Gereja Kristen Kalam Kudus Tepas Kesamben Blitar

Bunga Uang dan Riba

 

Allah menghendaki umat-Nya hidup dengan kasih dan keadilan, terutama terhadap mereka yang lemah dan berkekurangan. Hukum Tuhan kepada bangsa Israel sangat tegas dan penuh kasih:

“Jika saudaramu jatuh miskin dan tidak sanggup bertahan di antaramu, maka engkau harus menopang dia...” (ay. 35).

Ini bukan sekadar empati, melainkan perintah Allah yang menunjukkan bahwa kasih sejati harus diwujudkan dalam tindakan konkret.


💡 Prinsip Firman Allah:

✔️ 1. Memberi Tanpa Mengharapkan Bunga

“Janganlah engkau mengambil bunga atau riba daripadanya…” (ay. 36–37)

Bangsa Israel dilarang memberi pinjaman kepada saudara mereka yang miskin dengan mengambil bunga atau meminta keuntungan. Mengapa? Karena itu merugikan dan memperberat beban hidup orang miskin. Ini adalah bentuk pemerasan terselubung.

Tuhan ingin umat-Nya menolong, bukan mengambil keuntungan dari penderitaan orang lain.

✔️ 2. Tidak Memperbudak Saudara Sendiri

“Jika saudaramu jatuh miskin dan menyerahkan dirinya kepadamu… janganlah engkau memperbudak dia” (ay. 39)

Orang yang jatuh miskin dan bekerja pada orang lain tidak boleh diperlakukan sebagai budak. Ia harus dianggap saudara dan diizinkan pulang pada Tahun Yobel (ay. 41). Ini menegaskan bahwa semua umat Allah adalah milik-Nya, bukan milik satu sama lain (ay. 42).

✔️ 3. Mengasihi Seperti Telah Dikasihi

Allah mengingatkan mereka: “Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa kamu keluar dari tanah Mesir” (ay. 38, 55).
Karena Allah telah menebus mereka dari perbudakan, maka mereka tidak boleh memperbudak sesamanya. Mereka harus hidup dengan kesadaran bahwa kasih karunia Allah adalah dasar setiap relasi.


🔍 Refleksi Pribadi:

  • Apakah kita dengan mudah memberi pinjaman, tapi menyulitkan saudara kita dengan bunga atau syarat yang memberatkan?

  • Apakah kita menolong sesama dengan kasih, atau dengan maksud tersembunyi untuk keuntungan pribadi?

  • Apakah kita sudah menjadi saluran berkat atau justru menutup pintu kasih bagi orang yang kesusahan?


💬 Renungan:

Tindakan membungakan uang dan meminta riba adalah wujud ketamakan. Tuhan tidak berkenan pada hati yang serakah dan bergantung pada harta. Sebaliknya, Dia memanggil kita untuk mengasihi dengan tulus, memberi dengan rela, dan menolong dengan sukacita.

Di tengah dunia yang sering menghitung untung-rugi dalam semua hal, mari tampil berbeda. Hidup kita adalah kesempatan untuk menghadirkan suasana Yobel—suasana pembebasan, pemulihan, dan kasih Allah—bagi orang-orang di sekitar kita.


🙏 Doa Penutup:

Ya Bapa, ajar aku untuk mengasihi seperti Engkau telah lebih dahulu mengasihiku.
Bebaskan aku dari hati yang serakah, dan bukakan hatiku untuk memberi tanpa syarat.
Kiranya hidupku menjadi saluran kasih dan keadilan bagi saudara-saudaraku yang membutuhkan.
Pakailah aku untuk membawa suasana Yobel—pembebasan, kelegaan, dan pemulihan—dalam keluarga, gereja, dan masyarakat.
Dalam nama Tuhan Yesus, aku berdoa.
Amin.

