Pentingnya Mengaku Dosa
Kasih Allah Tak Terbatalkan
Allah memberikan janji-Nya kepada Abraham bahwa keturunannya akan menjadi bangsa pilihan. Allah selalu setia menyertai dan menolong umat-Nya saat mereka menghadapi ancaman musuh dan mencukupi kebutuhan mereka ketika mengalami kekurangan.
Firman Tuhan diberikan kepada umat-Nya sebagai pedoman dan dasar kehidupan bangsa pilihan (Roma 3:2). Meski ada yang tidak setia, ketidaksetiaan mereka tidak pernah membatalkan kesetiaan Allah (Roma 3:3-4). Namun, meski mereka adalah bangsa pilihan, perilaku mereka sering kali tak berbeda dengan bangsa-bangsa yang bukan umat Allah. Mereka memberontak kepada Allah dan hidup tidak sesuai dengan kehendak-Nya.
Sebagai bangsa pilihan, orang Yahudi seharusnya hidup seturut dengan firman Allah. Ketika mereka melanggar hukum Allah, hukuman yang diterima lebih berat karena mereka mengabaikan kesempatan pertama yang diberikan Allah kepada mereka. Meski demikian, hukuman Allah bukanlah tanda bahwa Dia tidak mengasihi mereka. Justru sebaliknya, kasih Allah tetap kekal dan setia. Kasih-Nya tidak terbatalkan, dan Dia selalu membuka tangan bagi siapa pun yang mau bertobat dan kembali kepada-Nya.
Kita pun, sebagai umat yang telah menerima kasih Allah melalui Yesus Kristus, dipanggil untuk hidup dalam ketaatan dan kesetiaan. Bangsa Israel menolak Allah dan menerima hukuman, tetapi penolakan mereka membuka kesempatan bagi bangsa-bangsa lain untuk menjadi umat Allah. Kasih Allah kini tersedia bagi semua orang yang mau percaya kepada-Nya.
Karena itu, kita patut bersyukur atas kesempatan besar yang diberikan Allah kepada kita. Allah mengasihi kita dengan kasih yang tak terbatalkan. Kasih yang mengalir melalui penebusan Yesus Kristus di kayu salib kini menjadi milik kita selamanya.
Sebagai respons, mari kita memberikan hidup kita sebagai persembahan yang hidup bagi Tuhan. Melayani Tuhan dengan talenta yang kita miliki dan membagikan kabar baik kepada orang-orang di sekitar kita adalah wujud nyata dari kasih kita kepada Allah. Mari mulai dari keluarga dan lingkungan terdekat, agar semakin banyak orang mengenal dan merasakan kasih Allah yang kekal.
Hai Orang Munafik, Bertobatlah!
Roma 2:17-29
Kemunafikan adalah racun yang berbahaya dalam kehidupan beragama, dan orang Kristen juga tidak luput dari bahaya ini. Banyak orang yang menyebut dirinya pengikut Kristus, namun kehidupannya bertentangan dengan pengakuan tersebut.
Dalam suratnya, Paulus memberikan peringatan kepada orang-orang Yahudi yang merasa bangga karena memiliki Hukum Taurat dan mengajarkannya kepada orang lain (Roma 2:17-20). Namun, ironisnya, mereka tidak hidup sesuai dengan ajaran yang mereka sampaikan (ayat 21-22). Mereka mengklaim sebagai umat pilihan Allah tetapi malah melanggar hukum yang mereka banggakan (ayat 23). Hal ini menyebabkan nama Allah dihujat oleh orang-orang di luar Israel (ayat 24).
Paulus juga membahas tentang sunat, yang merupakan tanda perjanjian antara Allah dengan umat-Nya. Tetapi ia menekankan bahwa tanda fisik ini tidak ada artinya jika tidak disertai dengan ketaatan pada hukum Allah (ayat 25-29). Sunat sejati bukanlah pada tubuh, melainkan pada hati—sebuah kondisi rohani yang mencerminkan ketaatan kepada Allah. Allah tidak menginginkan sekadar penampilan lahiriah, melainkan hati yang taat dan sungguh-sungguh.
