). Selama tujuh hari, mereka tinggal di pondok-pondok daun sebagai simbol kehidupan mereka di padang gurun, namun perayaan ini dilakukan dengan sukacita (ayat 40).
Hidup di padang gurun selama 40 tahun bukanlah hal mudah, tetapi Tuhan setia memelihara umat-Nya. Ia memberi manna setiap hari dan menjaga pakaian serta kasut mereka agar tidak rusak (Ulangan 29:5).
Demikian juga, kita diajak untuk mengenang masa sulit dengan bersukacita. Sebab dalam kesulitan, kita justru dapat merasakan penyertaan Tuhan lebih nyata. Mari bersyukur atas setiap perjalanan hidup, karena di dalamnya Tuhan selalu hadir dan menolong kita.
Arti Puasa
Imamat 23:23-36
Puasa merupakan praktik keagamaan yang umum dilakukan oleh berbagai umat beragama, termasuk bangsa Israel. Namun, bagaimana cara mereka menjalankan puasa, dan apa maknanya bagi mereka? Mari kita pelajari arti puasa berdasarkan Imamat 23:23-36.
Salah satu momen penting dalam kalender ibadah Israel adalah Hari Pendamaian, yang jatuh pada tanggal sepuluh bulan ketujuh. Pada hari itu, umat diperintahkan untuk mengadakan pertemuan kudus dan merendahkan diri dengan berpuasa (27). Mereka juga dilarang melakukan pekerjaan apa pun, karena hari itu adalah saat pendamaian antara mereka dan Tuhan (28). Bahkan, siapa pun yang tidak merendahkan diri dengan berpuasa akan dilenyapkan dari bangsa Israel (29).
Menariknya, dalam Alkitab bahasa Ibrani, frasa "merendahkan diri dengan berpuasa" berasal dari kata anah, yang dalam berbagai terjemahan Alkitab berbahasa Inggris memiliki makna yang luas, seperti "menyangkal diri" (deny yourselves - NIV), "merendahkan diri" (humble yourselves - NASB), dan "membuat diri menderita" (afflict yourselves - ESV). Bahkan, beberapa versi tidak secara langsung menerjemahkannya sebagai "berpuasa". Ini menunjukkan bahwa makna puasa dalam konteks Hari Pendamaian lebih dari sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga melibatkan sikap hati yang rendah, kesadaran akan dosa, dan penyesalan yang mendalam di hadapan Tuhan.
Jadi, puasa bukan sekadar tidak makan atau minum. Tujuan utama berpuasa adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan hati yang merendah dan berserah. Ketika kita berpuasa untuk mencari tuntunan dan pertolongan-Nya, kita tidak boleh datang dengan sikap memaksa atau menuntut, tetapi dengan hati yang bersyukur dan siap menerima apa pun jawaban Tuhan dalam hidup kita.
Merayakan Kelimpahan dari Allah
Imamat 23:15-22
Allah bukan hanya menebus dan menyelamatkan umat-Nya, tetapi juga senantiasa memelihara mereka. Ketika umat Allah mengadakan perayaan, hal itu bukan sekadar pesta pora, melainkan sebuah cara untuk mengenang serta merayakan karya penyelamatan dan pemeliharaan-Nya dalam hidup mereka.
Salah satu perayaan yang disebut dalam nas ini adalah Perayaan Tujuh Minggu, yang juga dikenal sebagai Pentakosta (15-16; bdk. Ul. 16:10). Dalam perayaan ini, umat membawa kurban sajian berupa dua roti unjukan yang dibuat dari tepung terbaik dan dicampur dengan ragi sebagai buah sulung bagi Tuhan (17). Selain itu, mereka juga mempersembahkan tujuh ekor domba, seekor lembu jantan, dan dua ekor domba jantan sebagai kurban bakaran (18). Sebagai bentuk pertobatan dan persekutuan dengan Allah, mereka mempersembahkan seekor kambing jantan sebagai kurban penghapus dosa dan dua ekor domba sebagai kurban keselamatan (19).
Perayaan ini dihitung tujuh minggu setelah Sabat (15), dimulai dari hari ketika imam menunjukkan berkas hasil tuaian pertama (9-10). Dengan demikian, Pentakosta merupakan perayaan syukur atas hasil tuaian yang telah Allah berikan, yang menegaskan bahwa segala kelimpahan berasal dari-Nya.
Selain membawa persembahan, umat juga diajak untuk datang dengan hati yang benar di hadapan Allah. Kurban bakaran, kurban penghapus dosa, dan kurban keselamatan mengajarkan bahwa ucapan syukur harus disertai dengan kerendahan hati dan kesadaran akan anugerah-Nya.
Di Perjanjian Baru, makna Pentakosta semakin diperdalam dengan pencurahan Roh Kudus atas para murid. Ini menunjukkan bahwa Allah tidak hanya memberi berkat jasmani, tetapi juga berkat rohani yang berlimpah dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, kita diajak untuk selalu bersyukur, bukan hanya atas keselamatan, tetapi juga atas pemeliharaan-Nya yang tak berkesudahan. Bahkan dalam kesulitan, kita tetap dapat melihat kebaikan dan kelimpahan kasih-Nya.