Share:

Firman Tuhan : "Hak Menebus Tanah dan Rumah"

 

Allah memberikan aturan yang jelas kepada bangsa Israel mengenai kepemilikan dan penebusan tanah. Tanah bukanlah milik mutlak manusia, sebab Allah sendiri berfirman:

Tanah jangan dijual mutlak, karena Akulah pemilik tanah itu, dan kamu adalah pendatang dan orang asing bagi-Ku” (ay. 23).

Prinsip ini menunjukkan bahwa Allah adalah pemilik sejati, dan manusia hanyalah pengelola. Maka, tanah dan rumah tidak boleh diperlakukan sebagai barang dagangan bebas yang dikuasai tanpa batas.


⚖️ Prinsip-prinsip Penebusan:

1. Tanah Warisan Wajib Ditebus

Jika seseorang menjual tanah pusakanya karena kesulitan ekonomi, saudara terdekatnya wajib menebusnya (ay. 25). Jika tidak ada penebus, dan ia sendiri mampu suatu hari nanti, ia bisa menebusnya kembali dengan membayar harga yang sesuai dengan sisa tahun menuju Yobel (ay. 26–27).

Namun, jika tidak mampu, maka pada tahun Yobel, tanah itu kembali kepada pemilik semula (ay. 28). Inilah mekanisme pemulihan dan keadilan sosial dari Tuhan.

2. Rumah Berpagar dan Rumah Tidak Berpagar

  • Rumah dalam kota yang berpagar hanya bisa ditebus dalam waktu satu tahun. Lewat dari itu, rumah menjadi milik si pembeli secara permanen, bahkan saat Tahun Yobel (ay. 29–30).

  • Tetapi rumah di desa (yang tidak berpagar), diperlakukan seperti tanah ladang: bisa ditebus kapan saja dan harus dikembalikan saat Tahun Yobel (ay. 31).

Ini menunjukkan bahwa tanah pedesaan dan sumber kehidupan utama (ladang dan rumah desa) mendapat perlindungan lebih ketat dibandingkan dengan rumah di kota.


🌱 Pelajaran Iman:

✔️ 1. Kelola Harta dengan Benar

Tanah dan rumah adalah berkat Allah yang harus diurus dengan tanggung jawab. Allah menaruh kepercayaan kepada kita sebagai pengelola, bukan pemilik mutlak. Maka, mengelola dengan bijak adalah bentuk ketaatan.

✔️ 2. Jangan Tamak

Sekalipun secara hukum kita bisa “menang”, Firman Allah mengajarkan bahwa kita tidak boleh menumpuk kekayaan dengan merampas kesempatan orang lain. Ada saatnya, kita melepaskan apa yang secara duniawi bisa kita miliki, demi keadilan sosial yang lebih besar.

✔️ 3. Keadilan dan Harapan bagi yang Lemah

Aturan Yobel adalah bentuk nyata dari keadilan ilahi. Orang yang miskin dan tidak mampu punya harapan untuk mendapatkan kembali warisannya. Allah tidak membiarkan orang miskin terhimpit selamanya.


🙏 Refleksi:

  • Bagaimana saya mengelola harta milik saya—rumah, tanah, pekerjaan?

  • Apakah saya bersedia taat pada prinsip Tuhan, bahkan ketika itu menuntut saya melepaskan hak saya demi orang lain?

  • Apakah saya berani mendoakan dan membantu mereka yang tidak punya rumah, tanah, atau tempat tinggal?


🕊️ Doa Penutup:

Ya Allah, Engkaulah pemilik segala sesuatu.
Ajar aku mengelola berkat-Mu dengan bijak dan tidak serakah.
Bentuklah hati yang adil, hati yang bersedia berbagi, dan hati yang setia menjaga apa yang Engkau titipkan.
Aku berdoa bagi mereka yang belum memiliki tempat tinggal yang layak, agar mereka pun Kau cukupkan dan Kau pulihkan.

Di dalam nama Tuhan Yesus aku berdoa.
Amin.