Bagi orang Kristen, pesan ini sangat relevan. Menyebut diri kita Kristen tanpa menaati firman-Nya adalah tindakan munafik. Kemunafikan kita dapat merusak kesaksian iman dan membuat nama Allah dihina oleh orang yang tidak mengenal-Nya.
Mengetahui firman Tuhan adalah hal yang penting. Namun, menggunakan firman hanya untuk mencari pembenaran diri atas dosa-dosa kita adalah kemunafikan! Allah memanggil kita untuk menjadi pelaku firman, bukan hanya pendengar saja (Yakobus 1:22). Marilah kita menjadikan firman Tuhan sebagai pedoman hidup kita sehari-hari.
Buanglah segala bentuk kemunafikan dari hidup kita. Belajarlah hidup dalam ketaatan, sehingga nama Allah dipermuliakan melalui hidup kita. Semoga kita dimampukan untuk meninggalkan segala sikap munafik dan hidup seturut dengan firman Tuhan.
Apakah Engkau Lebih Superior?
Roma 2:1-16
Ketika kita berinteraksi dengan orang lain, terkadang perasaan superioritas muncul tanpa disadari. Kita sering lebih cepat mengkritik kesalahan kecil orang lain, daripada menyadari kesalahan besar yang ada pada diri kita sendiri.
Paulus menjelaskan bahwa tidak ada manusia yang bebas dari hukuman Allah. Ketika seseorang merasa dirinya lebih baik dan mulai menghakimi orang lain, ia sendiri sebenarnya tidak lepas dari kesalahan yang sama (ayat 1-3). Yang seharusnya dilakukan oleh orang berdosa adalah datang kepada Allah dengan sikap rendah hati dan pertobatan (ayat 4-5). Allah akan membalas setiap orang berdasarkan perbuatan mereka, baik bagi mereka yang bertobat maupun mereka yang tetap hidup dalam dosa (ayat 6-11).
Allah tidak memandang muka (ayat 11). Dia akan menghakimi semua orang, baik yang sudah mendengar Hukum Taurat maupun yang belum. Ada orang yang meski belum pernah mendengar Hukum Taurat, tetap melakukannya karena hukum itu tertulis dalam hati mereka (ayat 12-15). Suatu hari, Kristus Yesus akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia (ayat 16).
Kita perlu menyadari bahwa kita adalah orang berdosa yang telah menerima kasih dan kesabaran Allah. Pengampunan yang kita terima bukan karena kita lebih baik dari orang lain, tetapi semata-mata karena kasih karunia-Nya. Dalam kerendahan hati, kita harus datang kepada-Nya setiap hari, bertobat, dan memohon pengampunan atas rasa superior kita.
Kita harus waspada karena sering kali dosa yang kita lakukan memiliki motif tersembunyi. Hati kita begitu mudah tertipu oleh kegelapan; itulah sebabnya, tanpa Injil Kristus, kita mungkin tidak pernah menyadari kebutuhan kita akan seorang Juru Selamat.
Oleh karena itu, dalam setiap pertemuan dengan sesama, janganlah kita menyimpan rasa superior. Sebaliknya, marilah kita hadir dengan kerendahan hati, membawa Injil Kristus yang mampu membebaskan kita dan sesama.
Hidup dalam Kecemaran
Roma 1:18-32
Manusia sering mengabaikan masalah kekekalan dan terjerat dalam hawa nafsu yang menghancurkan. Nafsu membuat manusia buta, sehingga mereka gagal mengenal Allah dan tuntutan hukum-Nya. Dalam kondisi seperti ini, manusia cenderung menghidupi dosa dan bahkan mencari pembenaran untuk dosa tersebut.
Paulus menegaskan bahwa manusia pantas menerima hukuman dari Allah karena segala kefasikan dan kejahatannya (ayat 18). Meski pengetahuan tentang Allah sudah dinyatakan kepada mereka (ayat 19-20), bahkan ketika mereka mengenal Allah, mereka tetap tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya (ayat 21).