Share:

Menguduskan Tahun Kelima Puluh

 

Apakah makna dari tahun kelima puluh dalam hidup umat Allah? Dalam hukum yang diberikan kepada bangsa Israel, Allah menetapkan bahwa setiap tujuh kali tujuh tahun—yakni 49 tahun—mereka harus menguduskan tahun yang ke-50 sebagai Tahun Yobel atau tahun pembebasan (ay. 8–10).

Tahun ini bukan hanya sebuah perayaan seremoni dengan meniup sangkakala (ay. 9), tetapi sebuah tahun yang penuh pemulihan, keadilan, dan kemurahan. Tahun ini adalah pengingat bahwa Allah adalah pemilik segala sesuatu, dan umat-Nya harus hidup dalam kasih dan keadilan.


🌿 Apa yang terjadi di Tahun Yobel?

1. Pembebasan dan Pemulangan

Semua budak dibebaskan, dan setiap orang kembali ke tanah miliknya dan kaumnya (ay. 10). Tidak ada yang boleh diperbudak seumur hidup. Ini adalah tahun pemulihan martabat manusia.

2. Pengembalian Tanah Warisan

Tanah yang dijual harus dikembalikan kepada pemilik semula. Harga tanah diukur berdasarkan jumlah tahun menuju Yobel (ay. 14–16). Artinya, tidak ada eksploitasi, dan semua orang mendapat kesempatan baru. Harta keluarga tetap terjaga di dalam komunitasnya.

3. Tanah Dibiarkan Beristirahat

Tanah tidak boleh digarap atau dituai secara komersial (ay. 11–12). Hasil yang tumbuh liar menjadi berkat bersama, khususnya bagi orang miskin, pengembara, dan mereka yang membutuhkan.


💡 Apa maknanya bagi kita hari ini?

✔️ Keadilan Sosial dan Solidaritas

Tahun Yobel mengajarkan bahwa tidak ada yang boleh terlalu kaya sehingga menguasai segalanya, dan tidak ada yang terlalu miskin sehingga kehilangan semua. Ada keseimbangan, ada pengampunan hutang, dan ada pembebasan yang nyata.

✔️ Allah Pemilik Segala Sesuatu

Tanah bukan milik manusia, tapi milik Allah (bdk. Im. 25:23). Maka hidup kita juga harus ditata dalam ketaatan dan kepercayaan penuh kepada-Nya.

✔️ Pemeliharaan Tuhan Terjamin

Tuhan berjanji bahwa bagi mereka yang taat, hasil panen tahun keenam akan cukup hingga tahun kesembilan (ay. 21–22). Bahkan ketika umat tidak mengolah tanah, Allah tetap mencukupkan kebutuhan mereka. Ini adalah janji pemeliharaan Ilahi bagi mereka yang mengandalkan-Nya.


🕊️ Refleksi:

  • Apakah aku bersedia taat pada prinsip Allah, bahkan ketika itu menuntut kepercayaan besar?

  • Apakah aku mempraktikkan keadilan dan kemurahan terhadap sesama?

  • Apakah aku ingat bahwa segala yang kumiliki sejatinya milik Allah?


🙏 Doa Penutup:

Ya Allah, Engkaulah pemilik hidup dan segala milikku.
Ajar aku untuk mempercayai pemeliharaan-Mu dan hidup dalam ketaatan penuh kepada firman-Mu.
Buat hatiku lembut untuk berbagi dan memberi ruang bagi sesama agar mereka pun merasakan kasih dan keadilan-Mu.

Terima kasih karena Engkau mencukupkan segala kebutuhanku, bahkan di masa yang tidak pasti.
Bentuklah hidupku menjadi saluran berkat dan pembawa pembebasan bagi orang-orang di sekitarku.

Dalam nama Tuhan Yesus, aku berdoa.
Amin.

Share:

Pujian Paskah GKKK Tepas

 

Share:

Masa Perhentian bagi Tanah

Bisakah tanah beristirahat? Dalam hukum yang Allah berikan kepada bangsa Israel, terdapat satu ketetapan yang menarik: tanah pun harus mengalami masa perhentian. Selama enam tahun mereka boleh mengolah tanah, menanam dan menuai hasilnya (ay. 3). Namun, pada tahun ketujuh, Allah memerintahkan agar tanah itu dibiarkan beristirahat sebagai Sabat bagi TUHAN (ay. 4).

Apa artinya ini? Artinya, selama satu tahun penuh, bangsa Israel tidak boleh menabur atau menuai seperti biasa. Apa yang tumbuh dari ladang atau kebun anggur dibiarkan tumbuh liar, dan hasilnya bisa dimakan oleh siapa saja—budak, orang asing, orang upahan, bahkan hewan-hewan pun bebas menikmatinya (ay. 6–7). Allah ingin mengajarkan umat-Nya makna istirahat, ketergantungan, dan solidaritas.

Dari perintah ini, kita bisa belajar tiga hal penting:

1. Allah adalah Pemelihara Sejati

Walaupun tanah tidak diolah selama setahun, Allah menjamin bahwa hasil panen selama enam tahun akan cukup untuk tahun ketujuh. Ini mengajarkan bahwa sumber berkat sejati bukanlah pekerjaan kita, tetapi Allah sendiri yang mencukupkan segala kebutuhan kita.

2. Tanah adalah Milik Allah, Bukan Milik Kita

Tanah hanyalah sarana; pemilik dan sumber kehidupan yang sejati adalah Allah. Ketika kita menghentikan aktivitas untuk mematuhi perintah-Nya, kita sedang menyatakan kebergantungan dan ketaatan kepada-Nya.

3. Berbagi dengan Ciptaan Lain

Tahun Sabat adalah waktu di mana semua ciptaan—manusia, hewan, bahkan tanah—diperbolehkan menikmati apa yang tersedia secara cuma-cuma. Ini adalah gambaran keharmonisan ciptaan, di mana tidak ada yang kekurangan, dan semua saling berbagi.

💬 Refleksi:

Bagaimana hubungan kita hari ini dengan Allah dan sesama ciptaan? Sudahkah kita memberi waktu untuk beristirahat? Sudahkah kita peduli pada keberlanjutan lingkungan tempat kita bekerja dan hidup?

Sabat bukan hanya untuk manusia, tetapi juga untuk menciptakan keseimbangan antara pekerjaan dan penyembahan, antara mengambil dan memberi. Mari kita pelihara keharmonisan dengan sesama ciptaan, sebagai bentuk syukur dan ketaatan kepada Sang Pencipta.

🙏 Doa Penutup:

Terpujilah Bapa yang ada di surga.
Pagi ini aku bersyukur atas pertolongan-Mu—atas nafas kehidupan yang Engkau berikan dan penyertaan-Mu sepanjang malam.

Tuhan, hari ini aku mohonkan berkat bagi setiap Bapak, Ibu, jemaat, serta saudara-saudariku sekalian.
Kiranya berkat kesehatan, berkat sukacita, dan berkat damai sejahtera mengalir dalam hidup kami semua.

Diberkatilah rumah tanggaku, anak-anak dan cucu-cucuku. Pekerjaanku, sawah dan ladangku, usahaku, kantorku, pelangganku, studiku, dan semua rencana hidupku.

Berkatilah juga gerejaku, pelayananku, majikanku, dan calon pendampingku.
Dalam nama Tuhan Yesus, biarlah berkat-Mu mengalir berlimpah dalam kehidupan kami.

Saya sadar bahwa bertambahnya hari-hariku berarti bertambah juga hikmat dan kasih karunia-Mu.
Teguhkan kami dalam proses menuju keberhasilan yang Engkau tetapkan.

Yang percaya katakan bersama: AMIN!
Tuhan Yesus memberkati 🙌

Share:

Firman Tuhan : "Kekudusan Allah sebagai Prioritas Utama"

 

Imamat 24:10-23

Dalam keseharian hidup, kita sering kali lupa betapa pentingnya kekudusan Allah. Apakah sikap dan tindakan kita mencerminkan bahwa kita menyembah Allah yang kudus? Apakah kita sungguh menjadikan kekudusan-Nya sebagai hal utama dalam setiap aspek kehidupan?