Manusia hidup dalam kecemaran (ayat 24), dan Allah membiarkan mereka hidup dalam hawa nafsu yang memalukan (ayat 26-31). Meskipun ada hukum Allah yang menetapkan hukuman mati sebagai konsekuensi dari setiap tindakan kecemaran, manusia tetap tidak mau berbalik kepada Allah. Mereka justru sibuk dengan dosa mereka sendiri dan dengan mudah menyetujui perbuatan dosa orang lain (ayat 32). Dalam kondisi tercemar, dosa menjadi sesuatu yang dianggap biasa, bahkan dalam kasus-kasus tertentu, dosa tidak lagi dipandang sebagai dosa!
Kita hidup di zaman yang tidak jauh berbeda dengan zaman Paulus. Kita juga menemukan banyak orang yang hidup hanya untuk memenuhi hawa nafsunya. Gaya hidup seperti ini tentu saja membawa pada kebinasaan. Fakta bahwa hidup manusia hanya sementara dan pada akhirnya harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya tidak cukup kuat untuk membuat mereka sadar.
Banyak alasan dan argumen sengaja diciptakan untuk membenarkan perilaku tercemar, agar mereka yang hidup dalam kecemaran dapat diterima oleh masyarakat luas. Namun, penerimaan masyarakat tidak dapat menjadi alasan pembenaran di hadapan Allah. Oleh karena itu, kehadiran Injil menjadi terang yang menyinari kehidupan yang diliputi kegelapan dosa ini. Adalah tugas kita untuk mewartakan Injil di tengah dunia yang tercemar. Semoga Tuhan Yesus senantiasa menguatkan iman kita!
Aku Tidak Malu karena Kristus!
Roma 1:16-17
Pengetahuan dan pengalaman sering kali menjadi sumber kepercayaan diri seseorang dalam mengambil tindakan. Demikian halnya dengan Paulus. Ia memiliki pemahaman yang mendalam tentang Injil dan pengalaman pribadi akan perjumpaannya dengan Allah. Keyakinan yang dibangun oleh Allah dalam dirinya memberikan dorongan yang kuat untuk memberitakan Injil.
Paulus dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak pernah malu terhadap Injil (ayat 16). Pada masa itu, pemberitaan tentang Injil dianggap kebodohan oleh banyak orang. Bagaimana mungkin seseorang dapat percaya bahwa ada seorang manusia yang telah disalibkan, mati, dan kemudian bangkit dari kematian? Lebih mudah bagi mereka untuk mempercayai berbagai filsafat dari pemikir-pemikir ternama ketimbang percaya pada Injil. Ini menjadi tantangan bagi Paulus, namun ia tetap yakin bahwa Injil adalah kekuatan Allah.
Kekuatan Allah ini sanggup menyelamatkan setiap orang yang mau percaya, tanpa terkecuali (ayat 16). Melalui Injil, kebenaran Allah dinyatakan, yang berasal dari iman dan membawa kita kepada iman (ayat 17).
Injil memimpin orang benar untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah. Injil menyatakan bahwa Allah memiliki rencana keselamatan bagi kita. Melalui Yesus Kristus, Allah ingin menyelamatkan kita. Ketika kita percaya kepada Yesus Kristus, hubungan kita dengan Allah dipulihkan kembali. Allah mengampuni dosa kita dan membenarkan kita karena iman kita dalam nama Kristus.
Seperti Paulus, kita pun menghadapi berbagai tantangan terhadap keyakinan kita, terutama dari filsafat-filsafat kosong yang sering kali dibangun oleh keangkuhan manusia untuk melawan pengenalan akan Allah. Namun, jika Injil telah mengubah pemahaman kita dan memberikan pengalaman baru dalam hidup kita, tentu kita tidak akan malu untuk bersaksi tentang kasih Allah yang besar. Kita dipanggil untuk hidup dalam kebenaran yang dimulai dari anugerah iman yang membawa kita kepada Kristus Yesus.
Persekutuan yang Saling Menguatkan
Roma 1:8-15
Rasul Paulus memuji teladan iman jemaat di Roma yang ia dengar telah tersebar ke seluruh dunia.
Dalam doanya kepada Allah, Paulus menyampaikan kerinduan untuk mengunjungi jemaat Roma (ayat 9-10). Ia ingin berbagi karunia rohani melalui pengajaran yang dapat memperkuat iman mereka (ayat 11).