Dalam bacaan hari ini (Imamat 24), dikisahkan seorang anak dari perempuan Israel yang menghujat nama TUHAN dengan mengutuk. Ia dibawa kepada Musa (ay. 11), dan Allah memberi perintah tegas: orang itu harus dibawa ke luar perkemahan dan dilempari batu oleh seluruh umat (ay. 14). Setiap orang yang mendengar makian itu harus meletakkan tangan di kepala orang itu—sebagai simbol bahwa ia menanggung sendiri kesalahannya. Ini adalah bentuk penghukuman yang sangat serius karena ia telah menghina kekudusan Allah.

Kita mungkin merasa bahwa hukuman ini terlalu berat. Tapi itu menunjukkan betapa seriusnya kekudusan Allah di mata-Nya. Allah tinggal di tengah perkemahan Israel (Kel. 25:8), dan perkemahan itu harus dijaga tetap kudus. Jika ada yang menajiskannya, maka harus disingkirkan agar kekudusan Allah tetap dihormati.

Kadang kita berpikir bahwa nyawa manusia adalah yang paling penting, sehingga merasa tidak nyaman dengan hukuman seperti ini. Tapi Allah ingin menunjukkan bahwa kekudusan-Nya jauh lebih utama daripada apa pun, bahkan nyawa sekalipun. Bahkan Musa dan Harun pun tidak diizinkan masuk ke Tanah Perjanjian karena tidak menghormati kekudusan Allah (Bil. 20:12). Dan Yesus sendiri mengajarkan bahwa doa pertama kita kepada Allah adalah: “Dikuduskanlah nama-Mu” (Mat. 6:9).

Ini adalah panggilan bagi kita: menjadikan kekudusan Allah sebagai prioritas utama dalam hidup. Dalam setiap keputusan—baik dalam pekerjaan, relasi, maupun pelayanan—pertanyaannya bukan: “Apa untungnya untukku?” melainkan, “Apakah ini menghormati kekudusan Tuhan?”

Hanya ketika kita hidup dengan kesadaran akan kekudusan Allah, kita bisa benar-benar berkenan kepada-Nya. Mari belajar untuk menghormati dan menjunjung tinggi kekudusan-Nya dalam segala hal.

Share:

Hidup yang Dipersembahkan

 

Imamat 24:5-9

Bacaan hari ini mengingatkan kita tentang pentingnya mempersembahkan hidup kepada Allah. Sebagai orang percaya yang telah ditebus oleh darah Kristus, hidup kita bukan lagi milik kita sendiri, melainkan milik Allah. Meskipun ini diajarkan dengan jelas dalam Perjanjian Baru, makna ini sebenarnya sudah ditunjukkan sejak Perjanjian Lama, melalui simbol roti sajian.

Di dalam Ruang Kudus, ada meja dari emas murni yang di atasnya selalu diletakkan dua belas roti bundar dalam dua susun (Im. 24:6). Setiap susunan diberi kemenyan murni, yang dibakar sebagai kurban peringatan kepada TUHAN (Im. 24:7). Setiap hari Sabat, roti ini diatur kembali di hadapan Tuhan sebagai tanda persembahan umat Israel (Im. 24:8). Roti yang diganti menjadi bagian bagi Harun dan keturunannya, dan mereka harus memakannya di tempat yang kudus (Im. 24:9).

Dua belas roti ini melambangkan dua belas suku Israel, yang berarti bahwa seluruh umat dipersembahkan kepada TUHAN. Karena rotinya tidak dibakar, kemenyan menjadi bagian yang naik sebagai korban kepada Allah. Ini adalah gambaran bahwa seluruh kehidupan umat seharusnya menjadi persembahan yang harum di hadapan-Nya.

Dalam Perjanjian Baru, Paulus menggemakan makna ini ketika ia menasihatkan kita untuk mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah—itulah ibadah yang sejati (Rm. 12:1). Hidup yang dipersembahkan berarti hidup yang dijalani bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk melakukan kehendak Allah, termasuk pekerjaan baik yang telah Dia siapkan bagi kita (Ef. 2:10).

Jangan biarkan hidup kita hanya dikendalikan oleh keinginan pribadi atau hawa nafsu. Bila kita sadar masih menjalani hidup sesuai keinginan sendiri, inilah waktunya untuk bertobat. Mari kita kembali dan mempersembahkan hidup ini secara utuh kepada Tuhan—bukan hanya sebagian, tapi seluruhnya—sebagai bentuk ibadah sejati.

Share:

Firman Tuhan : "Terang yang Terus Ada"

Imamat 24:1-4

Di dalam ruang kudus terdapat tiga benda penting, yaitu kandil (menorah), meja roti sajian, dan mazbah ukupan. Salah satu perintah Tuhan dalam bacaan kita hari ini adalah agar umat membawa minyak zaitun murni untuk menyalakan lampu di kandil, sehingga lampu itu tetap menyala (Im. 24:1-2). Harun harus mengatur lampu-lampu tersebut di depan tabir Tabut Hukum di dalam Kemah Pertemuan, dari petang sampai pagi, sebagai ketetapan yang berlaku selamanya bagi umat Israel (Im. 24:3-4).

Kandil yang digunakan di ruang kudus memiliki beberapa cabang (Kel. 25:31-32) dan harus dinyalakan dengan minyak zaitun terbaik agar tetap bercahaya. Namun, lampu itu tidak menyala sepanjang waktu. Lampu-lampu ini hanya dinyalakan dari petang sampai pagi, sedangkan di siang hari cahayanya digantikan oleh terang matahari (Kel. 30:7-8). Dengan menyalakan kandil di ruang kudus, umat diingatkan bahwa terang selalu ada dalam hadirat Tuhan.

Menariknya, kandil ini memiliki bentuk yang menyerupai pohon dengan cabang dan bunga badam (Kel. 25:32-33), yang melambangkan Pohon Kehidupan di Taman Eden (Kej. 3:24). Terang dalam ruang kudus menjadi simbol bahwa Allah adalah sumber kehidupan, yang menerangi dan memelihara umat-Nya.

Di dalam Perjanjian Baru, Yesus menyatakan bahwa Ia adalah Terang Dunia (Yoh. 8:12). Bahkan dalam kegelapan malam, terang itu tetap bersinar. Oleh karena itu, sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk menjadi terang dunia (Mat. 5:14), memantulkan terang Allah dalam kehidupan kita. Mari kita hidup dalam terang Kristus dan menerangi dunia di sekitar kita dengan kasih dan kebenaran-Nya.

Share:

Firman Tuhan : "Mengenang Masa Sulit"

Imamat 23:37-44

Masa sulit bukanlah hal yang kita sukai, tetapi justru di saat itulah kita dapat melihat penyertaan Allah dengan lebih nyata. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengenangnya sebagai bukti kasih dan pertolongan Tuhan.

Perayaan Pondok Daun ditetapkan bagi bangsa Israel untuk mengingat bagaimana Tuhan menuntun mereka di padang gurun setelah keluar dari Mesir (Imamat 23:42-43). Selama tujuh hari, mereka tinggal di pondok-pondok daun sebagai simbol kehidupan mereka di padang gurun, namun perayaan ini dilakukan dengan sukacita (ayat 40).

Hidup di padang gurun selama 40 tahun bukanlah hal mudah, tetapi Tuhan setia memelihara umat-Nya. Ia memberi manna setiap hari dan menjaga pakaian serta kasut mereka agar tidak rusak (Ulangan 29:5).

Demikian juga, kita diajak untuk mengenang masa sulit dengan bersukacita. Sebab dalam kesulitan, kita justru dapat merasakan penyertaan Tuhan lebih nyata. Mari bersyukur atas setiap perjalanan hidup, karena di dalamnya Tuhan selalu hadir dan menolong kita.

Share:

Categories

Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.