Namun, ada hal menarik yang disampaikan oleh Paulus, yaitu, “supaya aku ada di antara kamu dan turut terhibur oleh iman kita bersama, baik aku oleh imanmu dan kamu oleh imanku” (ayat 12). Di sini terlihat bahwa meskipun Paulus adalah seorang rasul besar, ia juga mencari penguatan dalam persekutuan bersama jemaat di Roma. Kerinduannya bukan hanya untuk menguatkan dan menghibur mereka, tetapi juga untuk dikuatkan dan dihibur oleh mereka. Ini menunjukkan bahwa bahkan Paulus, sebagai seorang pemimpin rohani, juga mengakui perlunya penguatan melalui persekutuan dengan jemaat yang ia layani.
Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah iman yang kita hidupi dalam kehidupan berjemaat di gereja lokal masing-masing telah menjadi wangi yang menyebar dalam komunitas umat Allah? Apakah kita memiliki kerinduan yang sama seperti Paulus untuk menggunakan karunia yang telah Tuhan berikan bagi kita untuk melayani sesama? Apakah dalam persekutuan dengan saudara seiman, kesaksian iman kita menguatkan mereka dan sebaliknya kesaksian iman mereka menguatkan kita?
Sesungguhnya, umat percaya tidak didesain untuk menjadi pribadi yang individualis dan apatis. Persekutuan dalam kehidupan umat Allah adalah sarana di mana Allah berkarya dan menguatkan iman umat-Nya. Melalui persekutuan, Allah mendorong kita untuk saling membangun, saling mengasihi, dan saling menguatkan.
Oleh karena itu, janganlah kita meninggalkan persekutuan dalam komunitas gereja tempat kita bertumbuh. Kiranya Allah memakai gereja kita menjadi komunitas yang hidup, yang wangi keharumannya tersebar ke seluruh penjuru dunia dan memuliakan nama Kristus.
Jangan Berpangku Tangan!
Roma 1:1-7
Menjadi seorang Kristen adalah sebuah pilihan hidup yang disertai kesadaran akan anugerah yang diterima oleh seorang pendosa. Bukan karena kelayakannya, tetapi karena Yesus Kristus telah menjadikannya layak dan milik-Nya. Itulah yang menjadi dasar bagi setiap orang Kristen untuk melayani Allah.
Paulus menyadari anugerah istimewa ini sebagai sesuatu yang tidak seharusnya ia dapatkan, jika dilihat dari latar belakang hidupnya sebelum menjadi pengikut Kristus. Ia menyebut dirinya hamba Kristus Yesus (ayat 1), dan seorang rasul yang dipanggil untuk menyampaikan Injil yang kudus. Dalam pemberitaannya, Paulus menjelaskan bahwa Yesus adalah Mesias yang dijanjikan Allah melalui perantaraan para nabi. Yesus datang dari garis keturunan Daud, mati, dan bangkit dari kematian. Melalui-Nya, anugerah dan kebaikan Allah dicurahkan kepada manusia yang berdosa dan terpisah dari Allah (ayat 2-5).
Sebagai hamba Kristus, Paulus memahami bahwa anugerah istimewa yang ia terima menuntut sebuah tanggung jawab besar. Ia merasa bertanggung jawab untuk melayani dengan menyampaikan berita Injil kepada segala bangsa, agar banyak orang dapat percaya dan taat kepada Yesus Kristus.
Sama seperti Paulus, kita juga harus menyadari bahwa anugerah istimewa ini seharusnya memotivasi kita untuk tidak berpangku tangan. Rasa syukur kita harus diwujudkan melalui pelayanan dan Pekabaran Injil (PI). Masih banyak orang yang belum mengenal Kristus dan hidup dalam kegelapan. Berita sukacita harus sampai kepada mereka, agar lebih banyak orang yang memahami kasih Allah yang telah mengaruniakan Anak-Nya, Kristus Yesus, untuk mendamaikan manusia berdosa dengan diri-Nya. Yesus adalah penggenapan janji Allah bagi manusia yang terpisah oleh dosa.
Marilah kita sampaikan berita Injil ini kepada orang-orang di sekitar kita yang masih hidup dalam kegelapan. Semoga Kristus menyinari hidup mereka dengan kasih-Nya yang kekal.